Karena sebuah perjanjian keluarga, Andara terpaksa kehilangan masa mudanya dengan menerima perjodohan. Yang lebih menyakitkan lagi, orang yang dijodohkan dengannya adalah seorang duda yang jauh lebih tua darinya! Hanya saja, suatu kejadian tidak terduga membuat Andara mulai melihat perjodohan ini dari sudut pandang yang berbeda...?
View More“APA?!” pekik Andara. “DIJODOHKAN?!”
Kedua matanya membulat sempurna kala mendengar perkataan kedua orang tuanya. Bahkan saking kagetnya, Andara sampai berdiri dari tempat duduknya. “Aku nggak mau, Ma. Buat apa sih dijodoh-jodohkan kayak gitu?” kesal Andara. “Emangnya ini zamannya Siti Nurbaya apa? Pakai jodoh-jodohan segala!” sungut gadis berparas manis itu. Mama menghela napas panjang. Wanita yang masih tampak cantik di usianya yang menginjak 50 tahun itu tampak menatap sang anak dengan tatapan lembut. “Bukan dijodohkan, Ra. Kami cuma membantu kamu untuk menemukan pasangan yang terbaik untuk masa depan kamu.” Kali ini Papa yang menjawab. Mewakili sang istri yang terdiam di sampingnya. Andara melirik papanya dan berdecak kesal. “Apaan sih, Pa? Aku itu masih pengin kuliah. Masih pengin berkarir juga nantinya. Enggak mau ah kalau harus nikah muda. Apalagi pakai acara dijodoh-jodohkan kayak gini! Enggak mau ah!” sergah Andara. “Kan setelah nikah kamu juga bisa lanjutin kuliah. Bisa kerja juga nantinya. Calon suami kamu nggak bakalan ngelarang kok. Percaya deh sama Mama,” sahut Mama. “Musyrik kalau aku percaya sama Mama. Percaya tuh sama Tuhan bukan sama manusia. Apalagi sama Mama,” ujar Andara. Mama meringis sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Sedangkan Papa hanya bisa geleng-geleng kepala melihat anak dan istrinya berdebat. “Betul itu, Ra,” sambung Papa. “Calon suami kamu nggak bakalan ngelarang kamu kuliah atau kerja. Dia pasti ngizinin.” Andara berdecak kesal. “Aku nggak mau, Pa, Ma. Lagian aku udah punya cowok. Dia juga serius sama aku,” sergah Andara. “Baru juga pacar, Ra,” sahut Mama. “Tinggalin aja dia. Pilihan Mama dan Papa pasti nggak bakalan bikin kamu menyesal nantinya.” “Iya, Ra. Lagian ngapain sih pacaran sama sesama mahasiswa? Paling juga ujung-ujungnya cuma dipermainkan doang. Enggak akan serius itu,” sambung Papa. Mendengar penuturan kedua orang tuanya, Andara semakin kesal. Pertama, mereka memaksa Andara untuk menerima perjodohan yang menjijikkan ini. Kedua, mereka sudah berani menghina seseorang yang amat Andara sayangi. “Enggak mau!” sentak Andara. “Pokoknya aku nggak mau dijodohkan. Aku masih pengin kuliah dan aku juga udah punya pacar. Titik enggan pakai koma apalagi pakai tanda petik!” ujar Andara tetap kekeuh pada pendiriannya. “Dengarkan dulu, Ra!” ucap sang mama dengan lembut. “Kami nggak memaksa kamu untuk menerima perjodohan ini. Kami hanya inginkan yang terbaik buat kamu. Itu aja kok!” “Iya, Ra.” Papa ikut membujuk anak gadisnya yang sedikit keras kepala ini. Bukan! Bukan sedikit. Akan tetapi sangat keras kepala ini. “Kami melakukan ini bukan tanpa alasan, Ra,” ujar Papa. “Kami mau …” “Alasan apa, Pa?” potong Andara. “Mama sama Papa nggak percaya kalau aku udah punya cowok dan cowok itu serius sama aku?” Kedua orang tuanya saling lempar pandang. Mereka berdua harus mencari kalimat yang pas untuk menjelaskan semuanya pada anak gadisnya ini. “Bukannya kami nggak percaya, Ra. Kami cuma mau yang terbaik untuk hidup dan masa depan kamu,” jawab sang papa. Andara melipat kedua tangannya di depan dada. Senyum sinis tergambar di wajahnya yang sudah nampak gusar. “Kalau Mama sama Papa percaya, kenapa masih maksa juga? Aku kan udah berulang kali bilang, kalau aku udah punya cowok.” Mama dan Papa menghela napas panjang. Keduanya tampak terdiam dan berusaha mencari akal agar Andara mau menerima perjodohan ini tanpa merasa dipaksa dan terpaksa. “Kamu pasti bakalan jatuh cinta pada pandangan pertama saat melihat cowok ini, Ra. Dia udah ganteng, pinter, kaya dan yang paling penting dia itu orangnya penyayang juga setia,” jelas Mama panjang lebar. “Oh ya?!” Mata Andara membulat. “Kalau gitu kenapa nggak Mama aja yang nikah sama cowok itu. Kenapa harus aku?” “Kalau papa kamu mengizinkan enggak masalah buat Mama, Mama akan terima dia sebagai suami kedua,” jawab Mama yang langsung mendapatkan pelototan tajam dari Papa. Papa menghela napas sekali lagi. “Oke daripada kita berdebat terus yang nggak ada faedahnya. Lebih baik besok bawa dia ke mari.” “Papa pengin tahu seberapa serius dia sama kamu,” ujar Papa. “Oke. Besok aku bakalan ajak dia ke sini. Biar Papa dan Mama buktikan sendiri kalau aku bisa cari cowok yang serius,” tantang Andara. Papa menganggukkan kepalanya. “Baik. Tapi, kalau sampai kamu gagal membawa dia ke mari. Kamu harus mau menerima perjodohan ini,” pungkas lelaki berwajah sangar itu. “Oke, siapa takut?!” sahut Andara dengan percaya diri tinggi. “Tapi, kalau aku berhasil membawa dia ke sini dan membuktikan kalau dia serius, Papa dan Mama harus membatalkan perjodohan ini.” Setelah terjadi kesepakatan itu. Andara bergegas pergi meninggalkan tempat duduknya. Dalam hati dia merasa menang dan pasti akan berhasil membatalkan perjodohan yang menurutnya sudah melanggar hak asasinya untuk memilih pasangan hidup. Esok harinya, Andara pergi menemui sang kekasih setelah kuliah. Dia bermaksud untuk mengajaknya untuk bertandang ke rumahnya. “Aduh gimana ya, Beib?” ujar lelaki berambut ikal sebahu itu. “Hari ini ada praktikum sampai sore. Belum lagi tugas kuliah ku yang lagi banyak-banyaknya.” “Terus kapan kamu mau menemui orang tuaku?” tanya Andara dengan nada sedikit memaksa. “Aku belum tahu, Ra,” jawab pemuda itu. “Tapi, aku usahain deh Minggu depan ke rumah kamu. Aku janji.” Andara menarik napas lega mendengarnya. Walaupun dalam hatinya masih menyimpan rasa kecewa karena belum bisa membawa kekasihnya itu untuk menemui kedua orang tuanya. ******************* Orang tua Andara terus saja menagih janji anak gadisnya untuk membawa kekasihnya ke rumah. Namun, Andara selalu beralasan jika kekasihnya masih memiliki kesibukan lain. Hingga akhirnya dia menjadi kehilangan akal sendiri ketika orang tuanya kembali menanyakan hal yang sama kepadanya. “Dari jawaban yang kamu kasih, Papa sudah tahu kalau pacar kamu itu nggak serius,” ujar Papa setelah Andara mengatakan alasannya. “Dia serius, Pa. Cuma lagi banyak kegiatan aja di kampus. Belum lagi tugas kampus yang banyak. Makanya dia belum sempat ke sini.” Sebuah alasan klasik lagi yang keluar dari mulut Andara. Papa menyunggingkan senyuman miring. Namun, pria itu tak berkata apa-apa lagi. Dia melanjutkan sarapannya hingga tandas tak bersisa. “Aku berangkat dulu, Ma, Pa,” pamit Andara. Dia lalu berjalan menuju sang mama dan mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkannya itu. Hal yang sama dia lakukan juga kepada sang papa. “Jangan lupa bawa dia ke mari!” pinta Papa. Andara tak menggubris omongan Papa. Dia terus berjalan menuju pintu dan keluar dari rumahnya. Dia depan telah menunggu ojek online yang ia pesan untuk mengantarkannya menuju kampus. Sesampainya di kampus, Andara bermaksud untuk menemui kekasihnya kembali. Namun, dia tak bisa menemukan sosok pemuda itu di mana pun juga. Bahkan teman-temannya juga tak ada yang tahu dia ke mana hari ini. “Udah, Ra. Nanti kita coba ke kosannya dia aja. Siapa tahu dia lagi sakit, kan?” ujar seorang gadis berambut panjang yang berdiri di samping Andara. Andara menoleh dan mengangguk. “Nanti temenin aku ke sana ya,” pinta Andara pada gadis berambut panjang itu. Siang harinya setelah selesai kuliah, Andara dan sang sahabat pergi ke tempat kos milik Dirga—kekasih Andara. Andara berharap bisa menemukan sang kekasih di sana dan syukur-syukur bisa membawanya untuk menemui kedua orang tuanya hari ini. Ekspektasi yang terlalu tinggi membuat rasa percaya diri Andara juga meninggi. Namun, semua itu luluh lantak ketika matanya melihat sesuatu yang seharusnya tak ia lihat.“Bagaimana, Dito? Kamu tidak keberatan kan kalau loker ini saya periksa?” tanya Wulan dengan nada yang mengintimidasi. Dito menelan ludah. Habis sudah dia kali ini. Semua yang telah ia sembunyikan selama ini akan terbongkar tanpa paksaan. Tanpa menunggu jawaban dari Dito, Wulan dan seorang petugas keamanan memeriksa loker itu. Dito tampak gelisah di tempatnya. Tamat sudah riwayatnya kali ini. “Apa ini?” tanya salah petugas keamanan itu. Di tangannya terdapat beberapa obat-obatan yang masih tersegel dengan rapi. “Itu … itu … itu … o-obat yang .…” Suara Dito tercekat di kerongkongan. Ia tak mampu melanjutkan kalimatnya sendiri. “Bisa kamu jelaskan apa maksud semua ini, Dito?” Wulan bertanya sembari mengangkat bungkus obat yang ditemukan. Dito terdiam sejenak. Namun, pada akhirnya dia mengakui perbuatannya. Dito lantas digiring ke ruang interogasi rumah sakit. Dia tak menolak ataupun melawan. Pemu
Suasana ruang interogasi di kantor keamanan rumah sakit terasa mencekam. Atmosfer di dalam ruangan itu terasa tegang, seakan dinding menyerap semua suara dan napas yang tertahan. Wulan duduk tegak, matanya menatap tajam ke arah pemuda di seberangnya. Rian, pemuda berusia awal dua puluhan itu tampak tenang. Kedua tangannya saling menggenggam di atas meja, dan matanya terus berpindah-pindah seolah menolak kontak langsung dengan tatapan Wulan. "Rian," ucap Wulan, suaranya tenang namun mengandung tekanan. "Aku sudah punya cukup bukti kalau kamu berada di sekitar lokasi kejadian hari itu. Kamu tahu maksudku, kan?" Rian menunduk. "Saya memang di sana, Mbak. Tapi, saya nggak melakukan apa-apa." “Saya hanya … saya hanya … sa …” “Kenapa?” sentak Wulan. Dia menjadi tak sabar ketika berhadapan dengan orang yang berbelit-belit seperti ini. "Kamu dendam sama rumah sakit ini," tuduh Wulan. Rian memberanikan
Bab 20. Kebencian Bunda Setelah kejadian mengerikan di rumah sakit tempo hari, ketika ada seseorang yang tak dikenal menyelinap masuk ke kamar Galang dan mencoba mencelakainya. Andara benar-benar tak bisa lagi mempercayakan keselamatan suaminya kepada siapa pun. Kejadian itu begitu melekat dalam ingatannya. Bunyi alat monitor yang tiba-tiba berbunyi nyaring, teriakan suster yang panik, dan Galang yang menggeliat lemah membuat Andara merasa hampir kehilangan segalanya. Sejak itu, ia memutuskan satu hal, Galang tak boleh lagi sendiri. Maka ia memutuskan membawa Galang pulang ke rumah orang tuanya. Di sana ada dirinya, ada Papa dan mamanya, dan yang terpenting, tempat itu terasa jauh lebih aman dibanding rumah mereka sendiri yang kini terasa begitu asing dan mengancam. Namun, keputusan itu justru menjadi awal dari badai baru. Pagi itu, suara langkah kaki Bunda terdengar menggema di koridor rumah orang tua Andara. Wanita paruh baya itu datang le
Andara berdiri terpaku di depan pintu bangsal. Matanya tak bisa beralih dari pemandangan yang tak ia duga: Galang, suaminya, sedang duduk di ranjang rumah sakit, tertawa kecil bersama Wulan yang duduk di sampingnya. Langkahnya yang semula yakin, kini ragu. Ia mengurungkan niat untuk masuk. Dalam hati, ia bertanya-tanya, sejak kapan Wulan sedekat itu dengan Galang? Kenapa bukan dirinya yang ada di sisi suaminya saat itu? Pintu tiba-tiba terbuka dari dalam. Wulan melangkah keluar, senyum sinis menghiasi wajahnya saat matanya bertemu dengan Andara. “Oh, kamu datang juga rupanya,” ucap Wulan mencibir. “Kupikir kamu lebih memilih ujian daripada menemani suamimu yang sedang terbaring di rumah sakit.” Andara menatapnya tanpa ekspresi. “Aku sudah bilang ke Mas Galang, aku akan datang setelah ujian selesai.” “Dan aku menepati janjiku itu. “ Andara berkata sembari menatap tajam ke arah Wulan. Perempuan yang menciptakan jarak antara dirinya dengan sang suami. “Tetap saja, seorang istr
Andara tampak duduk di depan ruang UGD. Wajahnya menyiratkan kegelisahan dan kecemasan. Sesekali dia melongok ke dalam. Berharap seorang dokter atau perawat keluar untuk memberitahunya tentang keadaan Galang saat ini. “Sabar, Ra. Mas Galang pasti baik-baik saja kok,” ujar Anessa menenangkan sahabatnya itu. Andara menoleh dan mencoba untuk tersenyum. Walaupun bibirnya terasa kaku. “Mas Galang pasti bisa melewati ini semua. Aku yakin dia pasti kuat,” lanjut Anessa. Andara lagi-lagi tersenyum. Namun, dalam hatinya dia merasa tak begitu tenang. Dia takut akan terjadi sesuatu pada Galang. “Keluarga Galang Anugerah!” panggil salah seorang perawat. Andara lantas berdiri. “Saya istrinya, Sus. Bagaimana keadaan suami saya?” tanya Andara beruntun. Perawat itu tampak memperhatikan Andara dari ujung rambut hingga ujung kaki. Seolah memastikan lagi bahwa yang berdiri di depannya adalah benar
“Foto siapa itu?” tanya Andara. Galang yang hendak duduk pun menghentikan aksinya. Dia menatap Andara dengan tatapan bingung. “Di wallpaper hp kamu. Itu foto siapa?” Andara mengulangi lagi pertanyaannya sembari menatap mata sang suami. Galang menjadi gelagapan mendengar pertanyaan itu. Dia butuh sedikit improvisasi agar Andara tak salah paham padanya. “Itu foto … foto …” “Foto pacar kamu?” potong Andara cepat. Matanya masih menatap sang suami. Lelaki yang berstatus menjadi suaminya itu tampak bingung. Dia tak tahu harus menjawab apa pertanyaan yang mungkin bisa memancing pertengkaran di antara keduanya. “Heh! Lucu ya,” ujar Andara. “Kemarin aja bilang aku sayang kamu, Ra. Aku udah jatuh hati sama kamu. Sekarang …” “Nyimpen foto cewek. Dijadiin wallpaper lagi,” lanjut Andara. Galang menghela napas panjang. Tanpa menjelaskan apa-apa pun pada Andara, dia me
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments