All Chapters of Suami Wasiat sang Nona Muda: Chapter 71 - Chapter 80

“Bagaimana selanjutnya?” Billy duduk santai di kursinya. Sesekali dia memutar tubuh, bersenandung kecil seolah dia tidak sedang bersimpati seperti yang dilakukan Isabelle, Tristan dan juga David.“Billy!” Julia mengingatkan, tapi pria itu menepis tangan Julia dengan ekspresi jijik saat Julia menyentuh tangannya.“Enyahlah!” desis Billy sambil melotot.Isabelle tahu, ini adalah momen yang ditunggu oleh Billy. Dia memutar pulpen di tangannya, tatapannya dingin tapi kosong di saat yang bersamaan. Isi kepala Isabelle dipenuhi kecurigaan. Apa itu Billy? Diakah orang dibalik semua ini?“Sudah ku bilang tak akan ada yang berhasil, tapi kamu menentangku. Jika sejak awal kamu setuju untuk menjuala saham perusahaan, kita semua tidak akan mengalami kesialan seperti ini.”“Jaga bicaramu, Billy!” Tristan menatapnya tajam. “Ini ruang rapat.”“Cih! Bahkan kamu sendiri mengambill keuntungan dari semua ini tapi kamu tak berani mengungkapkannya. Pria macam apa kamu?” balas Billy dengan gumaman pelan, t

Isabelle memejamkan mata ketika dia berdiri seorang diri di balkon kamar. Lampu dibiarkan temaram, jemarinya menggenggam gelas berisi cairan wine kental yang disesapnya sejak tadi. Ini sudah hari ketiga sejak Tristan pergi dan tak sekali pun pria itu mengabarinya.Dia melirik layar ponsenya sekali lagi. Puluhan, bahkan ratusan pesan sudah dia kirim pada Tristan, tapi tak pernah berbalas dari pria itu. Tristan seolah menghilang dari hidupnya dan Isabelle benar-benar tidak tahu kemana suaminya itu pergi.Isabelle menahan napas, tersiksa oleh perasaannya sendiri. Dia sangat mencintai Tristan dan tak ingin mencurigai pria itu. Tapi entah kenapa, semua hal ganjil yang sudah terjadi malah mengarah padanya. air mata Isabelle jatuh lagi, seperti hari-hari sebelumnya.Gadis itu menangis sesenggukan, lagi, seperti yang selalu dia lakukan. Namun tiba-tiba dia melihat SUV Tristan memasuki halaman dan langsung menuju parkiran. Isabelle menyeka air matanya, buru-buru meletakkan gelasnya dan berlari

Ruangan itu gelap. Ketika Isabelle membuka pintu, lampu di kamarnya masih mati. Gadis itu meraba saklar. Selama beberapa detik dia hanya diam menyaksikan kehampaan di ruangan itu yang mendadak baru dirasakannya.Entah kemana kehangatan yang selalu menyambutnya. Semua hal yang ditemukan Isabelle membuat gadis itu mendadak dingin, begitu pula sekelilingnya. Semua orang boleh berkhianat padanya, tapi kenapa harus Tristan?Kenapa dia harus memanfaatkan ketulusan perasaan Isabelle terhadapnya? Kenapa dia harus menikmati kepolosan dan semua rasa percaya Isabelle padanya?“Kenapa harus kamu, Tristan?”Air mata Isabelle kembali mengalir. Kali ini, bukan karena pengkhianatan yang dilakukan suaminya sendiri, namun karena gelegar dendam dan kemarahan yang terasa membakar dadanya. Gadis itu berjalan lebih dekat ke jendela, tangannya menggenggam erat pisau dapur yang diambilnya dari ruang dapur ketika dia hendak naik tadi.Dia melihat mobil Tristan memasuki pekarangan. Jantung gadis itu mendadak t

Judy berdiri di kejauhan, tangannya mengepal kuat, ketika Isabelle berjalan gontai menuju pemakaman. David ada di sisinya, terlihat beberapa kali menyeka air mata di wajah Isabelle. summer mendekat, berdehem pelan hingga Judy memutar tubuh menatapnya.“Kenapa tidak mendekat?” gumam Summer.Judy diam, tidak menyahut sama sekali. Summer menghela napas, tanah yang diinjaknya sedikit lembek karena habis diguyur hujan. Gadis itu menatap punggung Judy lama sebelum akhirnya kembali bergumam, “Maaf, aku tak tahu hubunganmu dan Tristan ternyata hanya sebatas rekan kerja.”Summer memang pada akhirnya tahu, ketika Detektif Don berulang kali menyangkal hubungan ibu kandungnya itu dengan Tristan. Dan malam ketika Tristan dikabarkan meninggal, dia baru saja bertemu pria itu.Tristan mengungkapkan identitasnya pada Summer, dan menyebut jika dia tidak pernah memiliki hubungan ambigu dengan Judy. Malam itu sebelum Tristan pulang, dia menghabiskan banyak waktu untuk mendengar semua hal yang dikatakan p

Detektif Don berbicara dengan sangat panjang pada dua orang petugas keamanan villa yang berjaga di gerbang tinggi itu. Dia menghabiskan waktu hingga nyaris setengah jam di sana, membujuk agar keduanya mengizinkannya bertemu Isabelle.Tapi kedua petugas itu tetap menolak.“Nona Isabelle sudah berpesan, tidak ada yang boleh masuk ke dalam villa, Tuan.”Detektif Don berdecak, setengah marah, tapi kemarahan bukanlah jalan. Pria itu menatap jauh ke dalam bangunan megah berlantai tiga itu. Dia diam sejenak, menatap kedua petugas yang tampaknya tak mau melonggarkan penjagaannya.“Jadi dia sendiri di sana? Kalian tidak takut pada keselamatannya?”Kedua pria itu saling bertukar pandang.“Kalian juga tahu kalau sekarang keadaan keluarga Hawthorne sedang kacau. Bagaimana kalau Isabelle menghadapi masalah di sana? Kalian bersedia menanggungnya?”Detektif Don masih membujuk, dan kedua pria itu masih saling bertukar tatapan.“Siapa bilang Nona sendirian di sana?”Mata Detektif Don menyipit.“Maksud