Malam itu udara tak hanya suram, tapi seolah menggantung di antara dunia dan akhirat. Langit mendung tak mau menangis, seakan memberi ruang pada manusia yang tengah mencucurkan air matanya. Angin bertiup pelan, menusuk seperti pisau tumpul yang tak berdarah, namun sakitnya menjalar hingga ke tulang-tulang. Di ruang tunggu rumah sakit yang remang-remang itu, tiga orang duduk dalam kecemasan yang sama. Nayara tak berhenti menggigit kuku ibu jarinya, matanya sembab, tubuhnya menggigil entah karena AC atau karena rasa takut yang mencengkeram jiwanya. Revan, ayah Nayara, berdiri tak tenang. Ia sudah berjalan mondar-mandir lebih dari sepuluh kali dalam sepuluh menit terakhir. Sesekali ia mengusap wajahnya, menghela napas panjang yang tak pernah cukup untuk menenangkan dada. Anaya, ibunya Nayara, hanya duduk mematung. Tangannya menggenggam tas tangan erat-erat di pangkuan, pandangannya kosong, namun air mata terus mengalir pelan, tanpa suara. “Ya Allah…” lirih Nayara, lebih mirip bisika
Last Updated : 2025-07-25 Read more