Angin pagi di desa itu terasa lebih berat dari biasanya. Matahari memang sudah menampakkan sinarnya, tapi seolah kehangatannya tertahan oleh tabir tipis yang tak kasatmata. Burung-burung yang biasa ramai berkicau di pepohonan kini hanya terdengar sesekali, dengan nada yang sumbang dan pendek, seperti ikut menyadari sesuatu yang sedang bersembunyi di balik alam.Di halaman rumah Arthayasa, beberapa santri duduk melingkar, membaca wirid dengan suara lirih. Obor yang semalam dinyalakan belum sepenuhnya dipadamkan, sisa asapnya masih mengepul tipis ke udara. Ki Darmaya berdiri di tengah halaman, matanya menerawang jauh ke arah timur, tempat Sendang Larung berada.“Waktu kita sempit,” gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri. “Tujuh malam… hanya tujuh malam.”Arthayasa keluar dari rumah dengan langkah sedikit gontai. Luka di tubuhnya belum sepenuhnya pulih, tapi ia memaksa diri untuk tetap tegak. Keris warisan yang selalu menemaninya kini terselip erat di pinggang, seolah menj
Terakhir Diperbarui : 2025-09-03 Baca selengkapnya