All Chapters of Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia : Chapter 51 - Chapter 60

Udara sore di Bandung membawa wangi bunga-bunga liar dari halaman tetangga ketika Bumi menyalakan motornya. Ia membawa ransel kecil berisi sketsa dan beberapa sampel warna kain. Motornya melaju menuju kawasan Dago Pakar, tempat rumah Rio berdiri dengan megah namun tetap bersahaja. Rumah itu memiliki halaman belakang yang sangat luas, berpagar tanaman hijau tinggi, dan dihiasi beberapa pohon rindang serta lampu taman yang masih mati karena hari belum gelap. Dari gerbang depan, seorang penjaga rumah mempersilakan Bumi masuk begitu tahu siapa yang datang. Rio sudah menunggu di teras samping bersama Mutia yang mengenakan baju rumah warna tanah liat dan sepatu sandal sederhana. Mereka menyambut Bumi dengan hangat. "Akhirnya datang juga, seniman visual kesayangan negara," sapa Rio sambil menjabat tangan Bumi. "Aku penasaran sama taman belakangmu. Kalian bilang ingin suasana hangat dan intim

Bunyi mesin fotokopi beradu pelan dengan dengung kipas angin tua yang berputar malas di langit-langit. Di balik meja kasir kecil yang dipenuhi kertas HVS, toner, dan box tinta printer, Sari tengah memilah nota sambil menggigit ujung pulpen. Bumi masuk dengan langkah santai, membawa map tipis berisi beberapa dokumen. “Pagi, Sari...” sapa Bumi sambil meletakkan tas di atas meja. Sari menoleh dan tersenyum lebar. “Wah, Kang Bumi... biar Sari tebak, mau nge-print, ya?” Bumi tertawa kecil. "Belum tepat... coba lagi." "Mau fotokopi?" "Aku mau beli spidol whiteboard, yang hitam, empat ya. Terus whiteboard ukuran sedang, satu. Penghapusnya juga sekalian." "Mau ngajar, Kang?" tanya Sari, terkekeh sambil mengambil barang-barang yang disebutkan. “Bukan ngajar. Lebih ke rapat kecil, sih,” jawab Bum

Langit sore begitu lembut. Matahari condong ke barat, meninggalkan cahaya keemasan yang jatuh tepat di atas taman. Rumput-rumput terlihat begitu hijau, sementara angin yang bertiup lembut memadukan harum kayu dan bunga-bunga segar. Lampu-lampu taman belum dinyalakan, tapi bayangan pohon yang jatuh di atas jalur setapak sudah cukup menciptakan lukisan cahaya yang indah.Resepsi benar-benar dimulai tanpa acara formal. Tamu-tamu yang berdatangan tak ingin cepat pergi: beberapa keluarga terdekat, sahabat lama, relasi bisnis, dan kawan-kawan yang datang dengan langkah ringan, seperti terpaku pada suasana. Tidak ada pagar-pagar tinggi atau dekorasi berlebihan. Tidak ada panggung menjulang atau pengeras suara yang menggelegar. Hanya meja-meja bundar dari rotan dan dari kayu solid yang dikelilingi kursi-kursi kayu yang nyaman tetapi artistik, juga dihiasi bunga-bunga lokal dan lilin-lilin kecil dalam gelas bening.Di antara semua itu, Bumi berjalan perl

Hampir bisa dipastikan, sebelum tengah malam itu, tak ada tamu undangan yang pulang sampai pesta berakhir. Semua betah, semua merasa di rumah, atau semua merasa dalam acara reuni yang tak ingin mereka lewatkan, bertemu teman-teman lama dan berbagi rindu, padahal tak semua yang hadir di sini saling mengenal. “Bro,” sebuah suara memanggilnya dari arah pintu pagar kecil.Bumi menoleh. Angga datang dengan kemeja kusut dan wajah yang mulai mengantuk.“Sudah tengah malam dan pesta selesai. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat buat ngobrol,” kata Angga sambil mengangkat tangan seperti menyerah. “Tapi aku nggak bisa pulang begitu aja tanpa bilang: salut sama konsepmu, bro.”Ia mengulurkan tangan. Bumi menyambut, dan mereka berpelukan singkat.“Lain waktu, kita harus ngopi, bro. Serius. Kamu tuh... beda.”Bumi hanya tersenyum. “Siap, kapan pun itu, bro... aku punya sekotak cerutu

Pagi turun pelan di beranda rumah itu. Aroma kopi menguar dari minibar cantik, bercampur wangi kue lumpur yang baru diangkat satu demi satu. Matahari belum tinggi, tapi cahayanya sudah menelusup ke sela tirai, membentuk garis-garis terang di atas lantai keramik yang dingin. Ira duduk di satu kursi minibar, menatap kosong cangkirnya yang belum disentuh. Di seberangnya, Angga baru saja meletakkan kue lumpur ke pisin cantik, lalu duduk dengan helaan napas pelan. “Kamu tidur nyenyak?” tanya Ira tanpa menoleh. “Setelah jam dua. Masih kebayang suasana semalam,” jawab Angga. Ia menyesap kopinya sebentar, lalu menatap istrinya. “Tapi bukan pestanya yang bikin aku nggak bisa tidur.” Ira mengangkat alis, masih belum menatap langsung. “Bumi?” Angga mengangguk. Suasana hening sejenak. Hanya suara detik jam dinding dan burung gereja di atap rumah.