Pagi itu tidak datang dengan cahaya, melainkan dengan detak—detak kecil yang seolah berjalan dari jauh, menembus kabut, mencari arah pulang.Aira membuka mata bukan karena ia terbangun,tetapi karena dunia seakan memanggilnya pelan,seakan berkata:“Sudah saatnya kau bangun, meski kau belum pulih.”Ia menoleh, dan di sana — ada aku.Duduk di sisi tempat peristirahatan itu, dengan jemari yang masih menggenggam jemarimu,seolah takut kau hilang ke celah di antara dua dunia yang semakin rapuh.“Bagaimana tubuhmu?” tanyaku lirih.Aira tersenyum letih, tapi matanya…mata itu seperti menampung fajar yang pecah menjadi ribuan serpihan lembut.“Aku masih sakit,” jawabnya jujur,“tapi… pelukanmu memperbaiki sesuatu yang tak bisa dijelaskan.”Aku memandangnya lama—tidak untuk mencari jawaban,tapi untuk memastikan dunia yang retak itu tidak kembali memisahkan kami.Pagi mulai menipis di balik horizon,seolah belajar men
Last Updated : 2025-12-14 Read more