Anindya hanyalah seorang mahasiswa biasa yang bekerja paruh waktu sebagai guru les privat. Tugasnya sederhana, mengajar seorang bocah cerdas bernama Elvio. Namun, tak ada yang menyangka jika pada akhirnya dia justru jatuh dalam pelukan ayah muridnya.
View More“Kak Anin cantik banget. Aku nanti mau punya pacar kayak Kak Anin.”
Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut seorang bocah laki-laki berusia enam tahun bermata abu-abu pucat, Elvio Dirgantara Pradipta. Suaranya polos, tanpa malu-malu, membuat suasana sore itu terasa ringan dan hangat.
“Kamu bisa aja, El. Aku tahu ini alasan kamu biar nggak aku suruh nulis lagi, ‘kan?” balas perempuan muda itu sambil tersenyum kecil, mencoba menahan tawa.
Anindya Laranya Devi, terpaksa bekerja sebagai guru les privat selama setahun terakhir. Padahal, dia sedang menempuh semester akhir di universitas dan punya segudang tugas akhir. Semua ini tentu saja karena alasan ekonomi.
“Ih, sebel deh Kak Anin nuduh aku sembarangan!” Elvio langsung cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada. “Nanti aku aduin sama Papa aku, mau?”
“Aduin aja, aku nggak takut kok,” sahut Anindya santai. Dia memang tidak merasa perlu takut. Selama satu tahun mengajar di rumah ini, dia belum pernah sekalipun bertemu ayah Elvio. Setiap kali bertanya, jawaban para pelayan selalu mengarah ke hal yang sama, ‘Pak Arven sibuk, jarang pulang.’
Aneh memang. Yang Anindya tahu, Elvio diasuh sepenuhnya oleh dua orang pelayan dan seorang suster yang menjaganya. Menurut gosip yang dia dengar, orang tua bocah itu sudah bercerai sejak lama. Dan entah mengapa, Anindya juga belum pernah bertemu ibu Elvio sama sekali.
“Awas aja, nanti aku bilang Papa biar Kak Anin jadi Mama aku!” ancam Elvio dengan nada penuh keyakinan, seperti sedang membuat janji yang benar-benar serius.
“Iya, terserah El aja maunya gimana,” sahut Anindya sambil tertawa, menganggapnya hanya celoteh bocah yang terlalu banyak menonton drama televisi.
Elvio ikut terkekeh kecil, lalu kembali menunduk ke bukunya, menulis sambil bersenandung pelan. Anindya mengawasinya sambil merapikan kertas-kertas latihan di meja, memastikan hasil pekerjaan Elvio tidak berantakan.
Rumah besar itu terasa sunyi seperti biasa. Hanya terdengar suara pensil yang beradu dengan kertas. Suasana terasa damai, tenang, dan tak pernah berubah sejak hari pertama Anindya bekerja di sana.
Namun, ketenangan itu pecah ketika suara pintu utama terdengar terbuka, membuat Anindya refleks menoleh. Dua orang pelayan yang sedari tadi sibuk di dapur juga saling pandang, ekspresi mereka berubah tegang dalam sekejap.
“Tuan sudah pulang?” bisik salah satu dari mereka.
Anindya mengernyit, belum sempat bertanya siapa yang dimaksud, suara langkah kaki berat terdengar semakin mendekat. Teratur. Penuh wibawa. Setiap hentakan terdengar jelas di lantai marmer, seperti tanda bahwa seseorang yang berkuasa tengah memasuki rumah itu.
“Papa!” seru Elvio penuh semangat. Bocah itu langsung berlari meninggalkan meja belajar tanpa peduli buku-bukunya berserakan.
Anindya ikut berdiri. Selama ini dia hanya membayangkan sosok pria yang selama setahun terakhir membayarnya dengan angka yang cukup besar untuk ukuran guru les privat. Kini, dia akhirnya bisa melihat langsung siapa orang itu.
Lalu, pria itu muncul di ambang pintu. Bertubuh tinggi dengan bahu bidang, mengenakan setelan yang jelas terlihat mahal. Wajahnya terlalu menawan untuk hanya disebut tampan. Karisma yang dia pancarkan membuat siapa pun secara naluriah ingin menjaga jarak.
Namun, yang paling mencolok adalah manik mata hazelnya yang indah dan dingin, menatap lurus ke arah Anindya dengan sorot tajam yang membuat gadis itu tanpa sadar menahan napas.
“Papa, ini Kak Anin! Guru les aku,” seru Elvio polos sambil menggandeng tangan ayahnya. “Dia katanya mau jadi Mama aku!”
Anindya langsung tersentak. “Eh, El! Kak Anin cuma bercanda!” Tegurannya terdengar panik, wajahnya memanas karena malu dan bingung.
“Boleh, Papa? Kak Anin jadi Mama aku?” Elvio malah semakin bersemangat, menoleh pada ayahnya dengan wajah penuh harap.
Anindya ingin menutup wajahnya saat itu juga. ‘Ya Tuhan, apa-apaan sih ini!’ batinnya.
Sudut bibir pria itu sedikit terangkat. Sulit ditebak apakah itu senyuman atau hanya refleks. Tatapannya sama sekali tidak bergeser dari Anindya saat dia menjawab, “Boleh.”
Anindya membeku di tempat.
Boleh? Yang benar saja!
Apa dia barusan salah dengar? Tidak mungkin pria itu serius, bukan?
“P … Pak?” Anindya mencoba membuka suara, tapi yang keluar hanya gumaman tak jelas.
Arvendra Satwika Pradipta–seorang arsitek ternama di kota itu–akhirnya menatap putranya. “Elvio, selesaikan dulu tugasmu. Papa ingin bicara sebentar dengan Kak Anin.”
“Bicara apa, Pa?” Elvio memiringkan kepala, tampak penasaran.
“Tidak penting untuk anak kecil.” Arvendra berbicara datar, tapi sarat otoritas, membuat bocah itu langsung menurut meski wajahnya masih tampak kecewa.
Arvendra kembali menatap Anindya. “Bisa ikut saya ke ruang kerja? Ada yang ingin saya bicarakan.” Kalimat itu terdengar singkat, tapi jelas terasa seperti perintah, bukan permintaan.
Anindya menelan ludah dan buru-buru mengangguk. “I-iya, Pak.”
Tanpa banyak bicara, Anindya mengikuti langkah Arvendra yang sudah lebih dulu menuju tangga di tengah rumah itu.
Saat mereka mencapai belokan tangga, Anindya sedikit kehilangan keseimbangan. Runner carpet itu bergeser tipis ketika dia menginjaknya terlalu cepat. Dalam sepersekian detik, tubuhnya terhuyung ke depan.
“Ah!” seru Anindya kaget.
Dalam sekejap, tangan kokoh Arvendra meraih pinggangnya, menarik tubuh Anindya hingga menghantam dada bidang pria itu, benturan yang terlalu dekat untuk disebut kebetulan.
“Ceroboh sekali,” tegur Arvendra dengan suara rendah. Napas hangat pria itu menyapu kulit leher Anindya, membuatnya kaku seketika. Dia sadar betul betapa eratnya lengan itu melingkari pinggangnya, terlalu erat untuk sekadar menyelamatkan.
“Ma-maaf, Pak.” Anindya buru-buru mencoba meraih pegangan tangga untuk berdiri sendiri, tapi gerakannya goyah.
Arvendra tidak langsung melepaskan gadis itu. Tangannya bertahan satu detik lebih lama dari yang seharusnya, dan tentu saja membuat kulit Anindya merinding. Baru setelah itu dia melepasnya, seolah tidak terjadi apa-apa.
“Perhatikan langkahmu,” ucap Arvendra singkat, tapi nada suaranya membuat kata-kata itu terdengar lebih seperti perintah daripada nasihat.
Anindya hanya bisa mengangguk, wajahnya memanas karena malu sekaligus bingung. Dia menunduk, mengikuti pria itu dalam diam hingga mereka sampai di depan sebuah pintu besar dengan ukiran mewah.
Anindya berdiri kaku di dekat pintu, sementara Arvendra melangkah ke tengah ruangan setelah membuka pintu, lalu berbalik menghadapnya.
Manik matanya yang berwarna hazel menelusuri tubuh Anindya dari atas ke bawah. Kulit eksotis khas wanita Indonesia, rambut hitam pekat yang tebal dan bergelombang hingga hampir menyentuh punggung bawah, serta tubuh ramping yang tampak semakin mungil di hadapan sosok setinggi dirinya.
Tatapan itu sulit diartikan, apakah Arvendra sedang menilai, atau menikmati. Anindya merasa seolah dirinya sedang ditelanjangi tanpa sentuhan.
Arvendra menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, berdiri santai namun mengintimidasi.
“Saya tertarik dengan kamu,” ucap Arvendra ringan, seperti komentar sambil lalu. Namun, bagi Anindya, kata-kata itu terdengar terlalu dalam, terlalu sarat makna, membuatnya membelalakkan mata.
Tanpa pikir panjang, Anindya refleks merunduk dan menyelinap ke bawah meja.“Anin?!” Jeane dan Laura serempak bersuara kaget, hampir bersamaan.“Ngapain kamu, hah?” Laura memiringkan kepala, wajahnya penuh tanya. “Uh … ini … uangku jatuh,” jawab Anindya cepat. Suaranya terlalu tinggi dan terburu-buru, jelas sekali kebohongan yang dipaksakan.Laura mengerutkan alis. “Serius? Duit receh aja sampai gelagapan gitu?”Jeane justru menyeringai, matanya berbinar penuh gosip. “Kamu lagi ngumpet dari seseorang, kah?”“Ssst! Jangan berisik!” Anindya menoleh tajam dari bawah meja, wajahnya merah padam. “Aku cuma–uh, ya, lagi cari uang!”Laura mendesah tak percaya, sementara Jeane hampir tidak bisa menahan tawa dan sampai harus menutup mulutnya sendiri.Setelah merasa cukup aman, Anindya akhirnya kembali duduk. Rambut hitam tebalnya sempat tergerai hingga hampir menyentuh lantai ketika dia merunduk, kini buru-buru dirapikan dengan jemari gemetar. Napas panjang dia hela, berusaha menstabilkan deta
“Oh … motorku udah ada rupanya.” Anindya tertegun di teras, pandangannya jatuh pada motor butut yang kini terparkir rapi di sudut halaman. Helmnya tergantung manis di kaca spion. Degup di dadanya mendadak kembali menguat. Padahal tadi di meja makan saja, jantungnya belum reda setelah Arvendra melontarkan kalimat itu–kalimat sederhana, tapi entah bercanda atau sungguhan, tetap membuat gadis itu salah tingkah, dan memilih cepat-cepat pergi. Dan kini, motor ini … bukti lain kalau pria itu bisa bergerak cepat tanpa perlu banyak kata. Hangat? Ya, sedikit. Namun, sekaligus membuatnya merinding memikirkan bagaimana cepatnya pria itu bertindak. Sekilas Anindya sempat berpikir masuk kembali untuk mengucapkan terima kasih. Namun, bayangan jam kuliah yang sudah dekat segera menyadarkannya. Dosennya terkenal galak. Kalau sampai terlambat, bukan hanya diusir, nilainya pun bisa terancam. Anindya buru-buru naik ke jok motor, lalu menyampirkan paper bag ke gantungan depan. Isinya jas hitam Arvend
“Terima kasih, Pak, sudah mau menampung saya,” ucap Anindya pelan setelah duduk di kursi penumpang.Anindya tahu ini bukan pilihan ideal, tapi apalagi yang bisa dia lakukan? Kosannya sudah digusur, tidak ada tempat lain untuk dituju, dan lebih parahnya lagi, dia tidak punya uang. Lagi pula, setahunya pria ini jarang pulang ke rumah. Kalau benar begitu, mungkin dia akan lebih leluasa tinggal di sana tanpa terlalu merasa canggung.Eh, memangnya dia mau tinggal selamanya di sana? Tidak juga, bukan?“Oke.” Hanya satu kata singkat yang keluar dari bibir Arvendra. Tenang, datar, tanpa emosi.Namun entah kenapa, justru itu membuat keraguan semakin menggelayuti benak Anindya. Apakah pria ini benar-benar ikhlas menolong?“Saya janji, kalau sudah dapat tempat tinggal baru, saya akan segera pindah,” jelas Anindya buru-buru, seakan ingin menegaskan batas.“Tidak masalah.” Setelah berkata demikian, Arvendra menyalakan mesin Jeep. Dengung halus tapi bertenaga langsung memenuhi kabin yang tertutup r
“Ayo! Cepat berkemas semuanya! Jangan cuma bengong!” suara Ibu Kos tiba-tiba menggema keras dari ujung lorong. Napasnya memburu, keringat bercucuran meski malam sedang dingin. “Kalau kalian lambat, barang-barang bisa diangkut paksa! Cepat!”Seorang penghuni pria bersuara lantang. “Bu, katanya masih ada waktu sebulan lagi! Kok sekarang udah digusur?” protesnya.“Mana aku tahu! Aku juga baru dapat surat sore tadi. Katanya tanah ini sudah harus kosong mulai minggu ini. Mereka nggak mau dengar alasan lagi!” balas Ibu Kos ketus.Anindya membeku di depan pintu, jantungnya berdegup tak karuan. Dia melirik tas ransel di pojok kamar, tumpukan buku kuliah, dan koper lusuh peninggalan mendiang ibunya. Semuanya terasa terlalu banyak untuk dibawa sekaligus, tapi dia tidak punya pilihan.“Anin! Kamu masih bengong? Cepat masukin barangmu, nanti keburu aparat masuk!” Lestari mengguncang lengan gadis itu dengan panik.Dengan pasrah, Anindya mulai berkemas. Jemarinya gemetar saat meraih koper, memasukk
“M-maksudnya, Pak?” tanya Anindya. Dia mencoba menjaga sikap profesional, tapi nadanya penuh kegugupan.Arvendra tidak langsung menjawab. Dia hanya berdiri di sana, menatap Anindya dari ujung kepala hingga kaki lagi, kali ini lebih lambat. Anindya menelan saliva keras-keras. Tenggorokannya terasa kering. Pikirannya mulai ke mana-mana, kacau oleh tatapan pria itu.Apa maksudnya tertarik? Apakah pria ini menilai dirinya sebagai guru yang kompeten atau sebagai wanita?Semakin lama berdiri di bawah tatapan itu, semakin sulit bagi Anindya untuk bernapas normal. Ada sesuatu yang asing di balik sikap tenang Arvendra. Dia tidak mengatakan apa-apa, tapi tatapannya terasa terlalu tajam, terlalu intens, membuat tubuh Anindya terasa seolah dipaku di tempat.‘Nggak mungkin. Dia, ‘kan, bosku. Ayah muridku sendiri. Jangan bodoh, Anin,’ pikir Anindya, panik sendiri. “Saya tertarik dengan cara mengajar kamu. Suster dan pelayan sering melapor. Katanya, Elvio jadi lebih disiplin dan bersemangat belaja
“Kak Anin cantik banget. Aku nanti mau punya pacar kayak Kak Anin.”Ucapan itu keluar begitu saja dari mulut seorang bocah laki-laki berusia enam tahun bermata abu-abu pucat, Elvio Dirgantara Pradipta. Suaranya polos, tanpa malu-malu, membuat suasana sore itu terasa ringan dan hangat.“Kamu bisa aja, El. Aku tahu ini alasan kamu biar nggak aku suruh nulis lagi, ‘kan?” balas perempuan muda itu sambil tersenyum kecil, mencoba menahan tawa.Anindya Laranya Devi, terpaksa bekerja sebagai guru les privat selama setahun terakhir. Padahal, dia sedang menempuh semester akhir di universitas dan punya segudang tugas akhir. Semua ini tentu saja karena alasan ekonomi. “Ih, sebel deh Kak Anin nuduh aku sembarangan!” Elvio langsung cemberut sambil melipat kedua tangannya di dada. “Nanti aku aduin sama Papa aku, mau?”“Aduin aja, aku nggak takut kok,” sahut Anindya santai. Dia memang tidak merasa perlu takut. Selama satu tahun mengajar di rumah ini, dia belum pernah sekalipun bertemu ayah Elvio. Se
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments