Beberapa hari setelah makan malam di rumah Lidya, perang dingin di antara aku dan Bram terus berlanjut. Kami bergerak seperti dua orang asing yang terpaksa berbagi atap, bertukar kalimat-kalimat fungsional seperlunya: "Sarapan sudah siap," "Aku pulang malam," "Tolong ambilkan garam." Setiap kata terasa hambar, setiap interaksi adalah pengingat akan jurang yang kini memisahkan kami.Aku menghabiskan hari-hariku dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaan, menuangkan semua amarah dan kekecewaanku ke dalam sketsa-sketsa bangunan. Namun, di malam hari, saat keheningan menyergap, aku akan berbaring terjaga, memikirkan langkahku selanjutnya. Aku punya nama, aku punya motif, tapi aku butuh bukti yang tak terbantahkan. Bukti visual. Sesuatu yang bisa kubentangkan di hadapan mereka, meruntuhkan semua kebohongan mereka hingga tak bersisa.Kesempatan itu datang pada hari Rabu sore."Aku ada rapat mendadak di luar kantor, Rin," kata Bram pagi itu saat kami sarapan. Ia tidak menatapku, matanya sibu
Última atualização : 2025-10-11 Ler mais