Pagi itu udara terasa berat. Aku menatap tumpukan tagihan yang belum terbayar di atas meja. Sewa rumah, listrik, air, dan beberapa kebutuhan Dinda yang mulai menumpuk. Hati ini terasa sesak, seperti ada batu besar yang menekan dada. Dion duduk di sofa, menatap ponselnya tanpa banyak bicara. Kadang aku merasa kehadirannya hanya sebagai benda yang diam, bukan sebagai partner yang bisa diajak berbagi beban. Aku ingin marah, ingin berteriak, tapi aku menahan diri. Aku harus tenang, demi Dinda. Aku menarik napas panjang, mencoba menyusun rencana hari itu. Berjualan gorengan, menerima pesanan kue, dan mungkin mencari peluang kerja baru. Tapi setiap langkah terasa berat, karena aku tahu usaha ini belum cukup untuk menutupi kebutuhan kami. “Aku capek, tapi aku nggak boleh nyerah,” gumamku pelan sambil menatap tumpukan kertas itu. Dion menoleh sekilas, lalu berkata lirih, “Kita pasti bisa, Din… pelan-pelan ya?” Aku hanya mengangguk, meski dalam hati aku ragu pada kata-kata itu. “Din… aku s
Last Updated : 2025-10-21 Read more