Tak pernah terbayangkan, seorang pemimpin perusahaan besar seperti Tuan Arya harus menikahi pembantu rumah tangga demi memenuhi ultimatum sang oma. Dalam tujuh hari, ia harus menentukan: mempertahankan harga diri dan kehilangan seluruh warisan, atau menurunkan gengsi dan menikahi Zahra gadis sederhana yang bahkan tak pernah ia anggap layak duduk di meja makan keluarga. Akankah Tuan Arya mampu menelan egonya demi satu-satunya keluarga yang ia miliki sejak kecil? Atau justru ia memilih berjalan menjauh, meski itu berarti kehilangan segalanya?
Lihat lebih banyak“Jadi, maksud Oma...Arya harus menikah dengan pembantu rumah ini?”
Zahra menunduk makin dalam. Ujung matanya berair, tapi ia menahannya mati-matian. Ia tahu batasannya. Ia bukan siapa-siapa di rumah ini. Oma pun menyandarkan punggungnya ke kursi. Wajah tuanya tetap tenang. Tapi sorot matanya tajam. Tegas. Seolah tak ada ruang untuk tawar-menawar. “Ya,” jawabnya mantap. “Zahra adalah pilihan Oma.” Arya menghela napas panjang. “Kenapa? Dari semua perempuan yang ada, kenapa dia?” “Karena Zahra adalah satu-satunya perempuan yang tidak pernah memperlakukan Oma seperti orang yang bisa dibeli. Dia tulus.” Arya menoleh cepat ke arah Zahra. “Tulus? Tulus dari mana? Kita bahkan tidak saling kenal!” “Dan justru itu alasan kenapa kalian harus menikah,” sahut Oma cepat. “Pernikahan bukan cuma tentang cinta, tapi tentang keyakinan. Oma yakin, Zahra bisa membawamu pulang. Kembali jadi Arya yang Oma besarkan dulu.” Arya menggeleng pelan, nyaris tak percaya. “Ini gila,” desisnya. “Aku bahkan belum pernah bicara empat mata dengan dia, Oma. Dan sekarang disuruh menikah dalam waktu 7 hari?” “ya,bukan kah lebih cepat lebih baik” jawab Oma Arya tertawa sinis. “Tujuh hari? Oma pikir ini lelucon?” “Tidak,” Oma menatap cucunya lekat-lekat. “Kalau kamu tidak menikah dengan Zahra dalam tujuh hari, warisan itu akan Oma tarik. Semua. Perusahaan, rumah ini, aset-aset milik almarhum kakekmu.” Zahra menatap Oma dengan wajah kaget. “Oma… jangan. Jangan libatkan saya, saya... saya cuma seorang pembantu” “Diam, Zahra,” potong Arya tajam. “Kamu pikir saya mau menikah dengan kamu?” Zahra menggigit bibir bawahnya. Matanya memerah, tapi ia mengangguk pelan. “Maaf, Tuan…” Oma menoleh tajam ke Arya. “Jangan pernah rendahkan perempuan yang belum kamu kenal. Zahra punya harga diri. Dan kalau kamu tak bisa menghargainya, kamu memang belum pantas mewarisi apa pun.” Arya berdiri mendadak. Kursinya bergeser kasar, menimbulkan suara gesekan yang menggetarkan ruangan. Arya melangkah cepat, meninggalkan ruang makan tanpa sepatah kata pun. Langkah kakinya berat, tetapi tegas. Pintu ia tutup agak keras—cukup untuk menunjukkan kemarahan, namun tidak cukup untuk membuat Oma merasa menang. Dada Arya terasa sesak. Bukan hanya karena ancaman warisan itu, melainkan karena kenyataan bahwa Oma benar-benar telah menjatuhkan harga dirinya—menjodohkannya dengan seseorang yang bahkan tidak pernah ia anggap ada. "Zahra?Seorang pembantu. Bagaimana mungkin?" Arya mengemudi ke kantor dengan kepala penuh amarah. Jalanan pagi yang biasanya ia lewati dengan santai kini hanya menjadi latar buram yang tak ia pedulikan. Sesampainya di kantor, ia langsung menuju ruang kerjanya, melempar tas kerja ke sofa, lalu menekan tombol interkom. “Panggil Haikal ke ruangan saya. Sekarang,” perintahnya singkat pada sekretaris. Tak sampai lima menit, pintu diketuk dan terbuka. Haikal melongok dengan wajah santai, tetapi raut wajahnya segera berubah serius saat melihat ekspresi sahabatnya. “Ada apa, Bro?” tanyanya sambil duduk. “asem banget tu muka”ucapnya Arya menatapnya tajam. “Gue nggak punya waktu buat bercanda” Haikal mengangkat tangan, menyerah. “Oke, serius. Masalah apa kali ini?” Arya mengusap wajahnya dengan kasar. “Oma" sebelum tuan Aska melanjutkan ucapan nya,Haikal lebih dulu memotong nya. "apalagi?perasaan masalah Lo sama Oma ga selesai selesai" “oma maksa gue menikah untuk cepet menikah dalam waktu tujuh hari!” Haikal melongo. “Tujuh hari? sama siapa ?” Arya terdiam sejenak, lalu mendesis, “Pembantu rumah.” Haikal membelalakkan mata. “Oma lo bercanda?” “Lo pikir gue ketawa?” Arya berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Dia ngasih ultimatum. Kalau gue nggak menikahi Zahra dalam tujuh hari, semua warisan akan ditarik.” “Zahra? Itu… yang sering bawa teh kalau gua main ke rumah lo?” tanya Haikal, setengah tidak percaya. Arya hanya mengangguk, wajahnya muram. Haikal menghela napas. “Pantas lo kelihatan kayak mau meledak.” “Itu sebabnya gue manggil lo ke sini,” Arya kembali duduk, kini menatap Haikal dengan serius. “Gue butuh bantuan lo.” Haikal bersandar santai, menyilangkan tangan. “Oke,Lo butuh bantuan apa?" “Cariin gue perempuan lain. Siapa saja. Yang penting gw terlepas dari pembantu sialan itu” Haikal mengangkat alis. “Lo yakin? Oma lo nggak gampang dibohongi. Dan lo tahu, dia pasti akan menyelidiki siapa pun yang lo bawa.” “Apa pun lebih baik dari Zahra,” desis Arya. “Gue nggak bisa. Gue nggak sanggup.” Haikal mengangguk pelan. “Oke. Gue akan coba bantu cari" “Gue percaya lo,” kata Arya. Suaranya tegas, namun lirih. “Asal bukan Zahra… siapa pun"Beberapa hari berlalu sejak malam itu. Tuan Arya memang belum pulih sepenuhnya, tapi suhu tubuhnya sudah turun. Meski begitu, rasa lemas masih sering muncul. Selama itu, Zahra hampir tak pernah jauh dari sisinya. Ia yang biasanya canggung, kini sigap menyiapkan bubur hangat, mengganti kompres, menyiapkan obat tepat waktu. Meski lelah, Zahra tetap tersenyum setiap kali Tuan Arya membuka mata. “Mas harus makan sedikit, biar ada tenaga,” ucap Zahra lembut, menyodorkan sendok berisi bubur. “Aku bisa makan sendiri, Zahra.” “Tapi kalau Mas makan sendiri, buburnya paling cuma disentuh. Sudah, buka mulutnya” Arya terdiam, lalu akhirnya menurut. Setiap suapan terasa lebih dari sekadar bubur,ada rasa hangat yang pelan-pelan meresap ke dalam hatinya. Hingga suatu malam, setelah seharian sibuk merawat Arya, Zahra tertidur di sofa kamar. Kepalanya bersandar seadanya, tanpa selimut. Jemari mungilnya masih menggenggam botol obat. Arya yang terbangun karena batuk kecil, menatapnya lama.
zahra menelan ludahnya gugup, wajahnya sudah merah padam. Jemarinya semakin kuat mencengkeram tirai ruang ganti, seolah itu satu-satunya pelindung yang tersisa. “Ma—Mas… jangan bercanda,” suaranya bergetar. “Ini di butik… banyak orang. Nanti ada yang lihat…” tuan Arya menatapnya lama, lalu akhirnya menghela napas pendek. Ia menepuk tirai lembut, kemudian mundur setengah langkah. “Baik. Aku tunggu di luar.” Suaranya kembali tenang, namun senyum di wajahnya masih jelas-jelas membuat pipi Zahra makin panas. Begitu ia benar-benar menjauh, Zahra buru-buru menutup tirai rapat-rapat. Ia menyandarkan punggungnya ke dinding, berusaha menenangkan diri. Setelah selesai memilih beberapa pakaian di butik, tua. Arya masih terus menuntun tangan Zahra. Mereka berkeliling mal, sesekali berhenti di toko lain untuk melihat barang-barang kecil. Zahra sempat beberapa kali mencoba menolak ketika tuan Arya menawarkan sesuatu, tapi laki-laki itu selalu menatapnya dengan tatapan tegas yang membuatnya
Zahra membeku sejenak mendengar kalimat itu. Ajakan suami pada istrinya. Hatinya berdetak lebih cepat, sementara jemari yang masih menggenggam piring terasa kaku. “Su… suami pada istri?” gumamnya pelan, nyaris tak terdengar. Arya menatapnya, kali ini tidak menghindar. Ada sorot serius sekaligus lembut di matanya. “Ya. Memangnya salah?” Zahra menunduk dalam-dalam, pipinya terasa panas. “Bukan… bukan salah, hanya saja… saya belum terbiasa mendengar Tuan—eh, Arya bicara begitu.” tuan Arya menyandarkan tubuhnya ke kursi, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Kalau begitu, anggap saja ini… latihan.”“Latihan?” Zahra mengerutkan dahi. “Latihan untuk terbiasa. Aku suamimu, Dan kau… istriku. Kenapa kita harus terus merasa seperti orang asing di bawah atap yang sama?” suara tuan Arya tenang, tapi ada sesuatu yang bergetar di dalamnya. Zahra terdiam, jantungnya makin kacau. Ia menunduk, berusaha menyembunyikan wajah yang mulai bersemu merah. “Aku… saya tidak
Setelah selesai menyuapi Tuan Arya, Zahra segera membereskan piring dan sendok, lalu berjalan kembali ke dapur. Saat punggungnya berbalik, Arya menyandarkan tubuh di kursi, menatap punggung Zahra dengan tatapan yang berbeda dari biasanya lebih lama, lebih dalam. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya, tapi ia memilih kembali ke laptop, mencoba mengabaikan perasaan aneh itu. Malam pun semakin larut. Suara ombak terdengar sayup dari kejauhan, berpadu dengan semilir angin laut yang menyelinap lewat jendela. Lampu-lampu taman memantulkan cahaya lembut di kolam renang, membuat vila terasa tenang. Zahra sudah berada di kamarnya, mencoba memejamkan mata. Namun, rasa haus membuatnya terbangun. Dengan langkah pelan, ia turun ke lantai bawah, niatnya hanya untuk mengambil segelas air putih di dapur. Begitu melewati ruang tamu, langkahnya terhenti. Di sana, Tuan Arya tertidur di kursi, kepalanya sedikit tertunduk di atas tumpukan berkas, laptop masih menyala di hadapannya. Cahaya layar membua
Beberapa hari kemudian, suasana rumah terasa berbeda lebih hidup, lebih hangat. Oma sudah kembali bisa berjalan dengan bantuan tongkat, bahkan sempat bercanda dengan para pembantu rumah. Senyum di wajahnya tak pernah lepas sejak pagi. Di teras, koper-koper sudah tersusun rapi. Tuan Arya berdiri di samping mobil, mengenakan kemeja biru muda dengan lengan yang digulung, sementara Zahra dengan dress sederhana warna pastel sibuk memastikan semua barang bawaan mereka sudah lengkap. “Sayang, hati-hati di jalan, ya,” ucap Oma sambil tersenyum, matanya berkaca-kaca melihat keduanya bersiap pergi. “Nikmati perjalanan kalian. Jangan pikirkan urusan rumah dulu. Dan…” ia berhenti sejenak, menatap mereka bergantian, “semoga perjalanan ini bisa jadi awal yang baru.” Zahra menunduk sopan sambil tersenyum. “Baik, Oma.” Tuan Arya menyalami Oma, lalu memeluknya singkat. “Kami berangkat dulu ya Oma.” Oma mengangguk sambil tersenyum. “Hati-hati di jalan.” Mereka berdua pun berjalan menu
tuan arya terdiam, menundukkan kepala. Kata-kata Oma berputar-putar di kepalanya, menusuk lebih dalam dari yang ia kira. “Oma…” suaranya serak, nyaris tak terdengar. “Arya… nggak pernah berniat nyakitin dia. Cuma… waktu itu Arya.." Oma menghela napas berat. “Itulah masalahnya, Nak. Kamu terlalu sering nggak mikir panjang. Perkataanmu, perbuatanmu… semuanya meninggalkan luka yang nggak selalu bisa diobati hanya dengan minta maaf.” tuan Arya terdiam lagi. Tangannya mengepal di pangkuan. “Kalau kamu mau, Arya…” suara Oma melembut, “kamu masih bisa memperbaiki semuanya. Zahra itu… anak yang penuh sabar. Tapi kesabaran ada batasnya.” tuan Arya menatap Oma, kali ini lebih lama. “baiklah,Arya akan mencobanya” Suara langkah pelan terdengar dari arah pintu. Zahra muncul sambil membawa nampan berisi teh hangat. Aroma wangi melati mengisi ruangan, namun hawa tegang di antara mereka bertiga tetap terasa. “Permisi, Oma…” ucap Zahra pelan, mencoba tersenyum. Oma menyambutnya dengan t
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen