LOGINAlesha sering bermain ke rumah sahabatnya sejak kecil. Tapi bukan Zira yang membuatku ingin terus datang kembali ... Melainkan ayahnya. Rayhan Mahardika. Duda. Dokter. Tampan. Dingin. Tak pernah membuka hati pada siapa pun. Tapi Alesha tahu, di balik tatapannya yang tenang, ada sesuatu yang diam-diam ingin meledak. Dulu, Rayhan hanya melihat Alesha sebagai anak kecil. Tapi sekarang, Alesha sudah tumbuh menjadi wanita. Dan datang ... untuk membuatnya jatuh dalam dosanya sendiri. Lalu malam itu pun tiba. Keduanya hanya berdua. Tak ada suara lain. Tak ada yang bisa menghentikan. Tatapan itu berubah. Nafasnya berubah. Dan saat Rayhan menyentuh Alesha untuk pertama kalinya ... ... apakah itu akan menjadi awal dari sebuah cinta yang tak boleh tumbuh? Atau justru ... kehancuran yang tak bisa dihindari?
View MorePintu besar rumah itu terbuka pelan, mengeluarkan suara decitan samar yang biasanya tak pernah mengganggu ketenangan malam. Rayhan yang tengah bersandar di sofa ruang tengah menoleh perlahan saat mendengar langkah ringan masuk ke dalam rumah.
Di ambang pintu berdiri Alesha. Wajahnya masih muda, polos, tapi Rayhan tak bisa mengabaikan perubahan yang jelas terlihat: gadis kecil yang dulu cerewet dan riang itu kini telah menjadi wanita muda dengan pesona yang tak terelakkan.
Dia membawa kantong plastik berisi bubur hangat dan obat-obatan. “Om Rayhan?” sapanya lembut, suara itu mengisi ruang hening dengan kehangatan yang aneh.
Rayhan menghela napas panjang. Tubuhnya masih terasa lemah, demam yang menghantui dua hari terakhir ini belum sepenuhnya pergi. Tapi tatapannya tak bisa lepas dari sosok Alesha yang berdiri di hadapannya.
Kaos putih tipis yang dikenakannya menempel pada lekuk tubuhnya, memperlihatkan garis halus yang tak bisa dipandang sebelah mata. Celana jeans robeknya membuat Rayhan sadar betapa gadis itu sudah tumbuh jauh dari masa kecilnya.
Dia berusaha mengalihkan pandangan, tapi pikirannya berontak, membawa dia ke tempat-tempat yang tak pantas.
“Lesha ... kamu?” suara Rayhan serak, setengah tak percaya.
Alesha tersenyum, senyum yang dulu sering dia lihat saat kecil, tapi kini terasa berbeda. “Om Rayhan, aku bawain bubur. Kata Zira Om sakit?”
Rayhan mengangguk pelan, berusaha menghilangkan rasa malu yang tiba-tiba muncul di dadanya. Wajahnya memang pucat, tubuhnya lemah, dan bukan hanya karena sakit—ada sesuatu yang jauh lebih berat bersemayam di dalam dada.
Saat Alesha duduk di sebelahnya dan mulai membuka bungkus bubur, Rayhan tak bisa mengalihkan pandangannya. Wajah polos itu, rambut yang dikuncir rapi, lengan yang tertutup kaos tipis. Namun, keindahan tubuhnya sudah tak bisa disangkal.
Rayhan menghela napas, lalu lirih berkata, “Lidah aku … terasa pahit, Lesha.”
Alesha menatapnya penuh perhatian, lalu tersenyum lembut. Tanpa banyak bicara, ia mengambil sendok dan mulai menyuapi bubur ayam hangat itu ke mulut Rayhan.
Jarak wajah mereka begitu dekat, hanya sejengkal. Rayhan menahan napas, berusaha mengendalikan gemuruh yang menggelegar di dadanya.
Rayhan menutup mata sejenak, merasakan hangatnya bubur yang perlahan mengusir pahit di lidahnya. Sentuhan lembut Alesha saat menyuapi membuat dadanya berdebar. Ia berusaha menenangkan diri, berulang kali mengingatkan diri bahwa ini hanya perhatian seorang gadis muda pada pria yang sedang sakit.
Namun, tiap kali pandangannya bertemu dengan mata jernih Alesha, ada sesuatu yang tak bisa ia bendung—campuran antara rasa rindu lama dan gejolak yang tak seharusnya ada.
“Alesha ....” Suaranya pelan, hampir tak terdengar.
“Ada apa, Om?” tanyanya dengan penuh kepedulian.
Rayhan menggeleng, menarik napas panjang. “Tidak apa-apa. Hanya … aku sudah lama tidak merasa sebegini lemah.”
Alesha menggenggam tangan Rayhan sejenak, memberi kekuatan tanpa kata-kata.
Suasana seketika terasa hening, namun hangat.
Di tengah keheningan itu, Rayhan merasa ada jarak yang harus dijaga, namun sulit untuk tidak merasakan kehadiran Alesha yang semakin dekat.
Rayhan menunduk, mencoba menyembunyikan wajah yang memerah.
Dia pria kepala empat, ayah dari sahabat Alesha. Seharusnya perasaannya tak boleh sampai sedalam ini.
Tapi entah mengapa, kehadiran gadis itu mengacaukan segalanya.
Saat dia menatap ke bawah, terpeleset pandangannya pada bagian dada Alesha yang samar terlihat lewat leher kaosnya yang sedikit melorot. Mata Rayhan langsung menutup, jantungnya berdegup kencang.
“Apa ini ...?” gumamnya dalam hati.
Ia tahu ini salah. Sangat salah.
Namun tubuh dan pikirannya seperti sedang bertarung, antara apa yang benar dan apa yang diinginkan.
“Om, kamu sudah minum obat?” tanya Alesha polos, mengembalikan Rayhan ke kenyataan.
Rayhan menggeleng pelan. Ia tidak sanggup menjawab lebih banyak.
Alesha menuntunnya duduk kembali di sofa, merapikan selimut tipis yang menutupi tubuhnya. Perhatian gadis itu membuat dada Rayhan terasa sesak.
“Besok aku datang lagi, ya, Om. Aku janji,” ucap Alesha, suara lembut penuh ketulusan.
Rayhan mengangguk, tanpa mampu berkata apa-apa.
Ketika pintu rumah itu tertutup dan suara langkah Alesha menjauh, keheningan melingkupi rumah mewah itu.
Tapi dalam keheningan itu, pikirannya malah bertambah gaduh.
Bayangan Alesha—kaus putih tipis, jeans ketat yang memperlihatkan lekuk pinggulnya, aroma vanila lembut yang masih tercium samar di udara—menghantui setiap sudut pikirannya.
Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, meremas tangan sendiri, berusaha mengusir gelombang rasa yang membingungkan itu.
“Lo harus waras, Rayhan,” ia bergumam pelan.
Tapi, bagaimana bisa waras jika gadis itu datang lagi besok, dan lusa, dan entah sampai kapan?
***
Keesokan Harinya,
Rayhan duduk di sofa ruang keluarga, tubuhnya masih lemah, wajahnya yang biasanya tegas tampak pucat dan penuh ketidakberdayaan.
Keringat dingin mengalir di pelipisnya meski suhu ruangan cukup sejuk. Pagi itu, suasana rumah terasa hening, hanya suara jam dinding dan hembusan angin kecil di jendela.
Ketukan pintu pelan terdengar. Rayhan menoleh, melihat Alesha berdiri di ambang pintu dengan wajah cerah.
“Selamat pagi, Om. Pasti belum sarapan, ya?” sapanya ceria.
Dia membawa sebungkus bubur hangat dan nampan kecil berisi teh manis. Gerakannya lincah dan ringan, hampir seperti menari saat ia melangkah ke dapur dan mulai menyiapkan sarapan.
Rayhan mengamati Alesha dari balik sofa, hatinya sedikit tergerak oleh kehangatan yang berbeda di udara pagi itu.
Saat Alesha selesai menata meja, Rayhan memberanikan diri bertanya, “Lesha, kamu ... kok pagi-pagi sudah datang? Bukannya pagi ini kamu ada kuliah?”
Alesha tersenyum kecil, sedikit ragu, lalu menatap Rayhan dengan mata teduhnya. “Aku kan cuma ada kuliah dua hari dalam seminggu, Om. Hari ini aku sengaja datang lebih pagi, aku pengen jagain Om, biar gak sendirian.”
Rayhan mengangguk pelan, tapi dalam hatinya bertanya-tanya.
Beberapa saat kemudian, saat mereka selesai makan, Rayhan mencoba membuka pembicaraan yang sudah lama mengganjal.
“Kamu ... nginep di sini?”
Alesha tertawa kecil, menatapnya serius. “Iya, Om. Aku janji sama Zira buat jagain Om sampai Om sembuh. Aku juga kasihan Om sendirian di rumah besar ini.”
Rayhan menelan ludah, dadanya tiba-tiba sesak.
Dua hari.
Dua hari bersama Alesha.
Berdua.
Perasaan yang mulai bergejolak di dadanya semakin sulit ia kendalikan.
Rayhan menelan ludah, dada sesak. Ia sadar, ia harus menjaga jarak. Tapi hatinya seperti memberontak.
Apa yang harus dia lakukan?
Bagaimana jika perasaan ini terus tumbuh?
Malam itu, Rayhan kembali duduk sendiri di ruang tengah. Tangannya gemetar, ia memegang gelas air dingin erat-erat.
“Alesha sudah bukan anak kecil lagi,” bisiknya lirih.
Dan dia ... pria yang harus bertanggung jawab, bukan terjebak dalam gejolak perasaan yang berbahaya ini.
Tapi apakah hatinya akan sanggup bertahan?
---
Keesokan paginya, Alesha sedang menikmati kopi di apartemennya ketika Arif menelepon. Nadanya dingin, formal, dan penuh perintah.“Datang ke kantorku sekarang, Alesha. Ada yang perlu Papa bicarakan.”Di sisi lain kota, di kantornya yang mewah, Arif duduk di kursinya, wajahnya muram. Di atas meja, ia meletakkan selembar foto. Itu adalah hasil cetakan dari pesan anonim yang ia terima.Foto itu buram, diambil dari jarak jauh, mungkin dari jendela kamar atau balkon. Foto itu menunjukkan Alesha dan Rayhan di rumah Rayhan, di ruang keluarga, dalam posisi yang sangat dekat—momen singkat di parkiran (meskipun itu tidak terlihat jelas di foto). Yang pasti, foto itu menunjukkan Rayhan dan Alesha berdua di rumah itu, di malam hari.Arif tahu betul, dari detail tata letak ruangan, bahwa itu diambil dari rumah Rayhan. Ia tahu itu adalah Alesha. Foto itu tidak menjabarkan kebohongan, tetapi menyiratkan keintiman yang tidak wajar antara seorang sahabat lama dan putri sahabatnya.Siapa yang meng
Saat Alesha berjalan kembali ke pintu, Rayhan memanggilnya.“Satu hal lagi, Lesh.”Alesha menoleh.“Mulai sekarang, lingkaran hitam di bawah matamu bukan lagi karena skripsi,” kata Rayhan, matanya bersinar gelap. “Itu karena aku.”Alesha hanya bisa menunduk, pipinya memerah, dan menyelinap keluar ruangan. Ia kembali ke kamar Zira, berbaring di karpet, memegang kunci emas itu erat-erat. Malam di bawah satu atap ini telah memberinya segalanya: sebuah ciuman terlarang, sebuah perjanjian rahasia, dan sebuah kunci menuju hidup ganda.Rayhan secara efektif memberikan perintah. Ia memposisikan dirinya sebagai komandan operasi rahasia, dan Alesha hanyalah prajurit yang harus patuh. Alesha menyadari, di mata Rayhan, ia telah berubah dari kekasih terlarang menjadi potensi pengkhianat.Alesha menjauh, mengangguk lemah. “Aku mengerti. Aku akan ke kamar.”Rayhan membiarkannya pergi, kembali ke ruang kerjanya. Ia tidak menoleh.Alesha memasuki kamar tamu. Kamar ini terasa dingin dan asing.
Di bawah, ruang keluarga kembali diselimuti keheningan yang mencekik. Kepergian Zira terasa seperti pintu yang dibanting, meskipun ia hanya menutupnya perlahan. Rayhan dan Alesha saling berhadapan. Adrenalin telah surut, meninggalkan jejak kekacauan dan ketakutan.Rayhan menjatuhkan buku medisnya ke meja kopi dengan suara keras. Suara itu terasa seperti peluru yang ditembakkan. Ia mengusap wajahnya, membersihkan keringat dingin di pelipisnya.“Dia melihat, Om,” bisik Alesha, suaranya pecah, matanya akhirnya berani menatap Rayhan. Air mata mulai menggenang, rasa bersalah kembali dengan kekuatan penuh. “Dia tahu. Kita sudah selesai.”"Aku membencimu, Rayhan. Aku membenci diriku. Gairah itu hanya sesaat, tetapi rasa bersalah ini abadi. Zira menatapku. Tatapan itu menuntut pengakuan. Aku bukan hanya mengkhianati sahabat, aku meracuni putrinya di bawah atapnya sendiri. Aku sudah tidak punya tempat untuk kembali. Tidak ada persahabatan, tidak ada keluarga, hanya Rayhan." Monolog Alesha
“Mobilnya baik-baik saja, Sayang. Ada masalah sedikit dengan rem tangan,” Rayhan berbohong, nadanya terdengar seperti ia sedang mendiagnosis penyakit ringan. Ia menggunakan keahliannya sebagai dokter untuk memberikan alibi yang terdengar logis dan teknis. “Jadi Papa periksa sebentar. Setelah itu, Papa duduk di sana, membaca halaman pertama buku ini. Gelap di ruang kerja, jadi Papa pakai lampu mobil.” Ia mengangkat buku tebal itu—sebuah buku tentang bedah, perisai kebohongan yang kokoh. “Kenapa? Ada apa? Papa mengganggu tidurmu?”Zira menatap Ayahnya, mengamati setiap detail. Ia membandingkan: Rem tangan vs. guncangan ritmis. Kemeja rapi vs. keringat di pelipis. Ekspresi tenang Rayhan vs. tatapan Alesha yang kaku di sofa.Kemudian, Zira membalikkan pandangannya ke Alesha. Tatapan itu menuntut kesaksian, mencari celah, mencari konfirmasi yang tidak bisa Alesha berikan.Alesha merasakan tatapan itu seperti sinar laser yang memindai setiap inci tubuhnya, mencari sisa-sisa pengkhianata
Rayhan mencium kening Alesha, ciuman itu kini berubah menjadi penuh penyesalan dan keputusasaan. “Kamu lihat apa yang kamu lakukan, Sayang? Kamu membuatku kehilangan kendali. Ini tidak boleh terjadi lagi di sini. Tidak di bawah atap ini,” bisiknya, suaranya dingin dan tajam. “Di sini terlalu berbahaya. Kamu mengerti?”"Iya, Om." Alesha mengangguk lemah, air mata hampir keluar, bukan karena kesenangan tetapi karena rasa bersalah yang langsung menghantamnya. Ia bangkit, merapikan pakaiannya yang kusut dengan tangan gemetar. Ia harus bergegas. Ia tidak berani menatap Rayhan.Rayhan membetulkan kursi pengemudi, tangannya gemetar. Ia mengambil buku medisnya—alasan palsunya—dan menatap Alesha dengan tatapan dingin. “Tunggu lima menit. Pastikan kamu sudah tenang. Lalu masuk. Bertinggalah normal. Kita tidak pernah berada di sini.”Alesha mengangguk. Ia menunggu, sendirian di dalam mobil yang pengap, merasakan bekas guncangan yang baru saja ia ciptakan. Ia sadar, ia telah mengambil risiko t
Tangan Rayhan menelusup di balik kaus oversize Alesha, menarik kain tipis itu ke atas. Ia mencari kulit halus di punggungnya, lalu bergerak semakin ke bawah, menekan paha Alesha agar ia merapatkan dirinya semakin erat ke Rayhan. Gerakan mereka terbatas, terkendala oleh setir, pintu mobil, dan konsol tengah.Di dalam mobil yang sempit, menanggalkan pakaian terasa sulit, lambat, dan sangat berisiko, menekankan betapa cepat mereka harus bertindak. Ini adalah momen penanggalkan identitas mereka sebagai Ayah dan Sahabat Zira.Rayhan dengan kasar menarik celana piyama Alesha, meremas kain itu dengan frustrasi. Alesha membantu, kaos itu kini terbuka, jatuh di kursi mobil, menjadi simbol identitas formal Rayhan yang mereka berdua robek dalam kegelapan.Rayhan merespons pelepasan pakaian itu dengan tarikan kuat yang hampir menyakitkan, menarik Alesha semakin erat ke pangkuannya. ”Ahhh ... Om!”“Diam, Sayang,” desah Rayhan, melihat ekspresi takut dan gairah di wajah Alesha. “Aku akan menguru












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments