MasukTerbangun tanpa sehelai benang pun di pelukan seorang pria Belanda, Cempaka tahu aib itu akan menghancurkan segalanya. Apalagi, dalam tujuh hari ia akan menikah dengan bangsawan pribumi. Lebih parah, pria itu bukan kompeni biasa, melainkan kepala pengawas pelabuhan yang baru ditunjuk kerajaan, sosok dengan kuasa yang bisa menjeratnya kapan saja. Di hari pernikahannya, ia mendapati kenyataan pahit: bukan hanya cintanya yang hilang, tapi juga kebebasannya. Terjepit di antara gairah terlarang dan permainan kuasa, Cempaka harus memilih—tunduk pada takdir yang dipaksakan, atau melawan meski risikonya bisa menghancurkan seluruh hidupnya! More info: IG: @yoruakira
Lihat lebih banyakIa terbangun telanjang dalam pelukan seorang Belanda—padahal seminggu lagi ia akan dinikahkan dengan seorang bangsawan pribumi.
Tubuh wanita itu menggeliat, kepalanya berat seakan dihantam palu. "Ugh..." Berkas cahaya mentari pagi menembus celah kisi-kisi jendela kayu yang catnya mulai mengelupas. Warnanya pudar, tak lagi jelas apakah coklat atau kusam. Debu berterbangan, menari dalam sinar tipis itu sebelum jatuh tepat di wajah Cempaka. Gadis itu tersentak bangun, napasnya terhenti ketika sadar dirinya tengah terperangkap dalam lingkar lengan kekar seorang pria. "Astaga..." serunya tertahan, tapi tubuhnya langsung menegang. Ia beringsut menjauh, namun kain seprai tipis yang menutupi mereka terlepas, memperlihatkan tubuhnya yang tak berbalut sehelai kain pun. Jantungnya berdegup kencang, telinganya terasa panas. Sebuah denyut nyeri menyambar kepalanya—sisa mabuk semalam—membuat langkahnya terhuyung saat meraih baju yang teronggok kusut di lantai papan. Di antara lipatan kain, secarik kartu kecil tergeletak—lambang pelabuhan tercetak buram di sudutnya. Jantung Cempaka berhenti. Pegawai… Pelabuhan? Ia kini kembali menatap sosok yang membuat hatinya seketika merasakan jeri. Pria itu, yang kini tidur membelakanginya, memiliki wajah yang tak mungkin dilupakan: garis rahang tegas, hidung mancung seperti pahatan, dan bibir tipis yang terkatup rapat. Beberapa helai rambut pirang kecokelatan jatuh menutupi matanya yang terpejam. Sepasang bola mata biru cerah yang tampak tajam, tapi seolah menyimpan kekaguman setiap kali bersitatap dengan Cempaka. Semalam. "Apa yang... terjadi semalam?" bisiknya pada diri sendiri, suaranya bergetar. Kilasan ingatan datang bagai hantaman ombak: dirinya di sebuah warung arak dekat pelabuhan, lampu minyak berkelip, denting gelas bercampur tawa kasar para serdadu. Ia mencoba meneguk minuman pahit itu untuk pertama kali. Lalu... tawa yang berubah kabur, tatapan pria itu yang semakin dekat–Cempaka bahkan tak tahu siapa yang memulai lebih dulu. Hanya ada rasa putus asa bercampur keberanian sesaat ketika ia menenggak arak pahit itu. Selebihnya hanyalah hangat tubuh yang bukan miliknya, ciuman yang membuatnya gemetar, dan kenyataan bahwa ia tidak lagi mampu berkata “tidak.” Cempaka menutup wajah dengan kedua tangannya. “Gusti... aku sudah membuat kesalahan yang takkan diampuni,” gumamnya lirih, hampir menangis. Namun, sudah terlambat menyesalinya sekarang. Ia sendiri yang datang pada pria itu dan meminta untuk membawanya pergi ke warung penjual arak tersebut. Ia sendiri yang datang dengan pikiran konyol bahwa dirinya bisa menentang ucapan sang ayah. Hasilnya? Cempaka tak mau memikirkannya sekarang. Perempuan yang seharusnya berada dalam masa pingitan itu, terlalu malu untuk mengakui kesalahan yang sudah dilakukan. Ia buru-buru mengumpulkan pakaian, lalu mengenakan baju yang dipakainya semalam dengan tangan gemetar. Lantas keluar dari kamar itu tanpa mengatakan apa pun setelah memakai pakaiannya. Bahkan sekadar berpamitan atau mengucapkan selamat tinggal pada pria yang ... Wajah perempuan itu memerah. Ia tak mau mengingat adegan panas yang telah mereka lewati semalam. Langkah Cempaka terseok. Ada nyeri di area kewanitaannya saat ia mencoba berjalan. Ditambah sakit kepala yang tak juga berkurang. Tak ada pamit, tak ada kata apa pun untuk pria itu. Ia melangkah keluar, menahan perih yang terasa di setiap gerakan pahanya. Lorong losmen sempit dan pengap. Bau anyir laut bercampur asap rokok kretek memenuhi udara. Samar-samar Cempaka juga mencium aroma pekat yang berasal dari tubuhnya. Aroma kemalangan atau ... "Jangan pikirkan apa pun! Aku harus segera pergi," bisiknya dengan langkah buru-buru di sepanjang lorong losmen itu. Ia sempat berhenti sejenak. Memasang telinga ketika dari bilik lain terdengar suara langkah berat dan bahasa Belanda yang terdengar keras. Lampu gantung minyak memercikkan nyala kecil saat ia melewatinya. “Apa yang kau harapkan, Raden?” “Aku butuh bantuan, Tuanmu.” Langkah Cempaka berhenti sepenuhnya di balik pintu. Ia seperti pernah mendengar suara pria tersebut, tapi ... di mana? "Sudahlah, bukan urusanmu menguping pembicaraan orang sepagi ini, Cempaka! Kau punya masalahmu sendiri!" Begitu sampai di pintu belakang, seorang gadis muda berwajah tegas dengan kebaya cokelat pudar dan jarik lurik langsung menyongsongnya. Wajahnya pucat, matanya membulat penuh cemas. “Den Ayu... Gusti, apa yang Den Ayu perbuat? Bagaimana bisa sampai di tempat hina ini?” suara Lastri terdengar seperti bisikan marah, tapi juga ketakutan. Cempaka menahan napas, menatap ke kiri-kanan untuk memastikan tak ada mata yang mengintai. “Jangan banyak tanya, Lastri. Kita harus segera pulang. Sekarang.” Lastri mengangguk cepat, lalu mengeluarkan selendang batik dari buntalan di tangannya. “Ini... untuk menutup tubuh Den Ayu. Bajunya—” “Kau bawakan kebaya sutraku?” potong Cempaka terburu-buru. Lastri ragu sejenak, lalu menyerahkan lipatan kain halus berwarna biru muda. Cempaka segera menyampirkan selendang itu di bahu, menutupi gaun putih berenda selutut yang masih melekat di tubuhnya—gaun asing yang ia kenakan semalam untuk menyelinap keluar dari kaputren. Angin laut membawa aroma asin dan sedikit bau amis ikan dari pelabuhan yang tak jauh dari sana. Denting lonceng gereja dari kejauhan menandakan waktu sudah melewati pukul tujuh pagi. Cempaka menarik napas panjang. Minggu depan ia akan menjadi istri seorang pria pilihan keluarganya. Malam yang ia lalui semalam—dengan seorang pria yang mengaku sebagai pelukis—adalah noda yang tak boleh tercium oleh siapa pun. “Ayo, Lastri,” bisiknya, “sebelum ada yang melihat...” Lastri memegang lengannya, membimbingnya menyusuri gang belakang losmen. Langkah mereka cepat, menghindari tatapan para kuli pelabuhan yang sudah sibuk memanggul karung. Cempaka tak menoleh lagi. Ia takut sekali jika sosok lelaki itu muncul di ambang pintu, memanggilnya dengan bahasa yang tak ingin ia dengar lagi.Van der Wijck terhuyung, hampir kehilangan keseimbangan. Ia menatap pergelangan tangannya yang masih terasa sakit. Seolah tak percaya ada seseorang yang berani menyentuhnya—bahkan mendorongnya—dengan cara sebrutal itu. Cempaka langsung menjauh dua langkah, napasnya terputus-putus, bahunya naik turun dengan cepat. Ada bekas cengkeraman merah di lengannya. Matanya membelalak—antara lega dan ngeri. Dan di hadapan mereka berdiri Pieter. Mantelnya masih tertutup debu perjalanan, rambutnya acak, napasnya berat seolah ia berlari dari gerbang hingga halaman. Namun yang paling mencolok adalah sorot mata itu. Pekat. Membunuh. Seperti bara hitam yang siap meledak. “Cukup,” ulangnya, lebih pelan… lebih berbahaya. “Jangan pernah sentuh istriku! Aku sudah muak melihat kau menyentuh orang yang tidak ingin disentuh.” Van der Wijck menyipitkan mata, tapi angkuhnya belum hilang. Tak ada lagi tatapan segan yang ditunjukkan terakhir kali ketika mereka bertemu di restoran.Ia merapikan mantel, menc
Nama itu. Begitu Aryo menyebutnya—pelan, seperti takut ada sesuatu yang ikut merayap keluar dari kegelapan—Cempaka merasa seluruh lantai bergeser dari bawah telapak kakinya.Ia tidak menjawab apa pun. Tidak bereaksi. Tidak memprotes.Ia hanya berdiri terpaku, memandang Aryo, namun tatapannya kosong. Jauh. Terseret pada masa yang seharusnya tak perlu ia ingat lagi. Faktanya tidak semudah itu bagi Cempaka.Lastri sempat memanggil namanya dua kali. Sriah memegang lengannya, khawatir Cempaka akan jatuh.Namun Cempaka hanya mengucapkan satu kalimat, sangat pelan, “Aku harus bicara dengan Pieter.”Tidak ada yang bisa menahannya ketika ia melangkah keluar dari ruang penahan belakang itu. Napasnya cepat, langkahnya panjang, hampir terburu-buru melewati halaman. Sore menjelang, cahaya matahari redup jatuh di wajahnya, tetapi tidak cukup untuk menenangkan gejolak yang bergemuruh di dadanya.Ia tahu nama itu. Semua orang mungkin tidak. Bahkan Lastri, atau Pieter sekalipun. Sebab, ia sendiri yan
Hari-hari setelah malam itu berlalu begitu saja—tanpa kejadian besar, tanpa percakapan yang mengungkap luka lama, tetapi juga tanpa menjauhkan apa pun yang sudah sempat mendekat.Rumah Rembrandt kembali seperti semula. Tidak dingin. Tapi juga… tidak sepenuhnya hangat.Cempaka menjalani rutinitasnya dengan cara yang membuat para pelayan hampir bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi pada perempuan itu. Terutama Lastri.Perempuan muda itu tahu, tak mudah bagi Cempaka setelah kemunculan Aryotedjo. Apalagi namanya sempat dibawa-bawa dan membuat suasana makin tegang. Namun, tak ada yang bisa dilakukan Lastri. Cempaka menolak bercerita padanya."Den Ayu, butuh teman bercerita?" tanya Lastri pada suatu sore setelah Aryotedjo muncul di rumah keluarga Rembrandt.Cempaka hanya tersenyum. Menggeleng singkat, lantas menepuk pundak perempuan yang sudah bersamanya sejak usia belia itu."Jika Den Ayu, tidak mengatakan apa pun, itu membuat saya menjadi gusar." Lastri menambahkan. Namun, Cempaka han
Pieter kembali ke kamar ketika malam sudah turun sepenuhnya. Menyisakan hanya cahaya kecil dari lampu minyak yang ia biarkan menyala sebelum pergi tadi. Pria itu membuka pintu perlahan, hampir tanpa suara, tak ingin mengganggu tidur Cempaka. Namun begitu ia masuk, Pieter mendapati sesuatu yang membuat langkahnya terhenti. Cempaka tidak lagi tidur setenang sebelumnya. Perempuan itu meringkuk di bawah selimut, tubuhnya gelisah. Alisnya mengernyit, bibirnya bergerak seakan memanggil seseorang dalam mimpi yang tidak menyenangkan. “Ayah.…” gumamnya kecil, nyaris tak terdengar. Pieter langsung mendekat. Ia menunduk, memperhatikan napas Cempaka yang mulai tersengal—bukan karena sakit, tapi gelombang kecemasan yang muncul begitu ia tak lagi disandari oleh kehangatan seseorang. “Cempaka,” bisiknya lembut sambil duduk di tepi ranjang. “Aku di sini.” Perempuan itu tampak tersiksa dalam tidurnya, jemarinya mencengkeram bagian selimut seolah sedang memohon perlindungan dari sesuatu yang t






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Ulasan-ulasan