Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku

Pelajaran Panas Dengan Ayah Muridku

last updateLast Updated : 2025-12-05
By:  DuvessaUpdated just now
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
10
23 ratings. 23 reviews
87Chapters
5.6Kviews
Read
Add to library

Share:  

Report
Overview
Catalog
SCAN CODE TO READ ON APP

Anindya hanyalah seorang mahasiswa biasa yang bekerja paruh waktu sebagai guru les privat. Tugasnya sederhana, mengajar seorang bocah cerdas bernama Elvio. Namun, tak ada yang menyangka jika pada akhirnya dia justru jatuh dalam pelukan ayah muridnya.

View More

Chapter 1

Bab 1: Bertemu

“Papa, ini Kak Anin! Guru les aku,” seru Elvio polos sambil menggandeng tangan ayahnya yang baru saja tiba dari perjalanan bisnis. “Dia katanya mau jadi Mama aku!”

Anindya langsung tersentak.

“Eh, El! Kak Anin cuma bercanda!” Tegurannya terdengar panik, wajahnya memanas karena malu dan bingung.

Selama setahun terakhir, Anindya terpaksa bekerja sebagai guru les privat demi bisa membayar uang kuliah yang tinggal beberapa bulan lagi. Dan Elvio Dirgantara Pradipta, bocah laki-laki cerdas berusia 6 tahun dengan mata abu-abu pucat itulah yang Anindya ajar selama ini.

“Boleh, Papa? Kak Anin jadi Mama aku?” Elvio malah semakin bersemangat, menoleh pada ayahnya dengan wajah penuh harap. 

Anindya ingin menutup wajahnya saat itu juga. ‘Ya Tuhan, apa-apaan sih ini!’ batinnya.

Ini adalah kali pertama Anindya bertemu dengan ayah Elvio karena selama ini, pria itu selalu pergi dinas. Seharusnya Anindya memberikan kesan pertama yang bagus, tapi kenapa sekarang malah rasanya jadi memalukan?

Sudut bibir pria itu sedikit terangkat. Sulit ditebak apakah itu senyuman atau hanya refleks. Tatapannya sama sekali tidak bergeser dari Anindya saat dia menjawab, “Boleh.”

Anindya membeku di tempat.

Boleh? Yang benar saja!

Apa dia barusan salah dengar? Tidak mungkin pria itu serius, bukan?

“P … Pak?” Anindya mencoba membuka suara, tapi yang keluar hanya gumaman tak jelas.

Arvendra Satwika Pradipta–seorang arsitek ternama di kota itu–akhirnya menatap putranya. “Elvio, selesaikan dulu tugasmu. Papa ingin bicara sebentar dengan Kak Anin.”

“Bicara apa, Pa?” Elvio memiringkan kepala, tampak penasaran.

“Tidak penting untuk anak kecil.” Arvendra berbicara datar, tapi sarat otoritas, membuat bocah itu langsung menurut meski wajahnya masih tampak kecewa.

Arvendra kembali menatap Anindya. “Bisa ikut saya ke ruang kerja? Ada yang ingin saya bicarakan.” Kalimat itu terdengar singkat, tapi jelas terasa seperti perintah, bukan permintaan.

Anindya menelan ludah dan buru-buru mengangguk. “I-iya, Pak.”

Tanpa banyak bicara, Anindya mengikuti langkah Arvendra yang sudah lebih dulu menuju tangga di tengah rumah itu.

Saat mereka mencapai belokan tangga, Anindya sedikit kehilangan keseimbangan. Runner carpet itu bergeser tipis ketika dia menginjaknya terlalu cepat. Dalam sepersekian detik, tubuhnya terhuyung ke depan.

“Ah!” seru Anindya kaget.

Dalam sekejap, tangan kokoh Arvendra meraih pinggangnya, menarik tubuh Anindya hingga menghantam dada bidang pria itu, benturan yang terlalu dekat untuk disebut kebetulan.

“Ceroboh sekali,” tegur Arvendra dengan suara rendah. Napas hangat pria itu menyapu kulit leher Anindya, membuatnya kaku seketika. Dia sadar betul betapa eratnya lengan itu melingkari pinggangnya, terlalu erat untuk sekadar menyelamatkan.

“Ma-maaf, Pak.” Anindya buru-buru mencoba meraih pegangan tangga untuk berdiri sendiri, tapi gerakannya goyah.

Arvendra tidak langsung melepaskan gadis itu. Tangannya bertahan satu detik lebih lama dari yang seharusnya, dan tentu saja membuat kulit Anindya merinding. Baru setelah itu dia melepasnya, seolah tidak terjadi apa-apa.

“Perhatikan langkahmu,” ucap Arvendra singkat, tapi nada suaranya membuat kata-kata itu terdengar lebih seperti perintah daripada nasihat.

Anindya hanya bisa mengangguk, wajahnya memanas karena malu sekaligus bingung. Dia menunduk, mengikuti pria itu dalam diam hingga mereka sampai di depan sebuah pintu besar dengan ukiran mewah.

Anindya berdiri kaku di dekat pintu, sementara Arvendra melangkah ke tengah ruangan setelah membuka pintu, lalu berbalik menghadapnya.

Manik matanya yang berwarna hazel menelusuri tubuh Anindya dari atas ke bawah. Kulit eksotis khas wanita Indonesia, rambut hitam pekat yang tebal dan bergelombang hingga hampir menyentuh punggung bawah, serta tubuh ramping yang tampak semakin mungil di hadapan sosok setinggi dirinya.

Tatapan itu sulit diartikan, apakah Arvendra sedang menilai, atau menikmati. Anindya merasa seolah dirinya sedang ditelanjangi tanpa sentuhan.

Arvendra menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, berdiri santai namun mengintimidasi.

“Saya tertarik dengan kamu,” ucap Arvendra ringan, seperti komentar sambil lalu. Namun, bagi Anindya, kata-kata itu terdengar terlalu dalam, terlalu sarat makna, membuatnya membelalakkan mata.

“M-maksudnya, Pak?” tanya Anindya. Dia mencoba menjaga sikap profesional, tapi nadanya penuh kegugupan.

Arvendra tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatap Anindya dari ujung kepala hingga kaki lagi, kali ini lebih lambat. 

Anindya menelan saliva keras-keras. Tenggorokannya terasa kering. Pikirannya mulai ke mana-mana, kacau oleh tatapan pria itu.

Semakin lama berdiri di bawah tatapan itu, semakin sulit bagi Anindya untuk bernapas normal. Ada sesuatu yang asing di balik sikap tenang Arvendra. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya terasa terlalu tajam, terlalu intens, membuat tubuh Anindya terasa seolah dipaku di tempat.

‘Nggak mungkin. Dia, ‘kan, bosku. Ayah muridku sendiri. Jangan bodoh, Anin,’ pikir Anindya, panik sendiri. 

“Saya tertarik dengan cara mengajar kamu. Suster dan pelayan sering melapor. Katanya, Elvio jadi lebih disiplin dan bersemangat belajar sejak kamu yang mengajar,” jelas Arvendra akhirnya.

Ah, rupanya itu maksudnya. Sejenak Anindya merutuki dirinya sendiri karena sudah berpikir terlalu jauh. Pipi hangatnya terasa memanas karena malu.

“Oh … terima kasih, Pak. Saya hanya berusaha melakukan yang terbaik.” Anindya mengangguk cepat, mencoba menguasai diri. Dia memaksakan senyum profesional, berharap pria itu tidak menyadari kecanggungan yang dia rasakan.

“Saya ingin tahu perkembangan anak saya,” ujar Arvendra dengan nada tenang namun berwibawa. Dia menunjuk kursi di seberang meja kayu jati yang luas, dipenuhi tumpukan blueprint dan miniatur bangunan. “Silakan duduk.”

Anindya segera menurut, duduk dengan punggung tegak. Tangannya bertaut di pangkuan, mencoba menutupi gugup yang jelas terasa dari detak jantungnya yang tak kunjung stabil.

“Bagaimana Elvio selama belajar? Saya ingin mendengar langsung dari kamu,” tanya Arvendra. Dia sudah duduk di sofa single, posturnya rileks namun sorot matanya tajam, membuat Anindya merasa seolah sedang diuji.

“Dia anak yang cerdas, Pak. Kadang sulit fokus, tapi cepat menangkap materi kalau dibimbing dengan sabar. Saya rasa, dia hanya butuh perhatian lebih,” jawab Anindya dengan suara pelan tapi berusaha tegas.

“Perhatian lebih, ya.” Gumaman Arvendra terdengar rendah, seolah lebih ditujukan pada dirinya sendiri. 

“Lanjutkan.” Satu kata singkat itu meluncur seperti instruksi, dan Anindya segera menambahkan penjelasan lain.

Namun, semakin lama Anindya bicara, semakin jelas perasaan aneh itu. Arvendra terlalu tenang, terlalu diam, seperti mendengar tapi tidak benar-benar menyimak. Seolah ucapannya hanya menjadi latar belakang bagi pikiran pria itu yang tengah berada di tempat lain.

‘Dia sebenarnya dengerin aku atau nggak, sih?’ batin Anindya resah.

__

Setelah kelas berakhir, Anindya langsung pulang ke kos tanpa singgah ke mana pun. Begitu masuk ke kamarnya dia meletakkan tas lalu membiarkan tubuhnya jatuh terlentang ke atas kasur.

Entah berapa lama, matanya terpejam begitu saja. Hingga tepat tengah malam, keributan dari luar mendadak membuyarkan tidurnya. 

“Penggusuran!” teriak seseorang dari lorong kos. Suara panik itu disusul derap langkah penghuni yang berhamburan keluar kamar.

Anindya sontak bangkit, jantungnya berpacu. Dia berlari ke depan pintu kamar, meski kepalanya masih pening karena kantuk. 

“Ada apa?” tanya Anindya terburu-buru pada Lestari, teman kosnya, yang wajahnya sudah pucat pasi.

“Lihat, Nin!” Lestari menunjuk ke arah jalanan dari jendela lorong. “Ada buldoser sama truk proyek. Mereka bawa aparat juga!”

Lutut Anindya mendadak lemas. Dia memang tahu kosan ini sudah lama terancam digusur. Namun, dia tidak pernah menyangka malam ini, tepat saat dia bahkan tak punya cukup uang untuk pindah, penggusuran itu benar-benar datang.

Expand
Next Chapter
Download

Latest chapter

More Chapters

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Ratings

10
100%(23)
9
0%(0)
8
0%(0)
7
0%(0)
6
0%(0)
5
0%(0)
4
0%(0)
3
0%(0)
2
0%(0)
1
0%(0)
10 / 10.0
23 ratings · 23 reviews
Write a review

reviewsMore

Septiannaa
Septiannaa
seru banget, semangat up nya thor
2025-12-04 16:12:18
0
0
Amy_Asya
Amy_Asya
seru banget, bikin nagih....
2025-12-04 09:59:55
0
0
anneliesta
anneliesta
menarik suka banget
2025-12-04 02:06:11
0
0
Henny Djayadi
Henny Djayadi
suka suka suka, seru banget
2025-12-03 19:57:28
0
0
Pencari Dollar
Pencari Dollar
seruu ka, ngk kalah sama Ra dan Mas Al.. akusuka akusuka..
2025-12-03 19:23:58
0
0
87 Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status