Tante Hilda meletakkan dua cangkir kopi di atas meja kayu yang mulai kusam dimakan usia. Aroma tembakau dan kopi bercampur, memenuhi ruang tamu yang temaram. Ia duduk perlahan, sambil mengusap lututnya yang akhir-akhir ini sering pegal.“Beginilah kalo badan udah makin tua, Wa. Jadi gampang ngadat. Padahal dulu, gue sama ibu lo paling kuat berdiri semalaman menyajikan minuman,” katanya seraya menyalakan sebatang rokok. Asap mengepul dari ujungnya, melayang lambat ke langit-langit ruangan.“Diminum kopinya, Marwa. Tenang aja, gue nggak naro narkoba di dalemnya,” selorohnya, setengah bercanda.Marwa terkekeh pelan, lalu meniup uap kopi di hadapannya. Aroma pahit itu menenangkan, meski suasana hatinya jauh dari kata tenang. Tante Hilda masih seperti dulu—barbar, terus terang, dan tanpa sensor."Tante, ceritakan soal Stadium, dong." Marwa memulai penyelidikannya. Tante Hilda berdecak kecil, lalu menyandarkan punggungnya.“Ngapain lo nanya-nanya soal Stadium? Stadium itu club teler. Orang
Terakhir Diperbarui : 2025-05-13 Baca selengkapnya