LOGINDidorong oleh keputusasaan dalam mencari bayinya yang diculik, Adrianna mengumumkan pencarian seorang pria yang dijuluki "Kucing Hitam" untuk menemukan putranya. Reputasi pria itu sama sekali tidak baik, dia adalah pembunuh bayaran yang tidak pernah gagal menemukan targetnya dan kemudian mengeksekusinya. Dengan mempertaruhkan keselamatannya sendiri, Adrianna bertemu dengan Kucing Hitam dan setuju untuk mencari bayinya yang diculik. Seiring perjalanan mereka yang semakin dekat satu sama lain, ada perasaan tersembunyi yang tumbuh di hati Adrianna. Namun, proses pencarian tidak pernah mudah, meski satu per satu benang kusut terurai, Adrianna harus mengetahui kenyataan pahit tentang dalang di balik penculikan anaknya, nyawanya sendiri dalam bahaya besar. Kehadiran The Black Cat membawa secercah harapan ke dalam kehampaan hidup Adrianna yang hampir kehilangan segalanya.
View MoreBen menutup teleponnya. Suara yang sekian lama dirindukannya menghilang seketika.Senja berwarna jingga keemasan, menyilaukan sejauh mata memandang. Ben menghela nafasnya. Dia benar-benar jenuh dengan keadaan ini.Rumah tangganya baik-baik saja. Namun, tetap saja Ben selalu merasa ada yang kurang. Ada bagian kosong dalam hidupnya. Kehampaan yang lahir dari rasa kehilangan.Ben kehilangan dua orang yang sangat dicintainya, Adrianna dan Brian putranya. Rasa bersalah selalu menghantuinya.Ben tenggelam dalam lamunannya. Sudah jam pulang, para karyawan satu-persatu meninggalkan kantor. Ben membereskan tasnya, kemudian bergegas keluar dari kantor.Jalanan ibukota selalu macet di jam pulang kantor. Ben menghentikan mobilnya di sebuah stadion olahraga, dia membeli minuman dingin dan menikmati senja seorang diri.Dulu, tempat ini jadi tempat favoritnya Adrianna yang senang nongkrong sambil bermain bersepeda. Masa muda mereka memang menyenangkan. Sederhana, namun mengesankan. Tidak pernah memb
Ben menutup teleponnya. Suara yang sekian lama dirindukannya menghilang seketika.Senja berwarna jingga keemasan, menyilaukan sejauh mata memandang. Ben menghela nafasnya. Dia benar-benar jenuh dengan keadaan ini.Rumah tangganya baik-baik saja. Namun, tetap saja Ben selalu merasa ada yang kurang. Ada bagian kosong dalam hidupnya. Kehampaan yang lahir dari rasa kehilangan.Ben kehilangan dua orang yang sangat dicintainya, Adrianna dan Brian putranya. Rasa bersalah selalu menghantuinya.Ben tenggelam dalam lamunannya. Sudah jam pulang, para karyawan satu-persatu meninggalkan kantor. Ben membereskan tasnya, kemudian bergegas keluar dari kantor.Jalanan ibukota selalu macet di jam pulang kantor. Ben menghentikan mobilnya di sebuah stadion olahraga, dia membeli minuman dingin dan menikmati senja seorang diri.Dulu, tempat ini jadi tempat favoritnya Adrianna yang senang nongkrong sambil bermain bersepeda. Masa muda mereka memang menyenangkan. Sederhana, namun mengesankan. Tidak pernah memb
Adrianna kaget ketika Ben menelepon. Matanya membelalak sempurna, mulutnya menganga. Toni yang melihatnya juga sama terkejutnya."Ya, hallo!" Adrianna gugup menyapa Ben. Matanya melirik kepada Toni yang sedang mengamatinya."Hallo Adrianna, bagaimana kabarmu?" tanya Ben. Pria itu berpura-pura tidak gugup dan berdebar, seolah-olah tidak terjadi apapun."Aku baik, ada apa kau meneleponku?" "Beberapa hari lagi aku ada keperluan ke dekat tempat tinggalmu. Aku ingin bertemu, ada yang harus kubicarakan secara langsung denganmu." kata Ben dari seberang sana.Adrianna, hatinya masih merasa marah dan kecewa pada Ben."Apa tidak bisa lewat telepon saja? Bukankah kita sepakat, bahwa kita akan bertemu ketika aku sudah menemukan Brian? tanya Adrianna. Baginya, berusaha menghindar sepertinya lebih baik untuk kebaikannya."Adrianna, jika aku bisa membicarakannya lewat telepon, maka aku tidak akan meminta bertemu denganmu." Ben menjelaskan alasannya."Euhh, baiklah. Kabari saja tempatnya jika kau su
52"Iya, aku sekarang sendirian." jawab Duncan sambil menyeruput kopinya."Wanita itu meninggalkanku. Lagi pula, sudah terlalu banyak kejahatannya yang tidak bisa lagi kutolelir. Aku tidak sanggup lagi," sahut Duncan dengan suara getir."Aku turut berduka." ujar Adrianna."Yeah, is too bad." Toni ikut berkomentar.Jay hanya diam mendengarkan. Ponselnya berbunyi Bip. Jay membaca pesan yang masuk ke ponselnya."Aku harus pergi. Nanti kukabari lagi." katanya setelah mematikan ponsel. Jay beranjak dari kursi dan mengecup kening Adrianna."Baiklah. Hati-hati!" sahut Adrianna dengan wajah penasaran. Adrianna mengantarnya ke pintu. Dalam sekejap, Jay menghilang dengan meninggalkan suara bising motor dan asap knalpot."Terima kasih atas makanannya." kata Duncan."Senang rasanya bisa makan sama-sama. Aku bosan makan sendirian terus." keluh Duncan."Ya, aku paham soal itu. Aku juga pernah seperti itu," Adrianna mengangguk."Untung ada Toni dan Sonya, jadi aku tidak kesepian. Mereka berdua sudah
"Ya Tuhan, Sonya! Toni!" Adrianna memeluk Sonya setelah Jay menemukan mereka dan membawanya ke rumah Adrianna."Madam, hwaaaa…!" Sonya tak kuat menahan tangis."Kami baik-baik saja sekarang." Toni menenangkan dan memeluk kedua wanita yang sudah dianggapnya keluarga sendiri itu."Aku benar-benar khawatir pada kalian. Hiks hiks." Adrianna masih terisak."Sudah, sudah! Ayo, kau istirahatlah! Aku akan membuatkan makanan untuk kalian. Kalian pasti lapar!" Adrianna memandang Tonk yang terlihat kuyu dan depresi.Mereka duduk di ruang tengah, Adrianna ke dapur dan menyiapkan bahan seadanya untuk di masak. Sonya mengikutinya. Wajah gadis itu masih pucat dan muran."Kubantu!" kata Sonya walau masih dengan suara yang serak karena habis menangis."Bikin kopi saja, biar aku yang masak. Cuma sedikit, kok!" ujar Adrianna sambil memasukan wortel dan kacang polong beku ke dalam panci, disusul potongan sosis dan daging ayam."Baiklah!" Sonya lalu membuat kopi memakai mesin yang ada. Dia juga memeriksa
"Tenangkan dirimu!" Jay membujuk Toni yang frustasi dengan apa yang barusan terjadi pada Sonya dan dirinya."Kubilang aku akan membunuh bajingan itu!" mata Toni nyalang."Baik, aku tidak akan menghalangi!" Jay mengangkat kedua bahunya."Sonya, bersihkan dirimu, baru kita bicara!" Jay perlahan keluar dari kamar.Toni terhenyak. Noda darah memanjang ke pintu keluar. Collin sudah menyeret mayat Bob dan juga tubuh Mark. Entah orang itu masih hidup atau tidak.Cepat-cepat Sonya masuk kamar mandi dan menguncinya. Sonya menangis meratapi nasibnya. Berkali-kali Sonya mencuci muka dan mulutnya. Sonya merasa mual ingat bagaimana dia diperlakukan sebelumnya.Sebelumnya, Jay menjalankan mobilnya sesuai dengan petunjuk GPS. Jay mengejar penculik setelah Adrianna menghubunginya berkali-kali dan mengabarkan kejadian yang menimpa Toni dan Sonya.Saat mengangkat telepon, Jay mempersilakan Adrianna untuk menceritakan semuanya. Adrianna segera menceritakan yang terjadi, mulai dari kepergian Toni dan Son
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments