Pernikahan yang diimpikan Nisa berubah menjadi mimpi buruk. Doni, pria yang dulu ia cintai, kini berubah menjadi dingin dan tak peduli. Keluarganya pun tak kalah kejam, memperlakukan Nisa seolah ia tak berharga. Setiap hari, Nisa menelan hinaan demi hinaan. Namun, demi bayi dalam kandungannya, ia terus berusaha bertahan. Tapi, sampai kapan ia mampu menghadapi kebencian ini? "Dasar perempuan miskin! Kalau bukan anakku yang menikahimu, mana ada yang mau." "Kamu itu cuma pembawa sial!"
View More"Cuci itu baju! Jangan sampe ada yang ketinggalan! Kamu itu di sini sudah makan gratis, mau belagu pula sok menjadi ratu! Kamu kira anak saya kerja banting tulang cuman buat kamu habis-habiskan hm? Kamu shopping? Kamu leha-leha di kasur gitu?" cerca seorang wanita paruh baya sambil berkacak pinggang.
Nisa tersenyum miris mendengarnya, bahkan uang gaji suaminya juga dirinya tidak pernah mencicipinya sedikit pun. Jika suaminya gajian, juga ibu mertuanya lah yang selalu mengambil uangnya dan mengatur semua keperluannya. Bahkan Nisa tidak di kasih uang sepeser pun. Miris, miris sekali nasib wanita malang itu, jika ingin sesuatu, Nisa harus pergi ke warung bakso di sebelah rumah mertuanya, wanita itu membantu pekerjaan di sana, dan mendapatkan upah. Barulah Nisa bisa membeli sesuatu. "Kenapa?! Kamu mau marah ha? Silakan marah? Mau ngadu sama suami mu, ngadu saja sana, saya tidak takut" Ya mana mungkin takut, karena suaminya juga sama, jika Nisa mengaduhkan sikap sewenang-wenang ibunya itu, pria itu malah akan memaki Nisa. Sakit, itu yang Nisa rasakan, rasanya dirinya tidak sanggup lagi menghadapi semua ini, namun apa boleh buat, dirinya harus tetap bertahan, ini semua karena anak yang sedang di dalam kandungan nya itu. "Sana nyuci! Jangan tidur aja kamu! Sementang hamil mau sok males kamu!" Wanita paruh baya bernam Mirna itu dengan sengaja menendang ember besar yang berisi baju-baju kotor milik wanita itu dan anak gadisnya - adik suami Nisa. Sungguh Nisa sampai memejamkan kedua bola matanya. "Astaghfirullah" lirih Nisa. Nisa meraih baju-baju yang sudah berserakan itu, lalu mengumpulkan nya menjadi satu kembali. Wanita itu langsung bergegas pergi ke sumur dan mencucinya. Setelah mencuci baju dan menjemurnya, Nisa sungguh sangat kelelahan, wanita itu bergegas ke dapur untuk mengambil air minum, namun sayang lagi-lagi dirinya harus menghadapi sikap mertuanya. "Hey! Enak saja mau minum! Sana pergi dulu ke pasar! Beli sayuran. Kamu itu mau enaknya saja. Saya belum makan sama Kemuning." Teriak Mirna. "Bu, Nisa mau minum dulu, sebentar saja, nanti Nisa bakalan pergi ke pasar kok" ucap Nisa. Mirna mendengus kesal mendengarnya. "Enggak ada, Enggak ada! Saya sudah lapar, cepet kamu pergi sana! Nanti Kemuning bangun belum ada makanan kan kasihan." Nisa menghela nafasnya dengan kasar, mau tidak mau dirinya menuruti kemauan ibu mertua nya itu. Di raihnya catatan kecil yang ada di meja makan beserta uangnya, lantas Nisa membacanya terlebih dulu sebelum dirinya benar-benar pergi. "Buk, ini enggak cukup uangnya, uangnya kurang, harga ayam sudah naik buk" ucap Nisa saat menimbang-nimbang harga belanjaan itu. "Saya enggak mau tau, pokoknya uang itu harus cukup. Karena hari ini Kemuning mau makan ayam" ucap Mirna tidak mau di bantah. "Buk bagaimana bisa? Sedangkan aku tidak ada uang sama sekali." Ucap Nisa. Mirna tertawa mendengarnya. "Kamu pikir ibuk bodoh ha?! Kamu setiap siang membantu Sira jualan. Cih jadi budak Sira! Tapi ibuk enggak peduli. Yang terpenting kamu pasti punya uang simpanan kan?" "Buk itu uang buat periksa kandungan besok buk." Ucap Nisa. Mirna mana peduli. "Saya enggak mau tau ya! Pokoknya harus cukup! Masalah besok kamu periksa kandungan enggak peduli juga saya anak-anak kamu juga kok, bukan anak saya." Enteng sekali ucapannya itu, tidak tahukah itu bisa menyakiti perasaan orang lain. "Astaghfirullah" Nisa langsung beristighfar, sungguh mulut mertuanya itu pedas sekali. Hatinya berdenyut nyeri mendengar perkataan wanita itu. "Buk, ini cucu ibuk" lirih Nisa, air matanya sudah mengalir deras. "Cucu?! Saya enggak pernah minta cucu ya sama kamu wanita miskin! Saya tidak pernah sudih punya keturunan dari wanita miskin seperti kamu! "Kenapalah Doni mau menikah sama mau. Cantik enggak, berpendidikan juga enggak, anak orang miskin pula" ucap Mirna. Pedas sekali ucapannya, tanpa peduli perasaan orang lain. Sungguh kejam, kejam sekali. "Udah jangan banyak drama! Keburu anak saya bangun, kamu malah nangis terus. Saya enggak butuh tangisan kamu. Perut saya enggak kenyang karena makan tangisan kamu" cetus Mirna. Nisa mengurut dadanya, berusaha untuk sabar, dan tetap haru bersikap sopan pada mertuanya itu. Bagaimana pun mertuanya tatap orang yang harus dirinya hormati. Menyeka air matanya, Nisa langsung meraih catatan itu beserta uang yang entah cukup atau tidak. "Buk, Nisa pamit dulu ya" ucap Nisa sambil meriah tangan Mirna lalu mengecup punggung tangan itu. "Hm" hanya itu, dan wanita itu langsung meraih kain lap, dan mengelap punggung tangannya yang habis di cium oleh Nisa. Nisa yang melihatnya hanya bisa tersenyum kecut, sudah biasa bagi Nisa saat mendapatkan perlakuan seperti ini dari ibu mertua nya. Bahkan bukan hanya dirinya saja, tapi seluruh keluarga Doni memperlakukan Nisa seperti itu. Alasannya sangat sederhana, karena dirinya orang susah dan dari keluarga miskin, mereka tidak pernah mau menganggap ada seorang Nisa, walaupun Nisa berbuat baik. Nisa berjalan menyusuri jalanan yang sempit penuh lobang akibat aspal yang sudah retak, terlebih hujan semalam mengguyur, membuat jalanan berlubang itu di penuhi oleh air. Sesekali dirinya menyapa tentangga yang melewati dirinya. Nisa terus tersenyum walau mereka terkesan julid pada dirinya. "Lihat tuh Nisa! Pasti mau foya-foya ke pasar. Aku taku banget sifat nya. Suaminya cuman kuli di suruh kerja lembur sampe malem, di rumah mertuanya malah di suruh membersihkan rumah, mencuci bajunya pula. Dasar anak orang miskin enggak tau di untung" ucap salah satu tetangga Nisa. "Buk Kokom kok tau sih?" Salah satunya tidak percaya dengan perkataan yang di lontarkan oleh Kokom, karena mereka lihat Nisa ini anaknya baik."Aku lihat anaknya kalem gitu sih, enggak banyak tingkah. Pakai baju juga sederhana, enggak yang berlebihan. Emas saja enggak pernah makai, malah aku pernah lihat Mirna gelang emas nya banyak-banyak loh" sambungnya yang memang jujur apa adanya dan pernah melihat Mirna memakai gelang emas. Kokom mendengus. "Itu Mirna di pinjemin sama Doni . Kamu enggak tau aja, Nisa itu pelitnya minta ampun, kata Mirna saja Doni mohon-mohon dulu baru di kasih pinjem. Wis kalian enggak tau saja bagaimana tuh sifat perempuan. Emang di depan kita aja lagaknya lugu dan polos, di belakang mana tau kita. Tuh lihat" Kokom menunjuk-nunjuk ke arah Nisa yang lewat beberapa meter dari mereka yang sedang bergosip. "Bawa uang banyak, beli baju mahal, ganti baju, habis itu makan di tempat makan mahal, jalan-jalan. Baru pulang ekting lagi deh" Kokom tersenyum puas saat melihat para ibu-ibu teman gosipnya termakan gosipnya. Mereka semua lalu menggibah Nisa kembali. Nisa yang memang mendengarnya karena suara para ibu-ibu itu besar langsung mengelus dadanya. Sungguh dirinya harus banyak stok kesabaran untuk saat sekarang ini. Allah benar-benar sedang menguji dirinya.Setelah mendapatkan kabar dari Tiar, bude Sira, Doni dan juga Desi langsung menuju ke rumah sakit tempat dimana keberadaan Kemuning yang saat itu sedang di rawat. Untuk sementara waktu, acara tahlilan Mirna di hentikan sebentar, sampai mereka kembali ke desa. Bukannya apa, karena tidak ada yang mengurus acara tersebut. Denny? Bahkan batang hidungnya saja tidak muncul. Pria itu bagaikan di telan bumi, entah kemana. "Tiar, bagaimana dengan kondisi Kemuning?" Tanya bude Sira pada anaknya itu. Tiar menatap sendu mereka semuanya. "Kemuning, Kemuning masih kritis. Bahkan, setelah di operasi pun, keadaannya belum baik-baik saja. Ia bahkan harus kehilangan banyak darah. Akibat perdarahan hebat." Ucap Tiar sambil menundukkan kepalanya. Bude Sira dan Desi saling memeluk, mereka menumpahkan tangis mereka. Begitupun dengan Doni yang sudah terduduk lemas di sana. Ia benar-benar merasa sudah gagal menjadi seorang Abang.Hingga beberapa saat, seorang dokter keluar dari ruangan ICU itu. Raut w
"loh, mbak Nisanya mana tadi buk?" Tanya Desi yang baru saja kembali dari rumah warga, ia sudah tidak mendapati lagi keberadaan Nisa di sana. Padahal Desi ingin sekali ngobrol dengan Nisa, sudah lama sekali ia tidak ngobrol dengan wanita itu. "Mbak Nisa pulang. Bapaknya ada kerjaan besok, nggak bisa menginap, nak." Desi mengerucutkan ujung bibirnya. "Yahh. Padahal tadi aku sempat pulang loh buk, udah siapin kamar buat ibu dan bapaknya mbak Nisa. Aku juga udah semprotin parfum di kamar aku, aku pengen tidur sama mbak Nisa, udah lama banget nggak ngobrol, pengen ngobrol semalaman sama mbak Nisa." Bude Sira tersenyum. "Lain kali saja. Ibu juga nggak bisa menahan mbak Nisa, kasihan dia juga pasti harus menahan diri agar traumanya tidak kambuh." Ucap bude Sira membuat Desi mengerutkan keningnya bingung. "Trauma? Trauma apa yang ibuk maksud? Mbak Nisa juga baik-baik aja tadi Desi lihat." Bude Sira menatap sekelilingnya, saat di rasa sepi dan tidak ada orang selain ia dan Desi, bude S
Di rumah sakit. Tiar duduk termenung di depan ruangan operasi itu. Pikirannya benar-benar kacau lebur saat ini. Ia masih tak menyangka jika Kemuning harus segera di operasi, karena bayinya tidak bisa di selamatkan. Ia tak tau bagaimana hancurnya hati wanita itu nantinya jika sampai tau kenyataan ini. Joko, pria itu juga masih ada di sana, ia tak pulang ke rumahnya, perasaan bersalah di dalam dirinya terus menyeruak, membuat Joko merasa sangat menyesal. Ia hanya bisa berandai-andai. Andai saja ia bisa mengulang waktu lagi, ia tak akan menyia-nyiakan Kemuning. Walupun kedua orangtuanya melarang keras hubungan mereka berdua, tapi akan Joko usahakan untuk tetap mempertahankan hubungan keduanya. Ia tak peduli dengan restu keduanya, yang penting ia tak akan menyakiti hati wanita itu. Terutama anak yang ada di dalam kandungan wanita itu. Tapi, semuanya sudah menjadi bubur. Joko tak bisa berkata-kata, dokter sudah mengatakan jika anaknya tidak bisa di pertahankan lagi. “Bang
"Nis, boleh Abang ngomong sebentar?" Doni menatapi Nisa dengan tatapan yang sulit di artikan. Ada tatapan penyesalan yang paling mendalam di dalam diri Doni, entahlah, apalagi saat melihat sosok mantan istrinya yang terlihat lebih baik dari sebelumnya itu, ada perasaan tak rela jika sampai suatu hari nanti Nisa menikah lagi dengan seorang pria. Nisa menoleh ke arah sang ibu dan bude Sira yang juga menatap ke arah Doni. "Kamu mau ngomong apo toh, Don. Kalau kamu mau ngomong, yaudah di sini aja, ada ibu mertuamu sama bude." Kata Bude Sira. Doni menghembuskan nafasnya kasar. "Doni mau ngomong berdua saja sama Nisa, bude. Ada hal yang harus kami luruskan lagi di dalam hubungan kami, lagian Nisa belum resmi Doni talak, masih ada harapan bukan?" Ucap Doni penuh dengan harap. Ibunya NIsa dan bude SIra melotot mendengar perkataan dari Doni, terlebih Nisa yang juga sangat terkejut. "Kamu ngomong apa bang? Kita sudah berakhir saat kamu menjatuhkan talak sama aku waktu itu. Kita su
"Win, mertuamu kan meninggal, kok kamu sama keluargamu malah di rumah saja? Enggak pada ke rumah almarhumah ibunya suami kamu?" Tanya Kokom pada Wina yang saat ini sedang sibuk memilih sayuran di depan rumah gadis itu. Wina berdecih mendengarnya, namun tetap memasang wajah biasa saja. "Saya ada ke sana kok buk Kokom, mama dan bapak saya juga ke sana kok." Sahut Wina sambil tersenyum. Kening Kokom berlipat mendengarnya. Setau dirinya semalam dirinya pergi membaca doa di rumah Mirna, batang hidung Wina dan keluarganya saja tidak ada. Padahal bapak Wina kan RT di kampung ini. "Tapi tadi malam kamu enggak ada Win." Wina tergeragap mendengarnya, kalau sudah seperti ini dirinya harus mengatakan apa? Tidak mungkin dirinya mengatakan yang sebenarnya pada mereka semuanya. "Saya tadi malam datang loh Win. Duduk di dalam lagi. Yang ada di dalam rumah juga bude Sira doang sama anak gadisnya. Denny dan Doni entah pergi kemana. Kemuning lagi. CK, entah kemana enggak ada nampak. " Ucap Koko
Kemuning dan Tiar saling pandang, lalu sedetik kemudian, Tiar melengos ke samping. "Enggak usah! Enggak perlu juga bantuan dari kamu! Saya dan Doni akan melakukan apa pun, demi kesembuhan Kemuning dan bayi nya . Dan kami tidak perlu bantuan orang seperti dirimu " tegas Tiar , sungguh dirinya amat marah pada pemuda itu . Bagaimana pun , Joko tidak mau bertanggung jawab atas apa yang sudah di perbuat oleh nya . Dan keluarga nya malah mencerca Kemuning . Joko menundukkan kepala nya . Rasa sesal itu tidak ada di dalam dirinya . Dirinya tetap kekeuh tidak mau bertanggung jawab pada bayi yang sedang Kemuning kandung . Ini semua di lakukan oleh nya , saat seorang pria pengacara yang ada di desa nya tadi melihat semua yang di lakukan oleh sang ibu. Dan pria itu mengancam akan melaporkan ibu nya Joko dan Joko ke kantor polisi atas tindakan kekerasan . Joko yang tidak mau dirinya dan sang ibu di penjara langsung berinisiatif mengatakan jika dirinya akan menanggung semua biaya pengobatan Ke
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments