Pagi itu matahari menyorot lembut ke dalam kamar, menyinari meja kerja kecil yang berantakan dengan kertas-kertas catatan. Alya duduk di ujung ranjang, memegang pulpen, lalu menatap kosong ke arah jam dinding. Waktu terus berjalan, tapi pikirannya sibuk meramu strategi.Ia menghela napas panjang. Kalau aku ingin bertahan, aku harus pandai memainkan peran. Raka tidak boleh tahu aku sudah menyadari siapa dia sebenarnya.“Sayang, kamu sudah bangun?” Suara itu muncul tiba-tiba, hangat, penuh kelembutan yang dulu membuat Alya luluh. Raka keluar dari kamar mandi, rambutnya masih basah, tubuhnya terbungkus handuk. Ia tersenyum—senyum yang bagi orang lain tampak tulus, tapi bagi Alya kini seperti topeng yang licin.“Iya,” jawab Alya singkat, lalu menutup bukunya cepat-cepat.Raka berjalan mendekat, mencondongkan tubuh, lalu mengecup kening Alya. “Kamu terlihat lelah. Jangan terlalu banyak kerja, nanti sakit.”Alya menahan diri agar wajahnya tetap lembut. “Aku baik-baik saja, Mas. Terima kasih
Last Updated : 2025-09-28 Read more