Semua Bab CEO Dingin Itu Mentor Bercintaku: Bab 111 - Bab 120

Arvin membaca baris demi baris kalimat yang tersusun di dua bab terakhir Gista. Pandangannya terpaku penuh. Satu jarinya mengetuk-ngetuk case tablet.“Kalau nggak tahu kamu masih lajang, aku bakal menebak ini adalah pengalaman pribadimu sendiri.” Arvin mengembalikan tablet ke tangan Gista. “Adegan bercinta di balik pintu kantor dengan sekretaris di luar menunggu buat tanda tangan dokumen itu epik banget. Aku cuma ngasih saran dan kamu bisa eksekusi dengan sangat baik. Adegannya beneran hidup, Gista.”Yang dipuji hanya menganggukkan kepala. “Jadi, lolos?”“Lolos. Kamu sudah sampai mid point. Kita sudah sampai di titik tengah cerita. Tapi tugas kita masih banyak. Deadline makin mepet. Kamu yakin sanggup kejar setoran, Gis?”Wanita itu mengangguk. Arvin menyodorkan rancangan kerangka cerita yang sudah dibuatnya. “Ini lima bab selanjutnya. Sudah aku tulis gambaran besarnya. Kamu buat dulu catatan adegannya secara detail, kirim ke aku, dan eksekusi kalau sudah acc dariku.”Gista menerima

Gista melepaskan bibirnya dari bibir Arvin dengan cepat. Namun, pria itu kembali menahannya, Gista meronta sekuat tenaga. Saat akhirnya berhasil melepaskan diri, lampu di kantor kembali menyala. Gista cepat-cepat bangun. Napasnya tersengal, tetapi bukan karena gairah. Rasa kaget, marah, dan kecewa campur aduk di dalam dirinya. Jantungnya memang berdebar kencang, lebih karena emosi ketimbang hal-hal lain. Ekspresi Gista sangat dingin saat berkata pada Arvin. “Kenapa Kakak bersikap kurang ajar padaku?” Arvin bangun perlahan. Dia membersihkan celana dari debu tak terlihat. Lantas ibu jarinya mengusap bibir yang beberapa detik lalu mencium Gista. “Aku suka kamu,” jawab Arvin lugas. Tangan Gista terkepal di samping tubuh. “Percayalah, Gista. Aku nggak sengaja. Aku ingin memberimu ruang untuk berpikir. Aku ingin kita maju perlahan-lahan. Tapi tadi ….” Arvin menatap Gista. Dia melihat sepasang mata wanita itu menatapnya dengan intensitas dingin yang membekukan. Arvin diam-diam bergid

“Kenapa kamu sembunyi di sini?”Gista menelan ludah. Dia buru-buru berdiri, tetapi kakinya kesemutan. Alhasil dia terhuyung lagi hampir jatuh, dan kembali masuk pelukan Akash.“Aku nyari sarapan.” Gista tidak berdusta. “Sumpah.”Tatapan Akash dingin menusuk. Gista menghela napas panjang.“Aku nyoba bikin sarapan pake bahan-bahan di dapurmu. Tapi gagal. Kalau nggak percaya, kamu tengok aja tempat sampah dapurmu.”Akash menghembuskan napas panjang. Dia sedikit membungkuk. Satu tangannya menyelip ke belakang lutut Gista dan tiba-tiba bergerap membopongnya.“Akash, turunin.” Gista berdebar-debar. Ini tempat umum dan Akash sepertinya tak peduli hal itu.“Kita pulang.”“Aku bisa jalan sendiri.”“Lebih cepat kalau aku yang bawa.”“Kalau ada yang mergokin kita gimana? Media? Orang-orang kepo?”Akash menatap Gista dengan pandangan mencela. “Pertama, Nona. Ini unit hunian super elite. Orang-orang tak saling peduli urusan satu sama lain. Kedua, pegawai di sini diajari menjaga privasi pelanggan k

Dipergoki pegawai Megalitera yang juga mantan pegawai Salim Publishing adalah hal terakhir yang diharapkan Gista terjadi dalam hidupnya saat ini.Dia masih mematung di depan lift. Gista baru tersadar saat satu tangan Akash menyentuh punggungnya dengan lembut.“Gis, ayo.”Wajah Gista memerah. Dia ingin menghindar, tetapi Adel sudah keluar dan berdiri menjajarinya. Senyum misterius Adel muncul.“Pak Akash. Selamat malam. Mungkin Pak Akash tidak mengingat saya, tapi saya pernah bekerja di Salim Publishing sebelum dipindahkan ke Megalitera. Nama saya Adel.”Akash mengangguk dingin. “Permisi, kami pergi dulu.”Gista hanya bisa mengangguk sopan pada Adel, isyarat berpamitan, sebelum masuk lift dan membiarkan pintu menutup. Selama itu, Adel tidak beranjak pergi sama sekali.“Kamu dekat sama yang namanya Adel tadi?” tanya Akash setelah mereka berada dalam lift.“Nggak terlalu. Cuma belakangan ini dia sering ngobrol sama aku. Minta tolong dikurasi proposal novelnya.”Akash melihat ke arah Gist

“Jadi, semalam Kak Gista nginep di hotel sama Pak Akash?”Gista menatap Adel lama-lama.“Kak Gista beneran ada hubungan sama Pak Akash?”Gista balik bertanya dengan nada dingin. “Kamu tahu privasi nggak?”“Tahu. Karena itu, aku tanya sama Kak Gista. Biar tahu batasannya.”Gista mengernyitkan dahi. “Maksudmu?”Adel bersandar ke pagar pembatas rooftop. Wajahnya tenang. Tidak ada gelagat licik di sana. Perempuan itu memberikan senyum manis pada Gista.“Aku di pihak Kak Gista, kok.”Selama beberapa saat, Gista tak tahu harus bicara apa. Di momen itu, Adel kembali bicara.“Aku nggak tahu personal Pak Akash kayak gimana. Tapi aku percaya, kalau kalian berniat menyembunyikan hubungan kalian, berarti itu adalah keputusan terbaik yang bisa kalian ambil.”“Adel, kamu kenapa ngomong gini ke aku?”Adel melirik Gista. “Karena situasiku sama kayak Kak Gista. Sedikit banyak, aku tahu gimana posisi Kak Gista sekarang. Sulit.”Gista tertegun. Hembusan lembut angin membuatnya sedikit sejuk, apalagi set