Di gang sempit pinggiran kota, Marwa Shidqia tumbuh dalam keluarga yang dicap sebagai "sampah masyarakat." Ibunya seorang LC, ayahnya pemabuk, kakaknya hidup glamor dengan mengandalkan pria, dan abangnya terjerumus dalam dunia narkoba. Namun, Marwa berbeda—ia ingin lepas dari takdir kelam yang membelenggu keluarganya. Dengan kegigihan luar biasa, Marwa berjuang mengubah nasibnya. Sayangnya, semua jadi rumit saat ia jatuh cinta pada Haryo, putra pemilik kontrakan tempat keluarganya tinggal. Haryo yang awalnya baik berubah membenci Marwa setelah mengetahui perselingkuhan Mariana—ibu Marwa—dengan ayahnya. Lantas, bagaimana nasib Marwa?
Lihat lebih banyakSetelah menitip keranjang kue, Marwa berlari-lari kecil ke arah lapangan basket. Di sana terdengar suara bola basket memantul di lapangan serta sorak sorai yang riuh. Marwa berlari dengan tangan membawa sebotol air mineral dingin yang rencananya akan ia berikan pada seseorang.
Saat sorak-sorai memanggil-manggil nama Haryo mulai terdengar, kaki Marwa semakin lincah berlari. Ia tidak mau tertinggal moment melihat Haryo—sang kapten basket beraksi. Selain itu ia juga berencana akan memberi Haryo air mineral seperti yang dilakukan oleh siswi-siswi yang lain. Haryo Laksono adalah pujaan siswi-siswi Budi Mulia.
"Aduh!" Marwa jatuh terjerembab saat seseorang mendorong bahunya keras.
"Ngapain kamu ke lapangan basket, anak LC? Mau "jualan" seperti ibumu? Dasar bibit LC. Masih SMP sudah kegatelan kalau melihat laki-laki!"
Suara Asila, salah seorang pembullynya di sekolah.
Marwa berdiri sambil mengibas-ngibas kotoran yang melekat di bajunya. Siku dan lututnya terasa perih. Ternyata semen keras telah membuat siku dan lututnya lecet-lecet. Untungnya air mineralnya selamat. Ia memeganginya walaupun terjatuh.
"Berharap sekali kamu ya, kalau Kak Haryo bersedia menerima air minum darimu? Jangan mimpi. Ada Kak Nabila and the gang di sana. Mana mau Kak Haryo menerima air mineral yang berasal dari uang amis ibumu!"
Suara Briana, salah seorang pembully lainnya.
"Kata orang yang bayar SPP dari uang hasil korupsi bapaknya," balas Marwa sambil bersiap-siap lari.
"Dasar anak LC tidak tahu diri!" Briana menerjang ke arah Marwa dengan tangan terangkat. Bersiap untuk mencakar wajar cantik yang sangat ia benci di sekolahnya.
Marwa yang sudah berancang-ancang lari, langsung melesat kencang meninggalkan Briana dan Asila. Ia sudah terbiasa menerima hujatan gara-gara tingkah keluarganya. Selama ini yang bisa ia lakukan hanya diam. Karena apa yang mereka katakan benar adanya. Keluarganya tidak ada bagus-bagusnya. Tapi dia bertekad akan mengubah nasib keluarganya suatu hari nanti.
Setiba di lapangan Marwa ikut bersorak saat melihat sosok atletis berseragam putih abu-abu, melompat dan memasukkan bola ke dalam keranjang dengan sempurna. Haryo—sang kakak kelas memang piawai bermain basket. Haryo kerap bermain basket sebelum masuk kelas maupun saat beristirahat.
Ketika Marwa melihat Haryo menyeka keringat sambil memindai jam di pergelangan, sontak sekelompok siswi SMA merubungi Haryo. Di tangan mereka masing-masing ada sekotal tissue dan air mineral dingin.
“Yo, ini buat kamu. Kamu pasti haus, kan?” Nabila menawarkan air mineral dan tissue di tangannya.
“Aku juga bawa, Yo. Ambil punyaku saja. Aku beli khusus buat kamu lho.” Ria juga menyodorkan barang-barang yang sama. Beberapa siswi perempuan lain juga melakukannya. Haryo tampak kebingungan memilih barang-barang yang ditawarkan padanya.
Di pinggir lapangan, Marwa menggenggam botol air mineralnya dengan ragu. Ia ingin memberi juga, tapi melihat senior-senior cantik itu, ia merasa ciut. Namun, entah mendapat keberanian dari mana, sekonyong-konyong ia maju dan mengulurkan botol air mineralnya.
“Kak Haryo… ini buat Kakak," ucap Marwa lirih.
Beberapa siswi SMA menoleh tajam ke arahnya, mendengkus jijik.
“Ish, ada anak LC bau amis tidak tahu diri.” Para siswi berbisik-bisik dengan suara yang cukup keras. Mereka memang sengaja melakukannya agar Marwa mendengarnya
Marwa menunduk, jantungnya berdegup kencang. Ia siap ditolak, siap malu. Namun tiba-tiba Haryo mengambil botol dari tangannya dan tersenyum manis
“Oh, makasih. Aku minum ya?” Haryo langsung membuka tutup botol dan meneguk air dinginnya dengan nikmat.
Marwa terpaku. Ia tak percaya Haryo benar-benar menerima minumannya!
“Seger! Terima kasih ya, Dek.” Haryo mengacungkan jempol.
Marwa membeku sesaat lantas tersenyum manis. Ia sangat bahagia. Marwa tersenyum sekali lagi sebelum berlari-lari kecil menuju kelasnya. Ia tak peduli dengan tatapan sinis senior-senior itu. Pagi ini, Haryo telah membuat harinya lebih cerah dari matahari yang bersinar di atas sana.
***
Malam terasa sunyi. Hanya suara detak jam dan gemerisik plastik yang terdengar di dapur kecil. Marwa duduk di lantai, dengan telaten memasukkan kue-kue buatannya ke dalam kotak. Tangannya yang mungil bekerja cepat, memastikan semua kue tersusun rapi untuk dititipkan ke kantin sekolah dan kedai-kedai besok pagi. Sebagian ia letakkan di atas meja. Ia akan menjualnya secara online sepulang sekolah. Sembari bekerja Marwa berharap, semoga besok pagi ia bisa melihat Haryo bermain baaket lagi.
Tiba-tiba, terdengar langkah kaki berderap mendekat. Dari sudut mata, Marwa melihat ibunya keluar dari kamar. Ibunya tampak cantik seperti biasa. Gaun ketat dan pendek yang dikenakannya memeluk tubuhnya dengan sempurna, bibirnya merah menyala, dan aroma parfum yang menyengat memenuhi udara.
“Ibu mau kerja?” tanya Marwa tanpa menoleh, suaranya sedih.
Bu Mariana berkaca di cermin kecil yang tergantung di tembok, membetulkan lipstiknya. “Tentu saja. Kalau tidak, kita semua mau makan apa, heh?” dengkus Bu Mariana sambil lalu.
Marwa menggigit bibirnya. Sudah lama ia ingin mengatakan ini, tapi baru malam ini ia berani. “Bu, apa Ibu tidak bisa berhenti kerja di club?" tanya Marwa takut-takut.
Bu Mariana tertawa kecil, lalu menoleh ke arah anaknya. “Terus, menurutmu Ibu harus kerja apa? Buruh pabrik? Buruh cuci gosok?"
"Ya tidak harus jadi buruh pabrik dan buruh cuci juga, Bu. Mungkin Ibu jadi penjaga toko seperti Bu Iin atau kasir mini market seperti Mbak Mira misalnya. Apa pun asal pekerjaan baik-baik, Bu." Marwa mencoba memberi solusi.
Mendengar itu, Bu Mariana tertawa. “Marwa... Marwa... orang-orang yang kamu sebutkan itu masih muda dan berpendidikan tinggi. Ibumu ini SMP saja tidak tamat. Lagi pula gaji mereka-mereka itu masih jauh di bawah tip Ibu. Mana cukup untuk membayar biaya sekolahmu, kontrakan, listrik, air dan makan kita semua. Belum lagi biaya ekstra untuk rokok ayah dan abangmu," dengkus Bu Mariana muak.
Marwa terdiam. Ia tahu ibunya benar, tapi tetap saja hatinya menolak menerima kenyataan itu. “Biaya sekolahku kan gratis Bu, karena bea siswa. Aku juga sudah membantu Ibu membayar kontrakan kita tahun ini dari hasil penjualan kue-kue..."
"Oh jadi kamu mau menganggar karena sudah merasa ikut menanggung biaya keluarga kita. Begitu?" Bu Mariana berkacak pinggang.
"Marwa bukan mau menganggar, Bu. Marwa cuma... malu,” ucap lirih Marwa lirih. Matanya berkaca-kaca. “Semua orang bilang bahwa Marwa makan dari hasil—" Marwa tidak melanjutkan kalimatnya. Ia tidak sampai hati mengatakannya.
"Hasil ngelonte?" tandas Bu Mariana. Marwa menunduk. Apa yang ibunya tebak memang benar.
Meja-meja penuh makanan mulai dikerubungi. Nasi kuning mengepul hangat, ayam goreng, sambal terasi, dan lalapan memenuhi piring. Beberapa bapak-bapak sudah duduk mengitari meja terpal di sudut halaman, bercanda sambil menyeruput teh manis. Sebagian mulai mengeluarkan rokok dan menghisapnya sembari mengobrol.Haryo datang di antara keramaian, berjalan cepat mendekati Marwa. Di tangannya ada sepiring nasi lengkap dengan lauknya.“Kita duduk di sana, yuk, Wa?” Haryo menunjuk kursi di pojok dengan dagunya. “Tapi kamu ikut makan juga dong. Biar aku nggak kelihatan rakus sendirian,” usul Haryo.Marwa pun bergegas mengambil sepiring nasi dan lauk-pauk. Setelahnya, ia berjalan bersisian dengan Haryo menuju kursi di pojokan.“Bagaimana rasanya jadi tuan rumah, Wa?” bisiknya, sambil mencomot kerupuk dari piring Marwa.“Bagi ya?” pintanya dengan senyum tengil.“Jangan sok mesra, Yo. Nanti ada yang melihat dan mengadukan kedekatan kita ke ibumu,” Marwa memperingatkan Haryo.“Ibu sudah tahu kok ka
Minggu siang itu, kesibukan di Gang Kenanga terasa berbeda. Riuh dan hangat. Matahari menyinari pekarangan rumah Marwa yang baru direnovasi. Hari ini, Marwa resmi menempati rumah peninggalan keluarganya—rumah yang dahulu penuh luka, kini ia ubah menjadi rumah mungil yang nyaman. Sejak pagi buta, ia sudah sibuk menata barang-barang dan perabot yang datang hampir bersamaan. Ranjang, lemari es, televisi, sofa, meja makan, kursi… semuanya masih dibungkus plastik. Rumahnya masih bau cat dan kardus baru.Untungnya, Siska—yang sudah hampir pulih seperti sedia kala setelah peristiwa kecelakaan—datang membantu. Bersama "trio legend" Gang Kenanga: Bu Tutik, Bu Tika, dan Bu Nurma, mereka semua bahu-membahu membantu Marwa yang akan melakukan syukuran pindah ke rumah baru. Ibu-ibu ini menjadi seksi konsumsi untuk acara syukuran hari ini.Siapa yang menyangka, ketiga perempuan yang dulu paling gencar memusuhi keluarganya, kini bersikap sebaliknya. Mereka siap siaga membantu Marwa. Waktu memang bisa
Dan akhirnya, mereka pun kembali ke rumah-rumah petak yang mereka datangi pertama kalinya. Ternyata, Pak Hendro dan Bu Zainab—istrinya tinggal di sini. Semangat Marwa langsung menguap. Soalnya tadi ia sudah menanyai semua warga di sini dan tidak ada yang mengenal perempuan di fotonya.“Tadi kami sudah duluan ke sini, Pak. Tapi semua penghuni kontrakan tidak ada yang kenal dengan orang yang ada di foto saya,” ujar Marwa lesu.“Tapi kan kalian berdua belum bertemu dengan istri saya. Istri saya itu kakinya sakit karena diabetes. Jadi jarang keluar rumah. Kalian pasti belum menanyainya,” tukas Pak Hendro sambil membuka pintu kontrakan berwarna biru langit.Pak Hendro benar. Mereka memang belum menanyai rumah ini karena tadi tidak ada orangnya.Mereka pun kemudian masuk ke dalam rumah Pak Hendro. Rumah kontrakan ini kecil dan temboknya kusam, tapi tak disangka, dalamnya bersih. Di ruang tamu yang sempit tampak seorang perempuan setengah baya bersandar pada tongkat, langkahnya tertatih.“In
"Siapa lagi yang markir mobil di depan pintu gerbang gue? Lo buta huruf, kagak bisa baca tulisan 'Dilarang Parkir'?"Marwa meringis. Baru saja memarkirkan kendaraan, ia sudah mendengar umpatan Tante Hilda."Ini aku, Tante. Marwa," ucap Marwa sambil sedikit mengeraskan suaranya."Oh, elo. Ya udah, masuk aja, Wa. Pintunya kagak gue kunci," seru Tante Hilda.Marwa memutar handle pintu yang langsung terbuka."Gue lagi nyupir. Lo langsung ke dapur aja," seru Tante Hilda lagi.Marwa pun lantas berjalan menuju dapur. Terlihat Tante Hilda sedang mencuci piring."Duduk dulu ya, Wa. Gue bentar lagi selesai." Tante Hilda terus bekerja dengan cekatan. Marwa mengangguk dan duduk di kursi dapur, mengamati Tante Hilda yang tengah membilas beberapa gelas dan piring dan menyusun barang pecah belah itu di rak agar cepat kering. Lantas, ia mengelap bak cuci piring dan mencuci tangannya hingga bersih."Oke, gue udah selesai. Mana foto-foto yang mau lo perlihatkan ke gue?"Tante Hilda mengulurkan tanganny
Langit Jakarta mulai memutih oleh awan tipis saat Marwa turun dari mobil di depan Rumah Sakit Jiwa Soeroso. Di sisi kiri dan kanannya, Bu Endah dan Pak Sudin menyusul turun dengan langkah cepat. Keduanya tidak sabar ingin bertemu Pak Tono. Mereka bertiga pun bergegas menuju meja pendaftaran pasien. Setelah Bu Endah dan Pak Sudin menyampaikan keinginannya untuk menjenguk Pak Tono, mereka berdua pun diantar ke bangsalnya. Di meja kedokteran hanya tinggal Marwa seseorang.“Saya ingin bertemu dengan Dokter Wulan,” kata Marwa sopan namun tegas.Staf administrasi saling pandang dan mengangkat wajah dengan sedikit gugup. “Maaf, Bu. Dokter Wulan sedang tidak ada di tempat."Marwa mengangguk singkat, lalu mengeluarkan dokumen dari map plastik bening dan menyodorkannya. “Ini SPDP dari penyidik Polresta Jakarta. Saya diizinkan mendapatkan informasi yang diperlukan terkait pasien atas nama Sumitro atau Sartono.”Staf administrasi itu tidak menjawab. Ia hanya saling pandang dengan rekannya dengan
Sore itu, Gang Kenanga terasa lebih ramai dari biasanya. Para ibu tampak membentuk masing-masing kelompok untuk mengobrol di teras rumah. Marwa melambatkan laju mobil dan berhenti di depan rumahnya. Sontak pandangan para ibu tertuju padanya. Begitu ia turun dari mobil, beberapa ibu-ibu langsung mengerubungi. Mereka seperti sudah menunggu kedatangannya. Ada Bu Ani, Bu Desi, Bu Sinurat, Bu Siti, Bu Rita juga trio legend Gang Kenanga yaitu Bu Tutik, Bu Tika dan Bu Nurma."Benar ya, Wa? Kalau yang selingkuh dengan Pak Marno itu bukan almarhumah ibumu... tapi perempuan lain? Seorang perempuan bernama Na?" tanya Bu Nurma tanpa basa-basi."Ah pasti bohong. Orang kata Bu Ida itu cuma akal-akalan Marwa dan Haryo supaya hubungan mereka berdua direstui kok," cibir Bu Desi."Belum tentu juga, Des. Siapa tahu itu benar. Bu Ida itu kan sudah terlanjur benci sama Si Anna. Makanya apa pun yang menyangkut Anna pasti salah saja di matanya." Bu Rita tidak setuju dengan pernyataan Bu Desi."Iya benar. O
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen