“Sejauh yang Mas mau,” bisik Anindya.Arvendra tertawa kecil. Bukan tawa manis. Namun, tawa pria yang baru saja diberi izin untuk kehilangan kendali, dan tahu persis konsekuensinya.“Good. Karena saya juga sudah terlalu lama menahan ini.” Arvendra menunduk, mencium pusat dada Anindya, lalu turun perlahan. Tidak terburu-buru, tetapi tiap inci seolah dihitung, dipelajari, diingat. Tangan besarnya mengusap naik turun sisi pinggulnya, menggenggamnya sekali, cukup untuk membuat Anindya melengkung.“Relax, Sayang.” Pria itu mencium perut bawah Anindya. “Biar saya yang kerja malam ini.”Anindya menggigit bibir, kedua pahanya menegang refleks.Arvendra merasakan itu. Tangan Arvendra menahan kedua paha itu, membukanya sedikit, ibu jarinya mengusap bagian dalam paha Anindya dengan tekanan yang nyaris malas, tapi sangat … sangat niat.“Kamu gemeteran,” gumam Arvendra sebelum mencium bagian dalam paha kiri, lembut dan dalam sekaligus.“Mmm …” Anindya tidak bisa membentuk kata. Yang keluar hanya na
Terakhir Diperbarui : 2025-11-28 Baca selengkapnya