Lahat ng Kabanata ng Duda Pilihan Mama: Kabanata 41 - Kabanata 50

Andara masih berdiri terpaku di ambang pintu ruang tamu, napasnya terdengar memburu. Matanya menyala oleh amarah yang ditahan. Akan tetapi, suaranya tetap terdengar tegas saat bertanya, “Kamu menuduh aku berselingkuh dengan Dirga, Mas?” “Semudah itu kamu keluarin kata-kata itu, Mas. Tanpa mau mendengarkan terlebih dahulu penjelasan dariku,” Galang berdiri di seberangnya, matanya gelap oleh cemburu dan kekecewaan. “Aku melihatnya sendiri, Andara. Kamu tertawa di depan rumah ini bersamanya. Terlalu dekat. Terlalu mesra untuk seorang istri yang mengaku setia pada suaminya.” Andara terkekeh sinis. Kepalanya menggeleng-geleng pelan. “Lalu bagaimana denganmu, Mas? Kamu diam-diam bertemu mantan istrimu. Di restoran, di taman! Sambil saling menatap dengan mesra tanpa sepengetahuanku. Apa itu bukan perselingkuhan terselubung?” Galang mengerutkan kening. “Itu beda.” “Beda apanya? Karena kamu laki-laki d

Dirga semakin menunjukkan kegilaannya. Ia tak hanya mengirim hadiah kecil atau pesan singkat untuk Andara. Lelaki itu bahkan dengan berani mendatangi kediaman Andara dan sang suami. Setiap hari Andara harus hidup di bawah bayang-bayang ketakutan. Hari ini, udara terasa panas meski mendung menggantung di langit. Di teras rumah, Andara menatap sebuket bunga mawar putih yang baru saja dikirim oleh seorang kurir. Jemarinya gemetar saat membaca kartu kecil yang terselip di antara kelopak bunga segar itu. "Untuk Andara. Jangan takut mencintai kebahagiaanmu sendiri. Aku menunggumu di tempat pertama kali kita bertemu. — Dirga." Andara menghela napas berat. Ini buket ketiga dalam seminggu. Sebelumnya, ia juga menerima boneka beruang kecil, kotak cokelat mahal, bahkan kalung berbandul permata biru yang segera ia kembalikan lewat kurir. Andara memejamkan matanya sejenak. Menetralkan rasa takut yang tiba-tiba menyeruak di dalam h

Setelah Dirga ditangkap dan dijebloskan ke penjara, Andara berpikir semuanya akan baik-baik saja dan terkendali. Namun, semua itu hanyalah ilusi semata. Rasa takut kembali menyerang Andara, bahkan ketika dia bersama dengan Galang. Bunga-bunga mawar putih kembali datang pagi itu. Dikirim ke alamat rumahnya dengan kartu ucapan tanpa nama. Namun, tulisannya tak asing lagi. Tulisan tangan khas Dirga. Andara menggigit bibir, berusaha menahan rasa sesak yang kembali menghantui. ‘Dirga sudah dipenjara. Enggak mungkin dia bisa keluar dan mengirimkan semua ini,’ batin Andara. Galang sudah berusaha memastikan semua akses Dirga ke dunia luar diputus. Namun, entah bagaimana pria itu tetap bisa menemukan celah. Kiriman bunga, boneka, bahkan sepucuk surat berisi puisi yang menyeramkan semuanya terus berdatangan dalam minggu-minggu terakhir. “Dia belum menyerah, Mas. Aku takut kalau ....” gumam Andara lirih beberapa hari sebelumnya,

Joko akhirnya dijebloskan ke dalam penjara karena membantu rencana Dirga untuk meneror Andara. Galang bisa bernapas dengan lega setelah penangkapan yang dramatis malam itu. Namun, dia tetap harus waspada. Dia tak ingin kecolongan lagi seperti yang sudah-sudah. Semenjak Joko ditangkap dan dipenjara, rumah Andara dan Galang seperti menemukan kembali denyut damainya. Suara tawa pelan, obrolan hangat, dan langkah ringan kembali mengisi ruang-ruang yang sempat dingin oleh rasa takut dan ketegangan. Meski rasa trauma itu masih membayang, terutama saat Andara sendirian. Akan tetapi, hari-hari berjalan lebih tenang. Galang pun seolah berusaha menebus segala waktu yang sempat hilang. Ia lebih sering berada di rumah, menemaninya sarapan, menjemputnya pulang mengajar, bahkan sesekali membantu menyiram tanaman di halaman belakang rumah mereka. Sentuhan kecil semacam itu terasa besar bagi Andara. Kehangatan yang dulu sempat meredup, kini kembali menyala.

Zacky menatap adiknya yang menggigil di pelukannya. Wajah Andara pucat, matanya kosong. Napasnya tersengal, seolah baru saja dikejar mimpi buruk yang tak kunjung usai. “Aku enggak akan biarkan kamu ngerasain ini lagi, Ra …” gumam Zacky dengan rahang mengeras. “Enggak akan ada satu orang pun yang bisa nyentuh kamu tanpa melewati aku dulu.” Galang berdiri tak jauh dari mereka, menatap Andara dengan rasa bersalah yang menggerogoti hati. Tangannya terkepal, napasnya berat, tetapi ia tetap diam. Saat ingin melangkah mendekat, Zacky justru menatapnya tajam. “Jangan dekati dia!” bentak Zacky, matanya berkilat penuh amarah. “Udah cukup kamu memberikan rasa takut padanya, Galang. Kamu enggak becus jagain istri kamu sendiri!” Galang tertegun, tetapi tidak mundur. Dia mengatur napasnya dan irama jantungnya yang tak beraturan. “Aku sudah berusaha untuk melakukan yang terbaik …” “Terbaik?!” Zacky mencibir. “