“Mau kupotongin buah?” Zira berinisiatif, mengubah arah obrolan.“Mau banget,” Alesha cepat menyambut.Zira menyiapkan piring, pisau, dan memotong apel satu per satu. Sementara itu, Alesha duduk di sofa, menatap sahabatnya dengan senyum tipis.“Kamu tahu, aku seneng banget kamu dateng,” kata Alesha. “Aku butuh banget temen ngobrol.”Zira mengangguk, tersenyum kecil. “Aku juga. Kangen ngobrol sama kamu.”Namun jauh di dalam hati, Zira masih merasa ada yang tak beres. Kata-kata ayahnya di lobby, ekspresi gugup Alesha, dan aroma ruangan yang seperti baru saja dipaksa segar—semuanya menumpuk menjadi pertanyaan besar.Kenapa Papa ada di sini pagi-pagi? Apa yang sebenarnya terjadi di balik semua alasan itu?Ia menahan diri untuk tidak langsung menanyakan. Untuk saat ini, ia masih mencoba percaya. Masih ingin percaya bahwa semua ini hanyalah kecurigaan berlebihan.Meski begitu, satu hal pasti: bayangan tadi pagi, ketika ia berpapasan dengan ayahnya di lobby, akan terus menghantuinya.Percaka
Terakhir Diperbarui : 2025-09-17 Baca selengkapnya