Malam itu, Aira bermimpi sesuatu yang terlalu nyata untuk disebut mimpi. Ia berdiri di sebuah kamar kecil tanpa jendela, dindingnya dari kabut, lantainya dari pantulan air. Di tengah ruangan, ada meja kayu tua, dan di atasnya tergeletak setumpuk surat tanpa nama.Satu di antaranya tampak lebih baru, seperti baru saja ditulis.Ia mengambilnya perlahan. Kertas itu masih hangat, dan aroma tinta hitamnya begitu akrab."Untukmu, Aira, yang masih percaya bahwa mimpi adalah cara Tuhan berbicara lewat sunyi."Ia membaca kalimat itu berulang-ulang. Setiap huruf seperti menetes ke dalam hatinya, membentuk aliran kecil yang mengantarkan ingatan.Suara di dalam kepalanya mulai berbisik — lembut, tapi tak salah lagi, itu suara Rendra.“Aira… jika dunia di luar menolak mengingatku, maka izinkan aku hidup di dalam mimpimu.”Aira menatap sekeliling. Ruangan itu mulai berubah. Kabut dinding perlahan membuka diri menjadi hutan cahaya. Pohon-pohon tumbuh dari air, berdaun c
Last Updated : 2025-11-11 Read more