LOGINLima tahun lalu, aku pikir menikahi Bramantyo Haryadi adalah akhir dari dongengku. Aku, Arini Widjaja, seorang arsitek dari keluarga biasa, berhasil memenangkan hati putra mahkota Haryadi Group. Kubangun rumah tangga kami di atas fondasi cinta yang kupikir kokoh, mengabaikan tatapan dingin ibu mertuaku, Lidya, yang tak pernah menganggapku pantas. Selama lima tahun, aku bertahan dalam istana megah yang terasa seperti sangkar emas. Namun, surga kecil yang kubangun mulai runtuh. Bram semakin dingin, pelukannya tak lagi hangat, dan puncaknya, di malam ulang tahun pernikahan kami, aku menemukan bukti pengkhianatannya. Bram tidak hanya mengkhianatiku, tetapi wanita itu adalah Renata Sastranegara, pilihan sempurna yang selalu disiapkan ibunya. Perselingkuhan ini bukan sekadar nafsu sesaat; ini adalah konspirasi terencana untuk menyingkirkanku. Mereka pikir aku akan hancur dan menyerah. Mereka salah. Jika pernikahan ini adalah medan perang, aku tidak akan pergi sebelum memastikan benteng yang coba mereka rebut dariku, hancur lebur bersama mereka.
View MoreLima lilin kecil menari di atas kue beludru merah. Api mereka memantulkan kilau lelah di mata suamiku, Bramantyo Haryadi. Di restoran paling mewah di puncak gedung tertinggi Jakarta ini, seharusnya kami merayakan surga. Lima tahun pernikahan yang kubangun dengan air mata dan kesabaran, berharap semua itu cukup untuk membeli kebahagiaan abadi.
"Selamat ulang tahun pernikahan, Mas," bisikku, menyunggingkan senyum yang terasa seperti topeng porselen, indah namun rapuh. Bram tersenyum balik, tapi senyum itu tidak mencapai matanya. Matanya lebih sering melirik layar ponsel yang berbaring telungkup di samping piringnya daripada menatapku. "Selamat ulang tahun juga, Arini. Maaf, beberapa hari ini pekerjaan sedang kacau." Alasan yang sama. Jawaban generik yang menjadi lagu pengantar tidurku selama enam bulan terakhir. Dulu, matanya tak pernah lepas dariku, seolah aku adalah pusat semestanya. Kini, aku hanyalah satelit yang berputar di orbit jauh, nyaris tak terlihat. "Aku punya sesuatu untukmu," kataku, mencoba menarik kembali atensinya. Kusodorkan sebuah kotak beludru biru tua. Di dalamnya, sebuah jam tangan klasik dengan ukiran tanggal pernikahan kami di bagian belakang. Hadiah yang kupilih dengan sepenuh hati, menyisihkan sebagian penghasilanku sebagai arsitek. Bram membukanya. "Bagus," komentarnya singkat, lalu meletakkannya kembali di meja. "Terima kasih, Sayang." Tidak ada binar kekaguman. Tidak ada kecupan hangat di kening. Hanya formalitas dingin yang membuat ruangan berpendingin ini terasa seperti kutub. "Aku juga punya hadiah untukmu," katanya, memberi isyarat pada pelayan. Sebuah kotak pipih panjang dari merek perhiasan ternama diletakkan di hadapanku. Jantungku berdebar sesaat. Mungkin aku salah. Mungkin di balik sikap dinginnya, ia masih Bram-ku yang dulu. Kubuka kotak itu. Seuntai kalung berlian berkilauan di dalamnya. Indah, mahal, dan… asing. Modelnya bukan seleraku. Terlalu gemerlap, terlalu mencolok. Rasanya seperti hadiah yang dipilih oleh asistennya, dibeli karena kewajiban, bukan karena cinta. "Kamu suka?" tanyanya, lebih seperti sebuah konfirmasi daripada pertanyaan. Aku memaksakan senyum. "Sangat indah, Mas. Terima kasih." Aku memakainya, merasakan dinginnya logam menyentuh kulitku, sedingin suasana di antara kami. Makan malam berlanjut dalam keheningan yang canggung. Aku bercerita tentang proyek baru yang kutangani, tentang klien yang menyulitkan, tentang mimpi-mimpiku merancang sebuah galeri seni. Bram hanya menanggapinya dengan gumaman, jemarinya sesekali mengetuk-ngetuk layar ponselnya di bawah meja. Aku tahu ada yang salah. Naluri seorang istri tidak pernah berbohong. Rumah tangga kami yang tampak sempurna dari luar ini—seorang CEO tampan dan seorang arsitek sukses—hanyalah fasad. Di baliknya, fondasinya telah retak, digerogoti oleh rahasia yang tidak kuketahui. "Mas, apa ada masalah?" tanyaku akhirnya, tak tahan lagi dengan dinding es di antara kami. Bram mengangkat wajah, tampak sedikit terkejut. "Masalah apa? Nggak ada apa-apa, Rin. Aku cuma capek." "Bukan capek karena pekerjaan," desisku pelan, memastikan hanya kami yang mendengar. "Ini berbeda. Kamu… jauh. Kamu di sini, tapi pikiranmu di tempat lain. Apa aku melakukan kesalahan?" Keraguan diri itu selalu menjadi hantuku. Sejak awal, ibunya, Lidya Haryadi, sudah menegaskan bahwa aku adalah sebuah kesalahan. Wanita dari keluarga biasa yang tak pantas menyandang nama Haryadi. Selama lima tahun, aku berusaha menjadi menantu sempurna, istri sempurna, berharap bisa memenangkan hatinya. Usaha yang sia-sia. "Jangan mulai, Arini," kata Bram tajam, nadanya berubah defensif. "Ini malam perayaan kita. Jangan dirusak dengan pikiran negatifmu." Pikiran negatifku? Jadi, ini salahku? Belati tak kasat mata itu menusuk tepat di ulu hatiku. Aku menunduk, menatap pantulan diriku di sendok perak. Wanita dengan mata lelah dan senyum yang dipaksakan. Sisa makan malam itu terasa seperti penyiksaan. Aku hanya ingin pulang, meringkuk di tempat tidur, dan berharap saat aku bangun esok hari, semua ini hanyalah mimpi buruk. *** Perjalanan pulang terasa lebih hening dari pemakaman. Bram fokus menyetir, rahangnya mengeras. Aku memalingkan wajah ke jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang berkelip seperti harapan yang satu per satu padam. Rumah megah kami di kawasan elite menyambut dengan keheningan yang sama. Istana ini tak pernah terasa seperti rumah. Hanya bangunan besar, dingin, dan kosong, persis seperti pernikahan kami sekarang. "Aku mandi dulu," kata Bram, langsung melonggarkan dasi dan berjalan menuju kamar mandi utama. Aku mengangguk tanpa suara. Kulepaskan kalung berlian yang terasa mencekik leherku dan meletakkannya di meja rias. Pandanganku jatuh pada jas mahal yang Bram sampirkan di kursi. Tugas rutin seorang istri: menyiapkan pakaian kotor untuk dibawa ke penatu besok. Tanganku bergerak mekanis, memeriksa saku-sakunya untuk mengeluarkan isinya. Dompet, kunci mobil, ponsel kantor. Semua seperti biasa. Lalu, di saku bagian dalam, jemariku merasakan sebuah benda kecil, keras, dan dingin. Bukan kancing cadangan. Dengan jantung yang mulai berpacu, aku menariknya keluar. Di bawah cahaya temaram lampu kamar, benda itu berkilau. Sebuah kancing manset. Terbuat dari perak murni, dengan desain modern yang belum pernah kulihat sebelumnya. Bukan model yang biasa Bram pakai. Dan yang membuat napasku tercekat, di permukaannya terukir sebuah huruf tunggal yang elegan. *R*. Bukan ‘A’ untuk Arini. Bukan ‘B’ untuk Bramantyo. *R*. Darahku seolah berhenti mengalir. Udara di paru-paruku terasa habis. Aku memutar-mutar benda kecil itu di antara jari-jariku yang gemetar. Dinginnya logam itu menjalar ke seluruh tubuhku, membekukan hatiku. Ini bukan milik Bram. Aku yang selalu memilihkan aksesorisnya. Aku tahu setiap pasang kancing manset yang ia miliki. Dan tidak ada satupun yang seperti ini. Lalu, mataku menangkap sesuatu yang lain. Sesuatu yang nyaris tak terlihat, melilit di dasar ukiran huruf itu. Sehelai rambut. Panjang, hitam legam, dan berkilau. Jelas bukan rambutku yang berwarna cokelat gelap sebahu. Suara gemericik air dari kamar mandi tiba-tiba berhenti. Pintu akan segera terbuka. Bram akan segera keluar. Panik, aku menggenggam erat kancing manset itu di telapak tanganku. Logamnya yang tajam menusuk kulitku, rasa sakit fisik yang tak seberapa dibanding rasa sakit yang merobek jiwaku. Dengan cepat, aku memasukkan kembali dompet dan kunci ke dalam saku jas, lalu melemparkan jas itu ke keranjang pakaian. Aku duduk di tepi tempat tidur, membelakangi pintu kamar mandi. Tanganku yang terkepal kusimpan di pangkuan, menyembunyikan bukti pengkhianatan yang baru saja kutemukan. Pintu berderit terbuka. Aroma sabun maskulin yang familier menguar di udara, aroma yang dulu selalu memberiku rasa aman. Malam ini, aroma itu membuatku mual. "Kok belum ganti baju?" suara Bram terdengar dari belakangku. Aku tidak bisa menjawab. Tenggorokanku tercekat. Jika aku membuka mulut, yang akan keluar mungkin bukan kata-kata, melainkan isak tangis yang tak akan bisa kuhentikan. Langkah kakinya mendekat. Kasur di belakangku sedikit menurun saat ia duduk di sampingku. Tangannya yang hangat menyentuh bahuku. Sentuhan yang dulu kurindukan, kini terasa membakar. "Kamu marah soal tadi?" tanyanya lembut. Sebuah upaya rekonsiliasi yang terlambat dan sia-sia. Aku menggeleng pelan, masih tak berani menatapnya. Aku takut ia akan melihat kehancuran di mataku. Aku takut aku akan melihat kebohongan di matanya. "Arini, lihat aku." Perlahan, aku memutar kepalaku. Kulihat wajahnya, wajah yang telah kuhafal setiap lekuknya. Wajah yang kucintai lebih dari apa pun. Tapi malam ini, wajah itu terlihat seperti milik orang asing. "Ada apa?" tanyanya lagi, keningnya berkerut cemas. Di dalam genggamanku, kancing manset itu terasa semakin tajam. Inisial ‘R’ itu seolah membara, mencap sebuah nama tak dikenal di dalam benakku. Rumah yang kubangun dengan cinta selama lima tahun, ternyata memiliki pintu rahasia. Dan malam ini, aku baru saja menemukan kuncinya. Kunci menuju neraka yang tak pernah kubayangkan ada. Aku menatap matanya dalam-dalam, mencari setitik kejujuran, setitik penyesalan. Tapi yang kutemukan hanyalah kekosongan. "Mas," suaraku akhirnya keluar, serak dan bergetar. "Siapa 'R'?"Keheningan yang mengikuti pengakuan Pak Herman terasa begitu pekat, seolah seluruh udara di ruangan kecil itu tersedot habis. Palsu. Kata itu menggema di benakku, membuka kotak pandora baru yang jauh lebih gelap dari sekadar perselingkuhan."Palsu?" ulang Dian, suaranya tajam sebagai seorang pengacara. "Seberapa yakin Anda, Pak?"Pak Herman tertawa getir, tawa yang terdengar seperti debu kering. "Seberapa yakin? Nyonya Dian, saya yang mendampingi almarhum Pak Haryadi ke notaris kepercayaannya di Bandung, enam bulan sebelum beliau wafat. Jauh sebelum beliau sakit-sakitan."Ia berdiri dan berjalan ke sebuah lemari kayu tua, membukanya dengan kunci kecil. "Pak Haryadi adalah pria yang baik, tapi beliau tidak naif. Beliau tahu persis seperti apa watak istrinya. Beliau tahu obsesi Nyonya Lidya pada kekuasaan dan status."Dari dalam lemari, ia mengeluarkan sebuah map cokelat tipis yang sudah menguning."Wasiat yang asli," lanjutnya, meletakkan map itu di meja, "sangat adil. Beliau membagi s
Ancaman Renata di kafe itu gagal membuatku takut. Sebaliknya, itu justru menyalakan api. Ia dan Lidya telah salah besar jika mengira aku akan mundur hanya karena gertakan sosialita.Aku kembali ke apartemen Dian, hatiku berdebar bukan karena cemas, tapi karena sebuah ide gila yang baru saja terbentuk."Di, kita punya bukti penggelapan griya tawang," kataku begitu pintu tertutup. "Tapi itu kejahatan Lidya terhadapku. Kita butuh sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang menghancurkan fondasinya di Haryadi Group.""Maksudmu?" Dian mengangkat alis, meletakkan tas kerjanya."Setiap tiran pasti punya musuh, Di. Setiap ratu yang merebut takhta pasti pernah menginjak seseorang dalam perjalanannya ke atas," jelasku, pikiranku bekerja cepat. "Lidya mengambil alih kendali perusahaan dua tahun lalu, tepat setelah Om Haryadi meninggal. Aku yakin ada orang dalam yang dia singkirkan."Dian terdiam sejenak, lalu matanya berbinar. "Kamu benar. Seorang sekretaris lama? Direktur keuangan? Seseorang yang te
"Griya tawang atas nama Lidya," Dian mengulanginya, suaranya dipenuhi amarah yang tertahan. "Ini bukan lagi gugatan cerai biasa, Rin. Ini sudah masuk ranah pidana. Penggelapan aset dalam pernikahan. Kita bisa menghancurkan mereka."Kami duduk di meja makan apartemen Dian yang kini beralih fungsi menjadi ruang perang. Bukti transaksi rekening bank Swiss yang berhasil kami tarik laporannya—menunjukkan aliran dana besar dari rekening bersama kami ke rekening pengembang properti—tercetak jelas di atas kertas. Hitam di atas putih."Mereka meremehkanku, Di," kataku pelan, jariku menelusuri angka-angka di kertas itu. "Mereka pikir aku istri bodoh yang hanya peduli pada tas dan gaun. Mereka tidak sadar aku mencatat semuanya.""Inilah kartu as kita," kata Dian. "Sekarang, kita harus bergerak diam-diam. Jangan sampai mereka tahu kita tahu soal ini, sampai..."Teleponku berdering, memotong kalimat Dian. Nomor tidak dikenal."Siapa?" tanya Dian."Aku tidak tahu," jawabku, ragu-ragu. Tapi intuisik
Tidak ada lagi air mata. Pagi setelah pengusiran Bram, udara di apartemen Dian terasa berbeda. Bukan lagi seperti tempat perlindungan bagi yang terluka, melainkan sebuah markas komando. Di atas meja makan, cangkir-cangkir teh telah digantikan oleh laptop yang menyala, tumpukan dokumen, dan dua ekspresi wajah yang sama-sama serius."Oke," Dian memulai, mengetuk-ngetukkan pena di buku catatannya. "Kita sudah melewati drama emosionalnya. Sekarang kita masuk ke medan perang yang sesungguhnya: hukum dan uang."Aku mengangguk, pikiranku terasa jernih untuk pertama kalinya dalam beberapa hari. "Apa langkah pertama?""Kita susun daftar lengkap 'harta gono-gini'," kata Dian. "Semua aset yang diperoleh selama masa pernikahan kalian. Rumah, mobil, investasi, saham, tabungan. Kita perlu data, Rin. Sebanyak mungkin, sedetail mungkin."Ini adalah duniaku. Dunia detail dan data. Aku membuka laptopku. Selama lima tahun, aku memang tidak terlalu ikut campur dalam urusan finansial Bram yang rumit, tapi
Setelah kepergian Lidya, adrenalin yang tadi memompaku surut, meninggalkan kelelahan yang luar biasa. Aku menjatuhkan diri di sofa, sementara Dian membuatkan kami teh hangat."Dia tidak akan berhenti sampai di situ," kata Dian, meletakkan cangkir di hadapanku. "Dia akan menggunakan cara lain. Kemungkinan besar, pion berikutnya adalah Bram.""Aku tahu," desahku, memegang cangkir teh yang hangat dengan kedua tangan. "Bram akan datang dengan cerita sedihnya, memohon dan berjanji akan berubah. Aku sudah hafal naskahnya.""Dan kamu?" tanya Dian, menatapku lekat. "Apa kamu siap menghadapinya?"Aku terdiam sejenak. Menghadapi Lidya, dengan kebenciannya yang murni, terasa lebih mudah. Menghadapi Bram, dengan sisa-sisa kenangan dan cinta yang pernah ada, adalah pertarungan yang jauh lebih berat. Tapi aku harus melakukannya.Benar saja, sore harinya, interkom berbunyi lagi. Kali ini, resepsionis mengumumkan kedatangan Bramantyo Haryadi."Jangan biarkan dia naik," kata Dian cepat."Tidak apa-apa
Pagi pertama di luar sangkar emasku terasa aneh. Aku terbangun bukan karena alarm senyap di sisi ranjang Bram, melainkan oleh deru samar lalu lintas Jakarta dan seberkas sinar matahari yang menyelinap masuk melalui jendela apartemen Dian. Untuk sesaat, aku bingung, sebelum akhirnya ingatan akan kejadian malam tadi menghantamku.Aku tidak hancur. Anehnya, aku merasa... ringan. Seolah beban seberat lima tahun pernikahan yang penuh kepura-puraan telah terangkat dari pundakku.Di dapur, Dian sudah menungguku dengan dua cangkir kopi panas. Ia tidak membombardirku dengan pertanyaan. Ia hanya menatapku dengan sorot mata yang berkata, *'Aku di sini.'*"Aku sudah siapkan draf surat gugatan cerai," katanya sambil meletakkan secangkir kopi di depanku. "Hanya draf. Tidak akan kita ajukan sampai kamu benar-benar siap. Tapi setidaknya, kita punya amunisi."Aku mengangguk, rasa terima kasih yang hangat menyebar di dadaku. "Terima kasih, Di.""Satu hal yang perlu kamu tahu, Rin," lanjutnya, nadanya b


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments