Empat tahun lalu, Anaya dan Revan berpisah dengan luka yang dalam. Tanpa penjelasan, Revan menghilang dari hidup Anaya, meninggalkan pertanyaan yang tak pernah terjawab. Kini, Anaya adalah seorang wanita mandiri dengan karier cemerlang, dan Revan kembali—bukan sebagai mantan yang meminta maaf, tapi sebagai calon suaminya... dalam pernikahan yang diatur oleh keluarga mereka.Pernikahan tanpa cinta. Itulah yang Anaya pikirkan. Tapi kenyataan tak pernah sesederhana itu. Di balik senyum dingin Revan, masih ada tatapan familiar yang membuat jantungnya berdegup tak karuan. Namun Anaya tak mudah percaya—terutama saat rahasia lama mulai terbuka, tentang alasan mengapa Revan meninggalkannya dulu.Saat ikatan pernikahan membawa mereka kembali bersama, pertanyaannya bukan lagi apakah cinta itu masih ada. Tapi apakah cinta yang pernah patah bisa tumbuh kembali... atau justru menyisakan luka yang lebih dalam?
Lihat lebih banyakLangit sore itu mendung. Seolah tahu bahwa sesuatu yang buruk sedang menuju hidup Anaya. Dia baru saja pulang dari kantor, melepas sepatu haknya yang membuat betis pegal, lalu duduk di sofa apartemennya dengan secangkir teh hangat. Tapi semua ketenangan itu hancur hanya karena satu amplop berwarna krem yang tergeletak di atas meja makan.
"Undangan Pernikahan" Nama yang tercetak di situ membuat darah Anaya seketika dingin. Revan Arya Mahendra & Anaya Putri Laksmi Tangannya gemetar. Matanya tak salah baca, bukan? Nama itu. Nama yang pernah begitu ia cintai, tapi juga nama yang paling ia benci saat ini. Nama pria yang empat tahun lalu menghilang tanpa jejak, tanpa penjelasan, tanpa alasan. Hanya sebuah pesan singkat: “Maaf. Aku harus pergi.” Dan setelah itu, tidak ada kabar. Tidak ada penjelasan. Tidak ada kesempatan bertanya. Revan lenyap, dan Anaya butuh waktu bertahun-tahun untuk membangun dirinya kembali dari serpihan rasa sakit yang ditinggalkannya. Kini, tiba-tiba, undangan ini datang. Bukan undangan pernikahan orang lain. Tapi undangan pernikahan mereka sendiri. Kepalanya pening. Ia segera menelepon ibunya. “Ibu... ini maksudnya apa? Kenapa ada undangan pernikahan aku… sama Revan?” Suaranya bergetar. Di ujung sana, suara Bu Laksmi terdengar tenang, terlalu tenang untuk keadaan seperti ini. “Anaya, kamu pulanglah dulu. Ini keputusan keluarga. Keluarga Mahendra sudah lama menjalin ikatan dengan kita. Waktu itu sempat ditunda karena kondisi Revan…” “Karena Revan pergi, maksud Ibu?” Hening. “Ya,” jawab ibunya akhirnya. “Tapi dia kembali sekarang, dan dia siap. Keluarga sudah sepakat. Kamu akan menikah dengannya minggu depan.” Anaya ingin tertawa. Atau mungkin menangis. Atau keduanya. “Ibu sadar aku ini bukan boneka, kan? Aku punya hak untuk menolak!” “Tapi kamu juga tahu apa yang keluarga kita hadapi sekarang. Perusahaan ayahmu hampir bangkrut, dan keluarga Mahendra satu-satunya yang bisa membantu. Tapi mereka minta satu hal… mereka minta kamu menikah dengan Revan. Dan kamu tahu, perjanjian itu sudah ada sejak kalian kecil.” Anaya menutup matanya. Nafasnya terengah. Ini gila. Semua ini gila. --- Malam itu, Anaya tidak tidur. Wajah Revan berkelebat dalam pikirannya. Senyumnya yang dulu lembut, caranya memanggil namanya dengan penuh kasih. Ingatan itu masih terlalu hidup untuk diabaikan, tapi juga terlalu menyakitkan untuk dikenang. Ia bertanya-tanya... kenapa Revan pergi? Dan kenapa sekarang kembali, seolah tidak pernah terjadi apa-apa? --- Dua hari kemudian, Anaya akhirnya menemui Revan. Mereka bertemu di rumah keluarga Mahendra. Pria itu berdiri di hadapannya, masih seperti dulu—tapi lebih dingin, lebih kaku, dan terlalu tenang untuk seseorang yang dulu pernah menghancurkan hati perempuan yang kini akan dinikahinya. “Sudah lama,” kata Revan. “Empat tahun,” sahut Anaya tajam. “Empat tahun tanpa kabar. Dan sekarang kamu muncul… mengajakku menikah, begitu saja?” “Aku tidak memintamu menikah. Aku hanya setuju pada permintaan keluarga,” jawab Revan, nadanya tenang tapi tajam. “Kalau kamu tidak mau, katakan saja pada orang tuamu.” Anaya menatap pria itu lama-lama. Matanya berkaca. “Apa kamu tahu, Revan… aku butuh waktu dua tahun untuk berhenti berharap kamu kembali?” katanya lirih. “Dan sekarang kamu muncul, tanpa rasa bersalah sedikit pun?” Revan menunduk. Matanya sesaat gelap. Tapi tetap tak ada penjelasan. “Kenapa kamu pergi waktu itu?” tanya Anaya akhirnya. Revan diam. Tangannya mengepal. “Ada alasan yang tak bisa aku katakan sekarang,” katanya akhirnya. “Tapi aku harap kamu percaya… bahwa aku tidak pernah benar-benar ingin meninggalkanmu.” Anaya tertawa sinis. “Kepercayaan bukan sesuatu yang bisa diminta, Revan. Itu sesuatu yang harus kamu bangun. Dan kamu sudah menghancurkannya.” Lalu ia berdiri. “Baiklah. Kalau ini soal keluarga dan perjanjian bodoh itu, aku akan menikah denganmu. Tapi jangan berharap aku akan membiarkanmu masuk ke hatiku lagi.” Revan tak menjawab. Tapi matanya mengikuti Anaya yang pergi dengan langkah gemetar. Di balik wajah datarnya, ada sesuatu yang tak bisa ia katakan—bahwa kepergiannya dulu bukan karena keinginannya. Bahwa ada sesuatu yang lebih gelap, lebih berbahaya, yang membuatnya harus memilih meninggalkan Anaya demi menyelamatkannya. Tapi sekarang, semuanya berubah. Mereka akan menikah. Dan masa lalu… belum selesai menagih utang. Anaya menghela nafasnya kasar, ia menatap langit-langit di atasnya dengan tatapan yang sulit di artikan. "Apakah aku bisa bahagia?" Gumam Anaya pelan, nyaris serupa bisikan yang tidak terdengar, sungguh ia dilema, ia tidak tau kehidupannya kedepannya seperti apa, terlebih sosok Revan yang ia kenal sangatlah berbeda dari Revan sebelumnya. Revan yang hangat, berubah... Revan begitu dingin... Revan datar... Bahkan, tatapannya yang dulu penuh cinta pada Anaya berubah seketika... Pria itu bahkan tidak bisa di tebak lagi.Anaya duduk di ruang baca malam itu, jendela terbuka setengah. Hujan gerimis membuat suasana seperti lukisan muram. Buku di tangannya tak benar-benar dibaca. Sudah sepuluh menit halaman yang sama tak bergerak. Yang mengganggunya bukan cerita dalam buku, tapi Revan. Sejak mereka ke taman minggu lalu, sikap Revan berubah lebih tenang, lebih… hadir. Ia tidak lagi memaksa atau terlalu dekat, tapi caranya ada—selalu tepat waktu, tepat tempat—membuat Anaya justru tak bisa berhenti mengingatnya. Di lantai bawah, Revan sedang memasang rak kayu yang baru datang. Anaya akhirnya turun, dan tanpa sadar berdiri di ambang ruang tamu memperhatikan punggung lelaki itu. “Kayu itu bisa pasang sendiri, tahu,” katanya, sengaja menggoda. Revan menoleh, peluh di kening, tapi ia tersenyum. “Rak ini terlalu berat untuk kamu pasang sendiri. Dan... aku butuh alasan buat tetap sibuk di rumah.” Anaya menelan ludah. Perkataan itu terdengar sederhana, tapi menampar. Karena ia tahu... Revan sibuk
Pagi itu, langit kota Jakarta menggelayut kelabu. Tapi di rumah besar yang masih dingin itu, ada seseorang yang mulai berubah. Revan. Sudah seminggu sejak percakapan mereka malam itu. Sejak Anaya—dengan mata berkaca-kaca—mengatakan ia belum bisa percaya. Dan sejak saat itu, Revan berubah menjadi sosok yang tidak pernah Anaya kenal sebelumnya. Ia tidak lagi memaksakan apa pun. Tidak menuntut. Tidak menyuruh. Tapi hadir. Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan. Tidak karena romantis, tapi karena ingin menunjukkan, “Aku masih di sini.” Anaya tahu. Ia melihat semua perubahan itu. Tapi hatinya seperti dinding kaca – transparan tapi retak di dalam. Ia tidak tahu bagaimana cara mempercayai seseorang yang dulu ia pertaruhkan segalanya… hanya untuk ditinggalkan. Suatu siang yang tenang... Anaya duduk di taman belakang, membawa laptopnya. Di pangkuannya, secangkir teh yang—entah sejak kapan—selalu muncul tanpa ia minta. Revan datang membawa sebuah pot kecil berisi tanaman sukulen
Revan yang refleks langsung menahan tubuhnya. Lengan mereka saling bersentuhan. Wajah mereka hanya sejengkal. Degup jantung terasa begitu nyata di ruang hening itu. Anaya terdiam. Tubuhnya kaku. Napasnya memburu. Revan juga tak bergerak. Tapi matanya… menatap Anaya dengan cara yang tak pernah ditunjukkannya selama ini. Lembut. Hangat. Seolah ada sesuatu yang lama tersembunyi dan kini perlahan muncul ke permukaan. “Aku kira kamu takut cuma sama aku,” bisik Revan tiba-tiba.Deg Anaya membeku. Jantungnya berdetak semakin cepat. Ia segera menarik diri, berdiri sambil mengalihkan wajah. “Aku nggak takut,” katanya cepat. “Cuma kaget.” Kilah Anaya sambil melengos ke samping. Revan berdiri santai, menyisipkan kedua tangannya ke saku celana. Senyum kecil terbit di wajahnya. “Tapi kamu jatuh ke pelukan aku. Kalau kamu mau manja, bilang aja.” Sret. Anaya langsung menoleh tajam. “Apa? Manja?” Katanya sambil terkekeh sinis. Revan mengangkat alis. “Iya, kamu bisa peluk aku kap
Dua hari. Sudah dua hari sejak Anaya meninggalkan rumah itu. Dan selama dua hari itu pula, Revan seperti kehilangan arah. Ruang makan terasa lebih dingin. Kopi paginya tidak lagi pahit, melainkan hambar. Ia duduk di sofa ruang tamu setiap malam, menatap layar ponsel kosong, menunggu notifikasi yang tak pernah datang. Anaya tak menghubunginya. Dan Revan terlalu pengecut untuk menelepon lebih dulu. Namun malam ketiga, ia tak tahan lagi. Hatinya gelisah. Ada rasa kosong yang tidak bisa dijelaskan. Ia berusaha menyibukkan diri di kantor, tapi bahkan angka dan laporan tak bisa menutupi kegelisahan yang mencabik dadanya. Di suatu malam yang gerimis, Revan akhirnya mengambil jasnya dan pergi keluar. Ia menyuruh sopirnya libur, ingin mencari sendiri—dengan tangannya sendiri. Tempat pertama yang ia datangi adalah apartemen lama Anaya, sebelum mereka menikah. Tapi apartemen itu sudah disewakan ke orang lain. Ia lalu pergi ke rumah sahabat Anaya—Raina. Tapi Raina hanya memb
Langit senja mulai memerah ketika mobil putih Anaya memasuki halaman rumah mewah mereka. Di sebelahnya duduk seorang pria berjas biru tua—Rafi, rekan kerja Anaya di bagian legal. Mereka baru saja menghadiri rapat presentasi dengan klien, dan karena mobil Anaya sedang diservis, Rafi menawarkan untuk mengantarkannya pulang. Suasana mobil sepanjang perjalanan ringan dan bersahabat. Rafi bukan pria yang terlalu akrab, tapi cukup sopan dan profesional. Anaya menghargainya—karena dia bukan tipikal pria yang berusaha melewati batas, dan itu membuatnya nyaman. “Terima kasih udah anterin,” kata Anaya sambil membuka pintu. “Anytime. Dan sampaikan salam saya ke suamimu,” ucap Rafi, dengan senyum ramah. Anaya tersenyum tipis, tak membalas apa-apa. Ia hanya mengangguk, lalu melangkah masuk ke rumah. Tapi ia tidak tahu—ada sepasang mata tajam yang menyaksikan semua itu dari balkon lantai dua. Revan. Tangan Revan mengepal di samping tubuhnya. Wajahnya dingin seperti biasanya, tapi ada gemuru
Malamnya… Anaya tak bisa tidur. Ia duduk di balkon kamar penginapannya, mengenakan sweater tipis dan menatap bintang. Angin malam menusuk kulitnya, tapi tak ada yang lebih dingin dari sikap Revan padanya. Tiba-tiba, pintu diketuk. Anaya menoleh dan membuka. Revan berdiri di sana. Rapi, seperti biasa. Tapi matanya tetap seperti cermin tak berisi. “Aku ingin bicara sebentar,” katanya. Anaya tak menjawab, hanya membuka pintu lebih lebar. Revan masuk dan berdiri tak jauh darinya. “Besok, kita akan menikah. Aku tahu kamu membenciku. Dan aku tak akan memaksa kamu untuk mengubah itu.” “Lalu kenapa kamu datang ke sini?” tanya Anaya, suara seraknya menahan emosi. “Karena aku ingin kamu tahu... jangan berharap pernikahan ini akan seperti masa lalu. Kita tidak akan kembali ke sana. Jangan mencintaiku. Jangan menunggu perubahan. Aku tidak menjanjikan apa pun.” Hening. Anaya menatapnya tajam. Tapi ia tak menangis. Ia hanya tersenyum kecil—pahit, rapuh, tapi tegar. “Tenang saja, Revan.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen