All Chapters of Takdir Cinta di Balik Peluru: Chapter 21 - Chapter 30

"Bagaimana caranya? Aku harus dekat dengan Adrianna. Hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa mengawasinya dari dekat." jawab Travis."Aku kan tidak bisa memaksanya," bantah Helga."Kenapa tidak bisa? Kau harus meyakinkannya bagaimanapun caranya. Jika dia berhasil menghubungi Si Kucing Hitam, maka bisa dipastikan nyawamu juga terancam!" ancam Travis."Baiklah, aku akan mencoba mengajaknya makan malam dengan Duncan juga. Tapi, katakanlah kau datang karena kebetulan. Jangan terlalu terlihat bahwa aku sengaja mendekatkan kalian." Helga menyanggupi."Lakukan sebisamu, dan mengapa kau meneleponku dengan nomer aslimu? Nomer ini bisa dengan mudah dilacak!" Travis bingung sekaligus marah."Aku tidak ada waktu menggantinya!" jawab Helga"Sialan, kau! Ganti dengan nomer yang lain!" Travis menutup teleponnya."Kau juga sialan!" Helga mengumpat setelah Travis menutup teleponnya. Jika dihadapannya mana berani. Travis benar-benar egois. Yang dia pikirkan hanya keselamatan diri dan keamanan bisnis

Jay agak terkejut juga karena Adrianna berani memukulinya di bahu dan tangannya. Bahkan memukul kepalanya dengan tas yang dibawanya. Jay membiarkannya saja."Aku takut sekali!" Adrianna melorot ke lantai. Tangis takut bercampur lega."Maaf, aku tidak bermaksud menakutimu." Jay berjongkok di dekat tubuh Adrianna dan memandangnya dengan intens.Penampilan Jay lebih rapi dari biasanya. Aroma parfumnya cukup lembut namun menggoda. Wajahnya bersih habis bercukur. Seperti biasanya, Jay mengenakan pakaian kebesarannya, celana jeans robek di lutut, kaus oblong berwarna hitam dan juga hoodie hitam dan sepatu kets putih. Jay menimang-nimang bucket hat yang dikenakannya.Penampilannya yang menawan, walau mengenakan pakaian sederhana membuat debar jantung Adrianna makin cepat. Saat ini, Adrianna sangat ingin membelai pipinya dan mencium bibirnya yang indah. Seperti sebuah magnet yang menariknya sangat erat. Inilah saat paling berbahaya. Ketika ketertarikannya pada lawan jenis dihadapannya sulit d

Bukannya pulang, Duncan malah mendatangi rumah sakit tempat Helga bekerja. Ditanyakannya kepada rekan-rekan Helga tentang pekerjaan mendadak yang tadi diterima istrinya lewat telepon. "Maaf, Nyonya Helga sedang di ruang mana ya? Tadi katanya harus mengawasi obat-obatan yang datang?" Duncan bertanya pada salah satu apoteker. "Belum ada lagi barang yang datang, Tuan! Nyonya Helga shift pagi, tidak pernah masuk malam." Sahutnya. Duncan menarik nafas panjang. Setelah dari rumah sakit pertama, Duncan mendatangi rumah sakit kedua di mana Helga juga punya pekerjaan sampingan di sana. Hasilnya sama saja. Penerimaan obat-obatan sudah selesai transaksi tadi pagi, tidak ada pekerjaan yang mendadak, karena semua sudah sesuai jadwal. Duncan benar-benar tak habis pikir. Taksi kemudian berjalan lambat menuju rumahnya. Duncan membayar sopir taksi dengan tip yang cukup besar. Duncan merasa limbung dan terseok-seok di trotoar menuju rumahnya. "Aku ingin tahu apa yg kau lakukan di luaran sana?

Jay dengan sekuat tenaga mendobrak pintu yang lapuk sekali tendang. Penghuninya kaget dan melompat dari tempat tidurnya."Ka…kau?" Tita membelalakkan matanya."Berani sekali kau melukai wanitaku!" Jay menodongkan pistolnya.Keringat dingin mengucur deras membasahi tubuh Tita."Maa…maafkan aku! Ampunilah aku, aku punya anak yang masih kecil!" Tita nyaris menangis."Aku tidak punya alasan memaafkanmu. Siapapun yang menyakiti wanitaku, maka harus membayarnya!" tangan Jay yang satu lagi kembali menarik lengan wanita gemuk itu hingga Tita menjerit kesakitan."To…tolong jangan. Aku bisa memberimu informasi penting. Tolong, biarkan aku hidup!" katanya dengan wajah memelas.Jay menyeret wanita itu ke meja makan dan mendudukannya di sana. Kemudian Jay mengambil satu kursi untuknya. Dia mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya."Aku menunggu!" tatapnya tajam. Pria tampan itu jadi nampak menakutkan."Saudaraku dan Danny, menyerahkan bayi itu pada orang lain. Seorang pria tampan dan satu lagi wa

Adrianna mengunjungi rumah orang tuanya di kota lain setelah hari itu. Sedangkan Jay, seperti biasanya, menghilang di telan bumi. Sudah tiga hari Adrianna tidak bertemu dengannya.Entah mengapa, tiga hari itu nampak menggelisahkan untuk Adrianna. Ada kerinduan yang tidak mau diakuinya terhadap Jay. Mungkin karena selama ini, Adrianna agak ketergantungan padanya.Rumah tua model tahun delapan puluhan itu masih berdiri kokoh. Rumah dua lantai yang tidak terlalu besar, merupakan rumah masa kecil Adrianna, dengan teras luas dan pekarangan samping untuk berkebun. Masih rumah dengan kehangatan yang sama ketika masa kecilnya dulu. Di sanalah Adrianna dan kedua kakaknya, Chase dan Cecilia dibesarkan.Bagian dalamnya masih setia menggunakan furniture model lama yang dulu dibeli dan dikumpulkan oleh kedua orang tuanya. Ibunya Adrianna menyukai barang antik hingga kesan kuno itu begitu melekat.Satu-satunya yang tidak disukai Adrianna di rumah itu, adalah jam antik yang berdiri kokoh tinggi menj