Aku berdiri di ambang pintu, tak tahu harus berbuat apa. Sepatu masih menempel di kaki, mantel belum kulepas. Di hadapanku, Rigen menghilang ke dalam koridor menuju kamar, meninggalkan jejak keheningan yang terlalu tebal untuk kuurai hanya dengan permintaan maaf. Jantungku berdetak tak karuan. Rasanya, seluruh tubuhku dihantam petir yang tak kelihatan—karena bukan Ezra, bukan foto itu, bukan surat nikah itu yang membuatku sesak—tapi wajah Rigen. Tatapannya yang retak, seolah aku bukan lagi tempat yang aman baginya. Aku menaruh mantel di gantungan, lalu melepas sepatu pelan-pelan. Setiap gerakan terasa berat. Aku ingin berlari menyusulnya. Menarik lengannya dan berkata, "Aku tidak memilih dia. Aku hanya takut kamu tidak pernah sepenuhnya milikku.” Tapi aku tahu, Rigen bukan tipe yang bisa disentuh dengan kalimat setengah hati. Ia tajam, terlalu tajam. Dan malam ini, ia sedang terluka karena aku menusukkan keraguan ke tubuh kepercayaannya. Pelan, aku menyusul ke kamar. Lam
Huling Na-update : 2025-06-15 Magbasa pa