Hujan turun tanpa henti. Suaranya mengisi seluruh rumah, menenggelamkan suara-suara lain, seolah mencoba membilas sial yang ditinggalkan Adrian. Namun kenyataannya, rumah Rembrandt tetap terasa sesak. Dinginnya merambat sampai ke tulang. Cempaka memeluk kedua lengannya saat menatap pintu yang baru saja tertutup. Tubuhnya masih gemetar—entah karena ketakutan, rasa bersalah, atau amarah yang ia tahan sejak sore. Ben mengintip keluar sejenak, memastikan Adrian benar-benar menjauh, lalu ia menutup daun pintu dan berkata lirih, “Aku berjaga di luar. Jika butuh sesuatu, panggil saja.” Pieter menunduk sebentar, seolah berterima kasih meski tidak ada kata yang keluar. Ben pergi, menyisakan keheningan yang jauh lebih tebal dari sebelumnya. Hanya Cempaka dan Pieter. Cempaka membuka mulut, ingin bicara. Namun Pieter mengangkat tangan pelan—bukan melarang, tapi menahan, meminta waktu. Pria itu menatap pecahan gelas anggur yang berserakan di lantai, lalu menarik napas yang berat, seolah s
Terakhir Diperbarui : 2025-11-15 Baca selengkapnya