Share

Sendiri di Negara Asing

“Apa kau sendirian?”

Raelina mendongak memandang dengan mata berkaca-kaca seorang gadis berwajah asing, tetapi menggunakan bahasa negara Raelina dengan lancar.

Itu adalah pertama kali Raelina bertemu dengan Stella, gadis asing berdarah blasteran. Dia mengulurkan tangannya dengan ramah pada Raelina.

“Namaku Stella. Aku datang menjemput ibuku yang baru pulang dari negara asalnya dan kebetulan melihatmu sendirian selama satu jam di sini.” Dia menatap gadis muda yang seumuran dengannya dengan tatapan simpati. Dia sudah menunggu ibunya selama satu jam di bandara dan melihat gadis berwajah Asia seperti ibunya berdiri sendirian di luar bandara larut malam sambil menangis. Kemungkinan memikirkan gadis itu ditipu dan tinggalkan di bandara.

Dia memiliki setengah darah ibunya dan merasa bersimpati dengan orang yang berasal dari negara ibunya.

 “Kau mengingatku pada ibuku. Jika kau tidak keberatan, maukah kau pergi denganku?”

Raelina sesenggukan melihat tangan mungil dan lembut yang terulur di depannya. Dia tidak memiliki kepercayaan pada orang yang baru dikenalnya. Tetapi dia merasa putus asa, lapar dan kedinginan untuk memedulikan keselamatan hidupnya dan menerima ajakan gadis asing yang baru dikenalnya.

Keputusannya untuk mengikuti Stella tidak pernah salah. Keluarganya menerimanya dengan tangan terbuka dan membiarkannya tinggal selama beberapa tahun, bahkan membantunya dalam studinya dengan menggunakan uang yang diberikan keluarga mantan suaminya.

Hari-hari di negara asing bisa dilalui dengan lancar berkat bantuan Stella. Jika Raelina tidak pernah bertemu dengannya, dia tidak apa yang terjadi padanya di negara asing itu.

“Omong-omong kapan kau akan mulai bekerja di rumah sakit?”

Pertanyaan Stella mengalihkan Raelina dari kenangan masa lalunya. Dia melirik Stella yang sudah berbaring dengan malas di sofa dan menonton TV di ruang tamu.

“Kurasa mulai Senin depan,” gumam Raelina melirik kalender di samping TV dan terpaku sejenak ketika melihat tanggal 15, yang merupakan esok hari.

“Ada apa?” Stella meliriknya ketika melihatnya terdiam.

“Ah, aku lupa harus pergi ke suatu tempat,” ujar Raelina berdiri dari sofa.

“Ke mana?” tanya Stella kembali memandang TV.

“Ke pemakaman. Besok adalah peringatan kematian ayahku. Aku kembali ke kamarku untuk bersiap-siap.”

Stella sekejap menatapnya dan bangun dari kegiatan berbaringnya. “Mau kutemani ....” tawarnya.

“Tidak perlu. Kau baru saja selesai melakukan operasi tiga kali. Gunakan waktumu untuk beristirahat di rumah,” ujar Raelina meregangkan tubuhnya.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Stella agak khawatir.

“Jangan cemas. Aku ingin mengunjungi ayahku setelah sekian lama tidak mengunjunginya.”

“Ok, telepon aku jika terjadi sesuatu padamu.”

Raelina hanya tersenyum dan mengangguk menanggapi Stella. Stella dari luar judes tetapi sebenarnya hatinya baik dan selalu mengkhawatirkan orang lain.

***

Pagi-pagi sekali Raelina sudah datang ke stasiun kereta dan membeli tiket ke kampung halamannya untuk mengunjungi makam karena ayahnya dimakamkan di kampung. Dia pergi dengan menggunakan kereta bawah tanah agar tiba lebih awal dan bisa pulang sebelum pada pukul 8 malam karena dia tidak berencana untuk menginap di kampung halamannya.

Setelah naik kereta dua jam dan kemudian naik bus selama empat. Begitu tiba di kampung Raelina tidak langsung singgah ke rumah lamanya karena rumahnya sudah lama dijual untuk melunasi utang ayahnya.

Raelina berjalan kaki dengan membawa bunga di tangannya melewati pemukiman penduduk yang padat. Kehadiran Raelina menarik perhatian beberapa warga terutama laki-laki yang bersiul menggoda, tetapi Raelina tidak menghiraukan mereka dan terus berjalan lurus. Tinggal sebentar lagi dia tiba di pemakaman ketika seorang ibu dan anak mengenalinya, dan menghentikan langkahnya.

“Bukankah kamu adalah Lina, anaknya Pak Dody?”

Raelina menoleh dan mengenali orang yang menghentikannya adalah kerabatnya, Bu Marti beserta sepupunya, Anita.

“Bibi Marti, lama tidak bertemu.” Dia menyapa dengan sopan dan mengangguk pada Anita, yang merupakan sepupunya sekaligus teman sekelasnya sewaktu SMA.

“Ya, ampun! Kamu benar-benar Raelina, bibi hampir tidak mengenalimu.”

 Bibi Marti menutup mulutnya terkejut memandang Raelina dari atas ke bawah dan berdecak kagum.

Begitu pun dengan Anita. Dia menatap dengan iri dan cemburu pakaian mahal yang dipakai Raelina. Kulit dan wajahnya bahkan putih mulus menandakan dia orang melakukan perawatan kulit.

Siapa yang menduga gadis udik yang dulunya berkulit kusam bisa terlihat begitu modis dan mengenakan pakaian-pakaian bermerek setelah beberapa tahun tidak bertemu.

“Sudah bertahun-tahun tidak ketemu, kamu makin cantik saja, sudah sukses ya? Apa pekerjaanmu?” tanya Bibi Marti dengan rasa ingin tahu tinggi.

Sama sekali tidak mempercayai perubahan drastis yang dialami Raelina. Gadis miskin yang dulunya jual susu kedelai keliling bisa begitu sukses hanya dalam kurun waktu lima tahun.

Sebelum Raelina bisa menjawab, Anita yang menjawab pertanyaan ibunya.

“Mungkin pekerjaan kotor yang bisa menghasilkan banyak uang. Ibu tahu ‘kan ada banyak wanita-wanita di kota menjual tubuh mereka biar dapat banyak uang banyak.” Anita berkata pada ibunya dengan suara pelan, namun Raelina masih mendengarnya dengan jelas.

Dia menatap Anita dengan dingin. Dulu sewaktu masih sekolah, Anita adalah orang yang sering membully-nya dan menyebutnya penjual susu ke mana-mana.

Bibi Marti menyikut anaknya karena ucapannya terdengar kasar, namun tatapan matanya kala menatap Raelina sama dengan anaknya. Tatapan menuduh bahwa dia menjual tubuhnya untuk menjadi sukses.

Raelina hanya tersenyum tipis dan menjawab dengan datar.

“Tidak, aku bekerja sebagai dokter magang di rumah sakit.”

“Oh, seorang dokter? Lulusan dari universitas mana?” tanggap Anita tidak mempercayainya.

Seorang gadis yang bahkan tidak bisa melunasi utang-utang ayahnya yang menumpuk bagaimana bisa punya uang untuk kuliah di jurusan kedokteran yang biayanya selangit.

Pada awalnya ketika Raelina meninggalkan kampung, orang-orang kampung tidak mengetahui ke mana dia pergi dan hanya mengetahui seorang kenalan ayahnya membawanya untuk menjaganya.

“Lulusan salah satu universitas di London.” Setelah mengatakan itu Raelina berbalik meninggalkan sepasang ibu dan anak itu. Tidak repot-repot menyebut nama universitasnya pada sepasang bibi dan sepupunya itu.

Toh mereka akan tetap tidak mempercayainya jika dia memberitahu mereka. Dia ragu mereka tahu nama universitasnya jika dia menyebut nama universitasnya.

“Lihat gayanya yang sombong itu.” Anita mencibir menatap punggung Raelina. “Apa ibu mempercayai kata-katanya?”

“Tentu saja tidak. Bagaimana seorang anak petani miskin bisa Kuliah apalagi kuliah di luar negeri. Dia pasti mengada-ada untuk pamer,” ujar Bibi Marti pada anaknya.

“Liat baju-bajunya yang bermerek itu, bagaimana dia bisa mendapat uang untuk membeli baju-baju mahal itu?”

“Siapa tahu dia menjual tubuhnya seperti katamu.”

Kedua ibu dan anak itu terus menggunjing Raelina di belakang punggungnya tanpa peduli apakah dia mendengarnya atau tidak.

Raelina menarik napas dan lalu mengembuskannya perlahan.

“Jangan hiraukan.” Dia bergumam pada dirinya sendiri dan terus berjalan. Dia masih bisa mendengar percakapan ibu dan anak itu di belakangnya.

Mereka orang suka iri dengan kesuksesan orang lain dan menggunjing hanya dengan melihat bagian luar yang terlihat tanpa tahu kesulitan yang dialami untuk mencapai kesuksesan tersebut.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Putri
iri hati sama dengan kesombongan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status