Bumi hanya seorang freelance editor dengan penghasilan tak menentu. Atap rumahnya bocor, gas dan beras habis sering tak terbeli. Di mata mertuanya, ia adalah menantu gagal—tak layak mendampingi putri mereka, Tari. “Tiga tahun pernikahan! Kita sudah terlalu lama memberi kesempatan,” kata Ayah Tari tegas. “Dan apa hasilnya? Tari hidup kekurangan. Lebih baik dia hidup bersama Ayah dan Ibu saja." Tari pun memilih pergi. Meninggalkan Bumi demi kenyamanan. Demi status. Demi harapan yang lebih pasti. Tapi hidup tak berhenti di titik terendah. Setelah perceraian itu, Bumi malah mendapat tawaran pekerjaan yang mengubah statusnya. Kini, ia bekerja di kota terbesar di dunia. Ia tak lagi dihina. Ia dihormati. Saat Tari melihat Bumi yang dulu ia tinggalkan ... Apakah penyesalan bisa mengubah masa lalu?
View MoreDapur kecil itu berbau bawang merah dan cucian yang belum sempat selesai. Dindingnya mengelupas di beberapa bagian, sedangkan langit-langitnya menghitam di sudut-sudut karena bocor. Jam di atas pintu menunjukkan pukul 06.42 pagi.
Bumi duduk di kursi plastik dekat kompor. Kaos lusuhnya sudah sedikit basah di bagian punggung karena keringat meski pagi belum benar-benar panas. Di depannya, di atas meja makan dari kayu lapuk, tergeletak sebuah amplop cokelat yang sudah agak lecek. Ia meletakkannya pelan, lalu menyeruput kopi hitam yang mulai dingin. Tari membuka pintu dapur dengan rambut masih basah dan muka belum sepenuhnya siap bicara. Pandangannya langsung jatuh ke amplop itu. Tanpa berkata apa-apa, ia mengambil amplopnya, membuka, dan menghitung cepat dengan jemarinya. “Cuma segini?” tanyanya akhirnya. Suaranya datar, tapi dinginnya terasa. Bumi menunduk sedikit. “Iya, ini bayaranku untuk beberapa editan minggu ini. Kau pun tahu, pekerjaan editor sangatlah murah.” Tari menghela napas sambil menyandarkan punggung ke lemari es. “Gas melon naik lagi, Bumi. Minyak juga. Kau harus memikirkan pekerjaan lain yang bayarannya tinggi. Gak bisa kau mengandalkan kerja sebagai editor saja. Ada untungnya kita belum diberi anak, bisa repot kalau begitu. Mikirlah seperti yang lain... lihat suaminya Nina, suami Ania... kok bisa mereka makmur. Mungkin karena mereka itu mikir dan gak malas, pandai cari peluang, pandai cari relasi. Kadang aku minder kalau ngumpul sama Nina dan Ania.” “Bersabarlah, Tari. Aku juga selalu berusaha. Aku juga sudah tanya-tanya ke suaminya Nina dan Ania tentang kemungkinan pekerjaan untukku.” “Ya, mungkin suami Nina dan Ania juga bisa merasakan bahwa kau itu tak punya semangat, makanya mereka tak memberi peluang. Jangankan memberi, mungkin untuk mencarikan pun mereka sudah malas... cukup hanya dengan melihat penampilanmu yang tak meyakinkan.” Bumi tidak menjawab. Ia tahu, jawaban apa pun yang diucapkannya pagi akan tetap salah. “Salahku dulu, kenapa aku hanya memandang fisik... dan nyatanya, dengan kaos dan kemeja butut seperti itu, kau tak lagi terlihat gagah. Benar kata orang, miskin itu kejahatan... paling tidak, kejahatan di dalam rumah tangga.” Tari menatap lantai sesaat, seperti menahan sesuatu, tapi ia memilih melanjutkan. Kata-kata itu sudah terlanjur di ujung lidahnya, dan pagi itu terasa terlalu pengap untuk menahan apa pun. Bumi tetap diam. Ia hanya memutar-mutar gelas kopinya yang semakin dingin, menelan semua ucapan yang merendahkannya itu setiap hari. “Oya, ibuku kemarin nelpon. Nanyain kamu kerja apa sekarang. Aku jawab masih sama. Ibu cuma ketawa kecil. Kamu tahu maksudnya, kan?” “Ya, aku mengerti. Kuharap kau bersabar. Untuk saat ini, hanya pekerjaan editor inilah yang bisa kulakukan. Penerbit-penerbit ini sudah mempercayai pekerjaanku, Tari. Aku tahu, mereka membayar kecil. Tapi kalau sabar sedikit lagi—” “Sabar? Udah berapa lama kamu minta aku sabar? Tiga tahun? Anak tetangga kita yang baru nikah setahun aja udah bisa beli mobil dari gajinya. Lha, kita? Motor tuamu yang itu-itu saja.” Bumi memejamkan mata sebentar. Kopinya kini benar-benar hambar. “Kita harus bersyukur, Tari... kita masih punya rumah ini, peninggalan ayah dan ibuku, meski kecil dan sudah butut.” Tari tidak menjawab, tak juga memandang Bumi. Ia masuk ke kamar tanpa pamit. Tak lama kemudian terdengar suara pintu lemari dibuka keras, lalu ditutup lagi. Suara benda jatuh. Entah sengaja, entah tidak. Bumi menatap dinding dapur yang mengelupas. Ada bekas noda air di sana, bercak cokelat yang perlahan melebar. Ia mendadak merasa kecil sekali. --- Malam harinya, Tari berbaring dan berselimut di sofa ruang tengah dengan lampu temaram menyala. Di pangkuannya ada ponsel, tapi matanya tidak fokus. Ia menggulir media sosial tanpa benar-benar membaca apa-apa. Bumi keluar dari kamar, membawa selimut tipis dan bantal kecil. Ia berjalan menuju sofa. “Kenapa kau tidur di sini, bukannya di kamar? Biar kutemani, deh di sini.” Tari tidak menoleh. Ia lantas beranjak membawa bantal dan selimutnya ke kamar saat Bumi baru saja berbaring di atas tikar di bawah sofa. Langkahnya cepat. Ketika pintu kamar tertutup cukup keras, Bumi hanya menghela napas. Bumi membaringkan diri perlahan. Udara dingin menyusup dari sela ventilasi yang rusak. Ia menarik selimut sampai ke dagu, menatap langit-langit rumah yang tak pernah benar-benar gelap. “Tari...” seru Bumi, tak terlalu keras tetapi cukup untuk terdengar dari dalam kamar. “Kamu masih ingat waktu kita pertama kali menempati rumahku ini? Kamu bilang kamu suka walau kecil. Katamu, yang penting kita bisa tertawa bersama di dalamnya.” Bumi menunggu. Namun, jawaban Tari tak juga datang. Keheningan hanya diisi oleh suara nyamuk dan dengung lemari es yang tua. Ia memejamkan mata. Malam ini terlalu sunyi untuk rumah sekecil ini. Bumi menatap langit-langit rumahnya yang abu-abu kusam. Dulu, cat ini putih. Dulu, Tari bilang warna putih membuat ruangan kecil terasa lebih lega, lebih lapang, seperti masa depan mereka. Ia memejamkan mata, dan kenangan pun menyeruak seperti air yang merembes dari retakan atap. Dulu, justru Tari yang lebih dahulu jatuh cinta kepadanya. Bumi masih ingat bagaimana Tari mengusulkan menikah cepat setelah mereka resmi pacaran kurang dari setahun. Tari bilang, ia tak butuh waktu lama untuk mengenal orang yang membuatnya merasa pulang. "Bagiku, kamu itu rumah, Bumi," kata Tari saat itu, duduk di kursi ini juga, sambil tersenyum malu dan menggenggam tangan Bumi. Rambutnya diikat seadanya, dan wajahnya tanpa riasan. "Rumahnya kecil, reyot, dan... kadang bocor," Bumi bercanda waktu itu. Tari tertawa keras, matanya menyipit. "Tapi hangat. Dan aku gak butuh yang besar, asal kamu gak pergi ke mana-mana." Kini kursi itu berderit pelan saat Bumi bergeser. Suara tawa Tari yang dulu tak asing, kini terasa seperti gema dari lorong yang jauh sekali. Tiba-tiba, ponsel Bumi bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari teman lamanya, Reza—sesama editor yang kini mulai merambah penulisan skenario. Reza: Bro, gimana kerjaan lo? Dengar-dengar, penerbit Gama udah potong honor ya? Bumi: Iya. Udah dua bulan ini. Katanya pemasukan menurun. Aku juga udah tanya-tanya ke penerbit lain. Reza: Duh, kita ini ya… kerjaan invisible tapi dituntut perfect. Bikin penulis terlihat pintar, tapi gak kelihatan siapa yang bikin. Bumi: Hehe. Kadang merasa cuma bayangan orang lain. Tapi ya... ini yang aku bisa. Reza: Lo kuat juga, Bum. Gue salut. Gue udah mulai ambil kerjaan lain. Jadi asisten penulis sinetron. Gak ideal sih, tapi lumayan lah buat asap dapur. Bumi terdiam lama sebelum membalas. Bumi: Gue pertimbangkan deh, mungkin waktunya nyoba jalan lain. Ia meletakkan ponsel. Di dinding dapur, bercak noda cokelat di pojok atas makin lebar. Di pojok jendela, tanaman kaktus pemberian Tari—yang dulu begitu segar—kini layu. Batangnya menciut, tapi masih berdiri. Seperti dirinya. --- Malam makin larut. Bumi masih terbaring di bawah sofa, menatap cahaya temaram yang menggantung. Ventilasi bocor menyusupkan angin dingin. Suara dari kamar hening, tak ada gerakan. Pelan-pelan, ia berbicara pada dirinya sendiri. "Aku tahu aku bukan pria ideal, Tari. Tidak mapan, tidak pandai bicara. Tapi... dulu kamu yang bilang gak butuh yang sempurna, kan?" Napasnya terasa berat. "Aku juga tidak tahu... kapan tepatnya kita mulai berubah. Kapan kamu mulai berhenti percaya. Atau... kapan aku mulai mengecewakan." Ia memejamkan mata. "Kadang, aku juga tanya ke diri sendiri... kenapa aku tidak berusaha lebih keras. Kenapa aku takut keluar dari dunia yang aku kenal. Mungkin... karena aku terlalu nyaman menyandarkan diri padamu. Karena kamu dulu begitu yakin, dan aku pikir keyakinan itu cukup buat kita berdua." Hening. Hanya suara kipas angin tua yang berdetak pelan di sudut ruangan. "Aku capek, Tari. Tapi aku juga tidak mau kalah, tidak mau menyerah. Bukan buat orang lain, bukan buat membuktikan kepada keluargamu atau temanmu Nina, Ania, tapi buat kamu... yang dulu begitu percaya kepadaku." Dan malam pun terus berjalan, membawa tubuh letih itu dalam tidur yang gelisah.Sore itu, ia duduk di sebuah kafe. Meja kayu kecil, secangkir kopi panas, dan novel Bumi tergeletak di sampingnya. Ia tersenyum, memotret suasana itu, lalu mengirimkannya langsung ke Bumi melalui pesan singkat.Cempaka Kirana:[foto novel Bumi dengan cangkir kopi di sampingnya]> “Kang Bumi… akhirnya aku punya alasan lagi buat duduk di kafe sendirian sambil baca. Selamat ya… karyamu sudah sampai di tanganku 😊📖☕”Bumi membalas tak lama kemudian. Suaranya—walau hanya lewat kata-kata tertulis—seakan terdengar hangat dan mantap:> "Wah… Kirana… terima kasih sudah membeli. Semoga betah menemani bukuku, jangan cepat bosan ya 😅🙏"Kirana menahan tawa, meletakkan ponsel sebentar, lalu menatap halaman depan novel. Ia merasa seperti sedang berbicara langsung, walau hanya lewat layar kecil itu:> “Kalau dari tanganmu, mana mungkin aku bosan? Hehe… Btw, kenapa tidak kiri
Di sebuah sore yang teduh, Kinanti duduk di ruang tamunya. Di meja ada sebuah paket bersegel rapi yang baru saja diantarkan kurir. Namanya tertulis jelas di atas amplop cokelat itu, dan di sudut kecilnya ada tulisan tangan yang tak asing baginya: Bumi.Dengan hati-hati, ia membuka paket itu. Sebuah buku bersampul tebal keluar, judulnya tercetak gagah.BUBAT: Harga Diri Para Ksatria (A Story of Betrayel and Honor in The Old Archipelago)Tangan Kinanti gemetar kecil. Matanya menyapu halaman pertama, lalu berhenti pada sebuah tulisan tangan yang ditorehkan Bumi:> "Untuk Kinanti, rekan terbaik Bumi, sahabat yang paling tulus, kuhaturkan novel ini. Maaf tidak sempat mengantarkan sendiri ke sana sambil ngopi 😅"Seulas senyum hangat muncul di wajahnya. Ada perasaan haru, bangga, sekaligus getir yang tak bisa ia jelaskan. Selama ini, ia selalu tahu Bumi berbeda. Ia tulus, apa adanya, p
Gerbang pagar rumah mewah di daerah Dago Atas itu digeser hingga terbuka."Masuk saja, Kang Bumi... Pak Rio dan Bu Mutia sedang santai di rumah," ucap seorang sekuriti."Lho, buku apa itu?" tanya Bumi sambil menunjuk Buku yang dipegang oleh petugas sekuriti itu. "Buku bagus, Kang... semua sekuriti dikasih satu satu sama Pak Rio. Disuruh baca biar melek katanya," ujar petugas sekuriti itu sambil tertawa.Sita tersenyum mendengar ucapan petugas sekuriti itu. "Bagus tidak, Pak?""Bagus, Neng... kata orang sini mah rame pisan," jawab petugas sekuriti itu. "Saya yang malas baca saja malah keasyikan, tak mau berhenti. Ada dua bahasa, tapi saya baca yang bahasa Indonesia saja."Sita berbisik kepada Bumi. Setelah Bumi mengangguk, Sita menyodorkan sebuah bungkusan kepada sekuriti itu, "Pak, ini ada sop kaki sapi buat Bapak, juga ada satu pak rokok, ya.""Aduh
Kabar itu datang dengan cara yang tak pernah dibayangkan Bumi. Pagi itu, ia membuka surel dari penerbit Jerman yang selama berbulan-bulan bekerja sama dengannya dan Franz. Judul itu terpampang jelas di layar:> BUBAT: Harga Diri Para Ksatria (A Story of Betrayal and Honor in The Old Archipelago) Novel yang ia tulis dengan penuh keraguan, pergulatan batin, dan berhari-hari begadang, akhirnya resmi terbit.Tak hanya satu bahasa, melainkan dua bahasa dalam satu buku sekaligus: bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Bumi sempat terdiam beberapa menit. Tangannya gemetar saat menggulir layar, membaca detail pengumuman itu—daftar toko buku besar di Eropa yang sudah menerima pasokan, pameran buku di Frankfurt yang akan menyoroti novel itu, bahkan rencana distribusi ke Amerika dan Asia.Di Indonesia, kabar itu juga langsung menyebar. Beberapa toko buku besar di Jakarta dan Bandung memasang poster dengan sampul bukuny
Bumi baru saja menuntaskan perjalanan singkat dengan motor tuanya, menghirup udara pagi yang segar saat memasuki halaman rumah Sita. Rumah itu tampak rapi dan hangat, bunga-bunga di pekarangan menebar aroma manis, memberi kesan ramah yang menenangkan.Ia disambut ayah dan ibu Sita dengan senyum hangat. Sita sendiri sudah menunggu di ruang tamu, senyum manisnya merekah saat melihat Bumi masuk.“Kang Bumi, selamat datang,” sapa ayah Sita dengan tangan terulur. “Mari, duduklah. Kami sudah siapkan serabi.”Bumi membalas salam itu dengan sopan, menunduk hormat. “Terima kasih, Om... Tante, senang bisa berkunjung.”Mereka duduk mengelilingi meja kayu bundar, serabi hangat tersaji di piring. Aroma manis dan gurih menyeruak, menciptakan suasana santai. Bumi menikmati setiap gigitan, tapi pikirannya tetap waspada, memerhatikan gestur Sita dan kedua orangtuanya.“Rasanya enak sekali, Kang Bumi,” puji
Malam itu rumah Bumi sunyi. Lampu ruang tamu redup, hanya menyisakan cahaya kuning yang jatuh di atas meja kayu. Di hadapannya, secangkir kopi panas masih mengepul. Bumi menyesap rokok, dan tangannya gemetar ringan saat ia mereguk kopi, seakan setiap tegukan menambah berat pikirannya.Pikirannya masih tertambat pada percakapan siang tadi—perbincangan yang begitu tiba-tiba, begitu tegas. Ayah Sita, dengan suara berat penuh keyakinan, mengajaknya berbicara dengan tulus. Suara itu terus bergema di kepalanya."Kami khawatir, kalau suatu hari kami meninggal... siapa yang akan menjaga Sita? Anak kami ini cantik, tapi kurang mandiri... semua kekayaan kami, semua aset ini, suatu saat akan diwariskan kepada Sita. Kami ingin kau menjaga Sita, menikahinya."Bumi menghela napas panjang. Ia menunduk, menatap cangkir kopinya seakan di sana tersimpan jawaban. Baru satu hari ia kembali dari Jerman, membawa kepenatan dan tugas yang tak ringan,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments