Zahra terdiam di tempat. Kata-kata itu menusuk lebih tajam dari pisau. Ia mengatupkan bibirnya rapat-rapat, menahan gelombang emosi yang mulai menggenang di dadanya. Waktu pun berlalu. Cahaya matahari mulai menembus tirai tipis ruang tamu, menyinari sosok Tuan Arya yang masih tergeletak di sofa. Kemejanya kusut, dasi tergantung longgar di leher, dan aroma alkohol semalam masih samar-samar menyatu dengan udara pagi. Wajahnya tampak lelah, mata tertutup rapat, namun garis kerutan di dahinya menunjukkan tidurnya jauh dari tenang. Tiba-tiba, ponselnya berdering. Suaranya tajam memecah keheningan. Tuan Arya mengerang pelan, tangannya terangkat malas, meraba permukaan sofa hingga menemukan ponsel itu. Ia mengintip layar dengan mata separuh terbuka—nama Sekretaris Nadia tertera di sana. Dengan suara serak, ia menggeser layar dan menjawab, “Halo…” Suara panik langsung terdengar dari seberang. “Pak Arya! Maaf mengganggu pagi-pagi, tapi ini darurat. Kami baru dapat kabar dari bag
Terakhir Diperbarui : 2025-08-08 Baca selengkapnya