Pernikahan yang diimpikan Nisa berubah menjadi mimpi buruk. Doni, pria yang dulu ia cintai, kini berubah menjadi dingin dan tak peduli. Keluarganya pun tak kalah kejam, memperlakukan Nisa seolah ia tak berharga. Setiap hari, Nisa menelan hinaan demi hinaan. Namun, demi bayi dalam kandungannya, ia terus berusaha bertahan. Tapi, sampai kapan ia mampu menghadapi kebencian ini? "Dasar perempuan miskin! Kalau bukan anakku yang menikahimu, mana ada yang mau." "Kamu itu cuma pembawa sial!"
Lihat lebih banyakKesunyian malam hanya dipecah oleh isak tangis Ayudia dan doa lirih yang dipanjatkan para pemuda desa. Di dalam balai desa, Arthayasa terbaring pucat di atas tikar. Ki Sangkala dengan telaten membersihkan luka di dadanya, namun darah terus merembes keluar. Nisa, ibu Arthayasa, tak henti-hentinya menggenggam tasbih, bibirnya bergerak membaca mantra-mantra penyembuhan.Fajar mulai menyingsing, mewarnai langit timur dengan gradasi jingga dan ungu. Cahaya mentari pagi perlahan menyelinap masuk melalui celah dinding balai desa, menerangi wajah-wajah penuh harap yang menanti di sekeliling Arthayasa. Namun, wajah Arthayasa tetap tenang, seolah jiwanya telah berlayar jauh dari raganya.Ayudia menggenggam erat tangan Arthayasa, air matanya terus membasahi pipi. "Artha, kumohon bangunlah," bisiknya lirih. "Jangan tinggalkan aku sendiri di sini."Tiba-tiba, jari Arthayasa bergerak sedikit. Ayudia tersentak, matanya membulat penuh harap. "Ki Sangkala, lihat! Dia bergerak!" serunya.Ki Sangkala me
Malam bulan purnama akhirnya tiba. Cahaya perak memancar dari langit, menerangi desa dengan keindahan yang menenangkan. Namun, di balik keindahan itu, tersembunyi ketegangan yang mencekam. Udara terasa berat, seolah-olah setiap hembusan napas membawa serta firasat buruk.Di balai desa, Arthayasa berusaha bangkit dari tikarnya. Tubuhnya masih terasa sakit, namun ia memaksakan diri. Dengan bantuan Ayudia, ia berhasil duduk bersandar di dinding kayu. Matanya menatap tajam ke arah pintu, seolah-olah bisa melihat menembus kegelapan malam."Artha, jangan memaksakan diri," kata Ayudia cemas. "Biarkan mereka yang bertempur. Kamu harus tetap di sini, aman."Arthayasa menggeleng. "Aku tidak bisa tinggal diam. Aku harus melihat dengan mata kepala sendiri. Aku harus memastikan mereka semua selamat."Ayudia tak bisa membantah. Ia tahu betul tekad suaminya. Ia hanya bisa menggenggam erat tangannya, memberikan kekuatan yang ia miliki. Begitupun dengan Nisa, ibu Arthayasa, ia hanya bisa menangis di d
Malam kembali menebarkan selimut gelapnya ke seluruh penjuru desa. Balai desa yang sepanjang hari dipenuhi riuh rendah suara tangisan, doa, dan perbincangan kini berangsur lebih tenang. Obor yang tertancap di sekeliling halaman berayun diterpa angin malam, cahaya kuningnya menari di permukaan tanah basah, menciptakan bayangan panjang yang bergerak seolah-olah hidup.Namun, di balik ketenangan semu itu, hati setiap orang masih dibebani kecemasan. Semua tahu, Surapati bukanlah lawan biasa. Dia ibarat bayangan hitam yang selalu siap menyergap kapan saja.Bahkan, mereka tidak kembali ke villa yang mereka tempati. Arthayasa berbaring di atas tikar pandan. Tubuhnya masih terasa berat, namun pikirannya menolak untuk diam. Setiap detak jantung, setiap tarikan napas, seakan menjadi pengingat bahwa hidupnya baru saja direbut kembali dari genggaman maut.Di sisinya, Ayudia duduk sambil menundukkan kepala. Rambut hitamnya yang tergerai menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Kedua tangannya masih
Fajar yang mulai merekah di balik pepohonan terasa berbeda pagi itu. Cahaya mentari yang biasanya hangat kini seakan membawa pertanda, bahwa hari-hari yang akan datang tidak lagi sama. Suara ayam jantan bersahut-sahutan, sementara embun di dedaunan memantulkan cahaya keperakan. Namun di balai desa, suasana masih pekat oleh rasa cemas dan lega yang bercampur jadi satu.Arthayasa membuka matanya lebih lebar, meski kelopak terasa berat seperti diselimuti batu. Nafasnya pelan, tersengal, namun ada sedikit tenaga yang kembali hadir di tubuhnya. Nisa langsung memeluknya, menempelkan wajahnya ke dada putranya, seolah ia baru saja mendapatkan kembali nyawa yang sempat direnggut.“Anakku… kau kembali. Kau tidak meninggalkan ibu…” suaranya parau, basah oleh tangis.Arthayasa mengangkat sedikit tangannya, meski gemetar, lalu menyentuh punggung ibunya. “Ibu… jangan menangis. Aku masih di sini. Aku… akan bertahan.”Ayudia, yang duduk di sisi lain, hanya bisa menangis tanpa suara. Tangannya yang ke
Malam semakin dalam, seolah ikut menanggung beban duka yang menggantung di balai desa itu. Api obor yang berderet di sekeliling balai bergoyang tertiup angin, menciptakan bayangan panjang di wajah-wajah tegang para warga. Suara tangisan perempuan, doa lirih yang dipanjatkan, serta langkah panik beberapa orang yang berusaha mencari kain, air, dan ramuan obat, bercampur jadi satu.Di tengah hiruk pikuk itu, tubuh Arthayasa terbaring di atas tandu bambu. Bajunya basah oleh darah yang terus merembes meski sudah ditekan berkali-kali dengan kain. Setiap tetes darah yang jatuh ke lantai kayu balai desa membuat semua orang merinding, seolah hitungan waktu bagi hidupnya kian menipis.Nisa duduk di sisi kepala anaknya, wajahnya pucat dan mata bengkak karena tangis. Tangannya tak pernah lepas menggenggam jemari Arthayasa yang dingin. Bibirnya komat-kamit melafalkan doa, kadang terputus oleh isakan, kadang oleh teriakan lirih:“Ya Allah… jangan ambil dia dariku. Kalau harus ada yang pergi, ambil
Malam kian pekat. Kabut di hutan turun semakin tebal, membuat sinar bulan terpecah menjadi kilau pucat di antara dedaunan. Udara yang semula sejuk kini terasa menggigit, seperti ada sesuatu yang menekan dada setiap orang yang melangkah di jalur itu. Arthayasa dan regu kecilnya berdiri kaku di balik semak. Jantung mereka berpacu lebih cepat daripada langkah kuda yang tadi mereka ikuti. Api unggun di tengah lapangan hutan bergoyang, bayangan menari di batang pohon, menciptakan rupa-rupa makhluk menyeramkan. Surapati berdiri dengan sikap angkuh. Pakaian mahal yang dikenakannya tampak kontras dengan para pengikutnya yang hanya berbaju lusuh. Cincin batu hitam di jarinya berkilau menantang, seperti simbol kekuasaan gelap yang selama ini membelenggu banyak orang. “Sepertinya kita kedatangan tamu,” ucap Surapati lantang, matanya menelusuri semak gelap. Para pengikutnya langsung bangkit. Pedang, tombak, dan golok diangkat, berkilat terkena pantulan api unggun. Tawa mereka yang semula nyar
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen