All Chapters of Gairah Liar Istriku: Chapter 121 - Chapter 130

Udara di dalam gedung tua itu terasa tebal oleh bau keputusasaan yang bercampur dengan debu, karat, dan sisa asap mesin yang tadi nyaris merenggut nyawanya. Reno bersandar di dinding dingin. Kemejanya basah oleh keringat, bukan sekadar peluh fisik, tetapi manifestasi dari ketakutan yang mencekik. Napasnya naik-turun, matanya menatap kosong ke langit-langit retak, mencari celah, mencari pembenaran atas semua kekacauan yang telah ia sebabkan.Tangannya gemetar saat menyeka pelipis. Luka kecil di lengan kirinya masih mengalirkan darah, tapi ia tak peduli. Rasa sakit fisik itu terasa sepele dibanding beban yang menindih dadanya—beban yang tak terhindarkan dari pilihan-pilihan buruknya. Bayangan wajah Nara terus berputar di kepalanya—bukan hanya sebagai korban, tetapi sebagai bayangan dari masa lalu yang murni yang kini harus ia lindungi.“Tidak… aku tidak boleh membiarkan keputusasaan ini menguasai,” gumamnya lirih, suaranya pecah karena janji yang harus ia tepati pada dirinya sendiri.Ia

Ini pembaruan Bab 124 dengan sentuhan yang lebih humanis, mempertahankan gaya gelap, tenang, namun emosional yang Anda inginkan. Fokusnya bukan sekadar kematian, tetapi pada pelepasan yang penuh kepedihan dan obsesi yang akhirnya terputus.Bab 124: Pelepasan yang GetirHening.Bukan hening yang damai, melainkan sunyi yang tuli, menelan seluruh suara kecuali denyutan putus asa di telinga Rama. Angin malam menyelinap melalui celah jendela yang sedikit terbuka, membawa serta aroma asin laut—bau yang dulu pernah mereka hirup bersama saat liburan, kini terasa seperti pengingat ironis akan kehidupan yang jauh dan bahagia.Di atas ranjang, Soraya terbaring, tanpa gerak, damai dalam kepergiannya yang keji. Matanya terbuka, menatap langit-langit, bukan dalam ketakutan, tetapi seolah dalam upaya terakhir untuk memahami simpul rumit yang ia sebut cinta. Darah yang mengering di sekelilingnya bukan lagi noda, melainkan semacam relief: pola aneh yang berkelok di sprei putih, sebuah peta terakhir da

Deru mesin kapal yang monoton berdenyut seolah menjadi satu-satunya detak jantung di tengah luasnya lautan. Lambung logam besar itu terasa hidup, bergetar lembut saat ombak malam yang malas memukul sisinya—ritme yang lambat, seperti napas panjang yang menahan bahaya. Udara malam membawa dingin dan aroma asin yang pekat. Di geladak atas, Dita berdiri tegak, pandangannya terentang jauh menatap gelombang yang memantulkan cahaya bulan yang pucat dan sunyi.Ia mengenakan mantel panjang berwarna abu-abu muda; rambutnya terkumpul rapi, namun beberapa helai tipis terlepas, menari-nari dalam tiupan angin laut yang konsisten. Hanya beberapa langkah di belakangnya, di dalam kabin kecil, Nara terbaring lemah. Nara duduk di kursi roda, sosoknya ringkih dan wajahnya begitu pucat, hampir tanpa ekspresi. Kadang-kadang matanya yang tampak lelah akan terbuka, seolah mencari sesuatu di balik jendela kaca yang menampilkan laut gelap, lalu menutup lagi, menyerah pada kelelahan yang tak tertahankan.Dita m

Langit di atas pelabuhan tampak muram dan lelah, sisa warna oranye senja telah tenggelam sepenuhnya di antara garis ombak dan siluet kapal-kapal besar yang berderet pasrah. Angin laut membawa campuran aroma asin dan bau oli yang kental, menciptakan atmosfer berat yang menekan. Di ujung dermaga, sebuah kapal pribadi dengan lambung hitam berkilat diam-diam menurunkan tangga logamnya. Di sana, Dita berdiri tegak, terbungkus mantel panjang gelap yang menyembunyikan hampir seluruh dirinya. Dengan tangan yang terlihat mantap, ia mendorong kursi roda yang diduduki Nara, kepala perempuan itu terkulai lemah di bahunya, seolah seluruh energinya telah habis.Wajah Dita nyaris tanpa ekspresi, sebuah topeng sempurna, tapi matanya tak pernah diam, tajam dan waspada seperti elang yang tengah menilai setiap jengkal situasi. Ia merasakan keganjilan malam itu. Angin terasa terlalu hening, jumlah pekerja pelabuhan terlalu minim, dan udara di sekitarnya seolah menahan napas. Namun, Dita berusaha keras me

Tok… tok… tok.Suara ketukan itu datang begitu pelan, tapi energinya cukup untuk membekukan darah di pembuluh nadi Reno. Dunia terasa terdistorsi. Angin malam seolah menahan napasnya, dan derik jangkrik menghilang total. Yang tersisa hanyalah denting halus dari kuku Dita yang menyentuh permukaan logam mobil, sebuah ritme yang dingin yang mengumumkan kedatangan kematian.Reno memejamkan mata, hanya sepersekian detik, memaksa paru-parunya untuk mengingat cara bernapas yang benar. Di sebelahnya, Rayan menatap dengan mata kosong, kulit wajahnya pucat pasi. Ia tak hanya takut; ia merasa bodoh. Mereka berdua baru saja menyadari bahwa bersembunyi di bagasi mobil hanyalah pindah dari satu kandang ke perut binatang buas yang sudah kenyang—dan binatang itu tahu persis di mana mereka berada.Langkah kaki Dita terdengar semakin dekat. Setiap injakan tumitnya yang rapi beradu dengan tanah lembap, menciptakan gema yang menghina di keheningan malam. Ia tidak terburu-buru, dan justru ketenangan yang