Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia

Menantu Terbuang Kini Hidup di Puncak Dunia

last updateHuling Na-update : 2025-09-01
By:  Hawa HajariIn-update ngayon lang
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel12goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
15Mga Kabanata
9views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Bumi hanya seorang freelance editor dengan penghasilan tak menentu. Atap rumahnya bocor, gas dan beras habis sering tak terbeli. Di mata mertuanya, ia adalah menantu gagal—tak layak mendampingi putri mereka, Tari. “Tiga tahun pernikahan! Kita sudah terlalu lama memberi kesempatan,” kata Ayah Tari tegas. “Dan apa hasilnya? Tari hidup kekurangan. Lebih baik dia hidup bersama Ayah dan Ibu saja." Tari pun memilih pergi. Meninggalkan Bumi demi kenyamanan. Demi status. Demi harapan yang lebih pasti. Tapi hidup tak berhenti di titik terendah. Setelah perceraian itu, Bumi malah mendapat tawaran pekerjaan yang mengubah statusnya. Kini, ia bekerja di kota terbesar di dunia. Ia tak lagi dihina. Ia dihormati. Saat Tari melihat Bumi yang dulu ia tinggalkan ... Apakah penyesalan bisa mengubah masa lalu?

view more

Kabanata 1

1. Yang Mengelupas

Dapur kecil itu berbau bawang merah dan cucian yang belum sempat selesai. Dindingnya mengelupas di beberapa bagian, sedangkan langit-langitnya menghitam di sudut-sudut karena bocor. Jam di atas pintu menunjukkan pukul 06.42 pagi.

Bumi duduk di kursi plastik dekat kompor. Kaos lusuhnya sudah sedikit basah di bagian punggung karena keringat meski pagi belum benar-benar panas. Di depannya, di atas meja makan dari kayu lapuk, tergeletak sebuah amplop cokelat yang sudah agak lecek. Ia meletakkannya pelan, lalu menyeruput kopi hitam yang mulai dingin.

Tari membuka pintu dapur dengan rambut masih basah dan muka belum sepenuhnya siap bicara. Pandangannya langsung jatuh ke amplop itu. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil amplopnya, membuka, dan menghitung cepat dengan jemarinya.

“Cuma segini?” tanyanya akhirnya. Suaranya datar, tapi dinginnya terasa.

Bumi menunduk sedikit. “Iya, ini bayaranku untuk beberapa editan minggu ini. Kau pun tahu, pekerjaan editor sangatlah murah.”

Tari menghela napas sambil menyandarkan punggung ke lemari es. “Gas melon naik lagi, Bumi. Minyak juga. Kau harus memikirkan pekerjaan lain yang bayarannya tinggi. Gak bisa kau mengandalkan kerja sebagai editor saja. Ada untungnya kita belum diberi anak, bisa repot kalau begitu. Mikirlah seperti yang lain... lihat suaminya Nina, suami Ania... kok bisa mereka makmur. Mungkin karena mereka itu mikir dan gak malas, pandai cari peluang, pandai cari relasi. Kadang aku minder kalau ngumpul sama Nina dan Ania.”

“Bersabarlah, Tari. Aku juga selalu berusaha. Aku juga sudah tanya-tanya ke suaminya Nina dan Ania tentang kemungkinan pekerjaan untukku.”

“Ya, mungkin suami Nina dan Ania juga bisa merasakan bahwa kau itu tak punya semangat, makanya mereka tak memberi peluang. Jangankan memberi, mungkin untuk mencarikan pun mereka sudah malas... cukup hanya dengan melihat penampilanmu yang tak meyakinkan.”

Bumi tidak menjawab. Ia tahu, jawaban apa pun yang diucapkannya pagi akan tetap salah.

“Salahku dulu, kenapa aku hanya memandang fisik... dan nyatanya, dengan kaos dan kemeja butut seperti itu, kau tak lagi terlihat gagah. Benar kata orang, miskin itu kejahatan... paling tidak, kejahatan di dalam rumah tangga.”

Tari menatap lantai sesaat, seperti menahan sesuatu, tapi ia memilih melanjutkan. Kata-kata itu sudah terlanjur di ujung lidahnya, dan pagi itu terasa terlalu pengap untuk menahan apa pun.

Bumi tetap diam. Ia hanya memutar-mutar gelas kopinya yang semakin dingin, menelan semua ucapan yang merendahkannya itu setiap hari.

“Oya, ibuku kemarin nelpon. Nanyain kamu kerja apa sekarang. Aku jawab masih sama. Ibu cuma ketawa kecil. Kamu tahu maksudnya, kan?”

“Ya, aku mengerti. Kuharap kau bersabar. Untuk saat ini, hanya pekerjaan editor inilah yang bisa kulakukan. Penerbit-penerbit ini sudah mempercayai pekerjaanku, Tari. Aku tahu, mereka membayar kecil. Tapi kalau sabar sedikit lagi—”

“Sabar? Udah berapa lama kamu minta aku sabar? Tiga tahun? Anak tetangga kita yang baru nikah setahun aja udah bisa beli mobil dari gajinya. Lha, kita? Motor tuamu yang itu-itu saja.”

Bumi memejamkan mata sebentar. Kopinya kini benar-benar hambar. “Kita harus bersyukur, Tari... kita masih punya rumah ini, peninggalan ayah dan ibuku, meski kecil dan sudah butut.”

Tari tidak menjawab, tak juga memandang Bumi. Ia masuk ke kamar tanpa pamit. Tak lama kemudian terdengar suara pintu lemari dibuka keras, lalu ditutup lagi. Suara benda jatuh. Entah sengaja, entah tidak.

Bumi menatap dinding dapur yang mengelupas. Ada bekas noda air di sana, bercak cokelat yang perlahan melebar. Ia mendadak merasa kecil sekali.

---

Malam harinya, Tari berbaring dan berselimut di sofa ruang tengah dengan lampu temaram menyala. Di pangkuannya ada ponsel, tapi matanya tidak fokus. Ia menggulir media sosial tanpa benar-benar membaca apa-apa.

Bumi keluar dari kamar, membawa selimut tipis dan bantal kecil. Ia berjalan menuju sofa.

“Kenapa kau tidur di sini, bukannya di kamar? Biar kutemani, deh di sini.”

Tari tidak menoleh. Ia lantas beranjak membawa bantal dan selimutnya ke kamar saat Bumi baru saja berbaring di atas tikar di bawah sofa. Langkahnya cepat. Ketika pintu kamar tertutup cukup keras, Bumi hanya menghela napas.

Bumi membaringkan diri perlahan. Udara dingin menyusup dari sela ventilasi yang rusak. Ia menarik selimut sampai ke dagu, menatap langit-langit rumah yang tak pernah benar-benar gelap.

“Tari...” seru Bumi, tak terlalu keras tetapi cukup untuk terdengar dari dalam kamar. “Kamu masih ingat waktu kita pertama kali menempati rumahku ini? Kamu bilang kamu suka walau kecil. Katamu, yang penting kita bisa tertawa bersama di dalamnya.”

Bumi menunggu. Namun, jawaban Tari tak juga datang. Keheningan hanya diisi oleh suara nyamuk dan dengung lemari es yang tua.

Ia memejamkan mata.

Malam ini terlalu sunyi untuk rumah sekecil ini.

Bumi menatap langit-langit rumahnya yang abu-abu kusam. Dulu, cat ini putih. Dulu, Tari bilang warna putih membuat ruangan kecil terasa lebih lega, lebih lapang, seperti masa depan mereka.

Ia memejamkan mata, dan kenangan pun menyeruak seperti air yang merembes dari retakan atap.

Dulu, justru Tari yang lebih dahulu jatuh cinta kepadanya. Bumi masih ingat bagaimana Tari mengusulkan menikah cepat setelah mereka resmi pacaran kurang dari setahun. Tari bilang, ia tak butuh waktu lama untuk mengenal orang yang membuatnya merasa pulang.

"Bagiku, kamu itu rumah, Bumi," kata Tari saat itu, duduk di kursi ini juga, sambil tersenyum malu dan menggenggam tangan Bumi. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya tanpa riasan.

"Rumahnya kecil, reyot, dan... kadang bocor," Bumi bercanda waktu itu.

Tari tertawa keras, matanya menyipit. "Tapi hangat. Dan aku gak butuh yang besar, asal kamu gak pergi ke mana-mana."

Kini kursi itu berderit pelan saat Bumi bergeser. Suara tawa Tari yang dulu tak asing, kini terasa seperti gema dari lorong yang jauh sekali.

Tiba-tiba, ponsel Bumi bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari teman lamanya, Reza—sesama editor yang kini mulai merambah penulisan skenario.

Reza:

Bro, gimana kerjaan lo? Dengar-dengar, penerbit Gama udah potong honor ya?

Bumi:

Iya. Udah dua bulan ini. Katanya pemasukan menurun. Aku juga udah tanya-tanya ke penerbit lain.

Reza:

Duh, kita ini ya… kerjaan invisible tapi dituntut perfect. Bikin penulis terlihat pintar, tapi gak kelihatan siapa yang bikin.

Bumi:

Hehe. Kadang merasa cuma bayangan orang lain. Tapi ya... ini yang aku bisa.

Reza:

Lo kuat juga, Bum. Gue salut. Gue udah mulai ambil kerjaan lain. Jadi asisten penulis sinetron. Gak ideal sih, tapi lumayan lah buat asap dapur.

Bumi terdiam lama sebelum membalas.

Bumi:

Gue pertimbangkan deh, mungkin waktunya nyoba jalan lain.

Ia meletakkan ponsel. Di dinding dapur, bercak noda cokelat di pojok atas makin lebar. Di pojok jendela, tanaman kaktus pemberian Tari—yang dulu begitu segar—kini layu. Batangnya menciut, tapi masih berdiri. Seperti dirinya.

---

Malam makin larut. Bumi masih terbaring di bawah sofa, menatap cahaya temaram yang menggantung. Ventilasi bocor menyusupkan angin dingin. Suara dari kamar hening, tak ada gerakan.

Pelan-pelan, ia berbicara pada dirinya sendiri.

"Aku tahu aku bukan pria ideal, Tari. Tidak mapan, tidak pandai bicara. Tapi... dulu kamu yang bilang gak butuh yang sempurna, kan?"

Napasnya terasa berat.

"Aku juga tidak tahu... kapan tepatnya kita mulai berubah. Kapan kamu mulai berhenti percaya. Atau... kapan aku mulai mengecewakan."

Ia memejamkan mata.

"Kadang, aku juga tanya ke diri sendiri... kenapa aku tidak berusaha lebih keras. Kenapa aku takut keluar dari dunia yang aku kenal. Mungkin... karena aku terlalu nyaman menyandarkan diri padamu. Karena kamu dulu begitu yakin, dan aku pikir keyakinan itu cukup buat kita berdua."

Hening. Hanya suara kipas angin tua yang berdetak pelan di sudut ruangan.

"Aku capek, Tari. Tapi aku juga tidak mau kalah, tidak mau menyerah. Bukan buat orang lain, bukan buat membuktikan kepada keluargamu atau temanmu Nina, Ania, tapi buat kamu... yang dulu begitu percaya kepadaku."

Dan malam pun terus berjalan, membawa tubuh letih itu dalam tidur yang gelisah.

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
15 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status