Share

Intinya (1)

Will meminta Boo ke taman belakang yang begitu jauh dari kamarnya. Ditemani Pelayan Song yang sejak tadi tersenyum ramah padanya. Namun, gadis itu sama sekali tak menyambutnya hangat. Bahkan sejak tadi dirinya hanya tertarik pada sekumpulan bunga-bunga yang bercahaya di sekitarnya.

"Kau suka flowerblast?" tanya Pelayan Song sambil menunjuk objek yang diamatinya sejak tadi.

Salah satu flowerblast melayang di sisinya begitu pria itu menjentikkan jarinya.

Kini ia dapat melihat lebih jelas bahwa bunga menyala itu memiliki mata yang indah dan mulut yang — tunggu dulu. Mulut? Bunga ini memiliki mulut kecil. Ah, gila!

"Selamat datang, wanitanya Will, aku roseblast," sapa bunga mawar merah itu sambil menempelkan kelopaknya di pipi Boo. Oh, apakah ini cara mereka berkomunikasi?

"A—ap, ah, maksudku aku Boo. Bisakah jauhkan durimu dari lenganku. Tolong," pintanya saat dirasa duri itu semakin melekat di kulitnya.

"Ouch, maafkan aku sungguh aku tak tahu jika kau manusia terlalu lemah—ah maksudku terlalu lembut," koreksi roseblast yang kemudian ia melayang menjauh meninggalkannya.

"Dia kesayangan Ketua William sebelum kau datang. Mungkin mawar itu sedikit—cemburu," jelas Pelayan Song sembari melanjutkan langkahnya.

Boo hanya mengangguk walau ia tak mengerti sepenuhnya.

Mereka hampir sampai saat ia bisa melihat punggung Will dari sana. Kemudian Pelayan Song tadi memintanya berjalan sendiri menghampiri seseorang yang telah menunggunya.

Boo hanya mengangguk saja. Toh hanya beberapa meter lagi kakinya sampai. Semakin dekat saat sesuatu yang besar tiba-tiba saja berlari ke arahnya. Disusul suara geramannya  keras terdengar. Ini buruk! Itu seekor singa besar menuju ke arahnya.

"Aaaaaakh—" teriaknya kencang dan tersungkur akibat terdorong oleh kuku tajam singa itu. Boo begitu pucat dan sulit bergerak. Singa itu semakin mendekat padanya dan melayangkan kuku-kuku jarinya di hadapan Boo. Bersiap mencabiknya. Gadis itu hanya bisa terpejam dan beringsut di tempatnya.

"Berhenti di sana Valdish!" teriak William yang menggema di lorong itu.

Singa tadi menoleh ke arah Will sejenak dan berbalik lagi menatap Boo dengan jarak yang begitu dekat. Kukunya tadi menyentuh rambut panjang gadis yang sedang ketakutan sekali itu.

Matanya masih terpenjam. Ia sudah pasrah jikalau memang harus menjadi santapan singa besar itu. Ia masih bisa merasakan lengan besar menyekat kedua lengan kecilnya itu kuat.

Boo bahkan terkesiap saat merasakan sesuatu yang basah di pipinya. Sesuatu yang lembek namun sedikit kasar seperti sikat giginya.

Hingga terdengar suara shh shh shh

Perasaan ini tak asing baginya. Ia seperti tengah dijilati di bagian pipi. Sampai Boo menbuka mata, ia terkejut melihat singa besar itu menjilati pipinya dan mengenai sudut bibirnya berkali-kali. Kemudian berpindah pada lehernya yang terdongak.

Boo sampai melenguh karena geli dan kesakitan. Lidah singa itu masih menjilatnya sampai ia jengah dan wajahnya memerah.

"Ahn— lepaskan aku," pintanya begitu mengetahui bahwa singa itu genit. Hey, apakah ia seperti singa wanita yang ingin diajak kawin? Sinting memang!

Dengan keberanian yang muncul dari rasa jengahnya, ia mendorong tubuh singa itu yang begitu menghimpitnya. Sialan, tubuh kecilnya tak bisa mendorongnya.

"Valdish, ku bilang hentikan atau ku tembak kau di sini!" ancam William yang sudah berada di balik punggung singa itu.

Perlahan, singa itu melepaskannya dan mundur. Berlari cepat ke belokan lorong tempat William tadi berdiri.

Boo seperti korban perkosaan kini. Kemejanya tersibak hingga perutnya terlihat. Jeans pendeknya tak membantu sekali.

Boo dengan cepat berdiri dan berhadapan dengan William yang menatapnya tajam. Apa ia melakukan kesalahan?

Namun ia tak ingin ambil pusing tatapan tajam itu. Ia justru merasa jijik karena wajah dan lehernya basah terkena liur si singa tadi. Rasanya ia harus mandi lagi.

Nyatanya rencana itu gagal. William menarik tangannya untuk membelok ke arah singa tadi. Tentu saja gadis itu berontak. Ia takut, sungguh. Singa itu pasti masih ada di sana.

"Lepas. Aku tak mau jadi makanan singa. Tolong lepaskan aku Will. Aku janji tak akan mengumpatimu lagi, berabi sumpah," mohon Boo pada William yang semakin cepat membawanya berbelok dan ia hanya bisa memejamkan mata kembali sembari tertunduk.

William sudah melepaskan genggamannya. Namun, Boo masih saja tertunduk.

"Mau sampai kapan kau menunduk seperti itu, hm? Angkat wajahmu dan lihatlah si singa idiot tadi," ucap William jengah. Ia kemudian ikut bergabung dengan yang lainnya.

Boo perlahan mengangkat wajahnya. Ia mendapati sosok pria tampan dengan kulit tan tersenyum ke arahnya.

Mengapa banyak pria tampan di sini?

"Halo Nona. Aku Valdish. Si singa itu adalah aku. Maaf ya mengagetkanmu. Aku hanya penasaran karena Ketua William bilang akan ada orang baru di sini. Jadi, terima maafku?" Valdish mengulurkan tangannya dengan tersenyum lebar.

Ya ampun. Tampan lagi

"Kau— si singa itu? Ku kira kau akan memakanku tadi," ucapnya pelan. Ia masih takut-takut menatap Val namun disambut juga jemari besar itu.

"Aku Boo. Jangan menyerangku lagi! Awas saja nanti akan ku laporkan pada polisi nanti!" ancam Boo dengan suara bergetar.

"Haha maaf ya."

"Hey, mau sampai kapan berdiri di sana. Kalian berdua kemari sebelum Charlie menghabiskan jatah makanan—aduh," erang Christ di akhir kalimatnya. Ternyata ia mendapat pukulan main-main dari si kelinci buntal.

Valdish mengajak Boo menghampiri mereka yang tengah duduk di gazebo besar. Jika dihitung ada beberapa orang yang juga di sana. Seperti Judish, Christ, Charlie dan dua lainnya yang tak ia kenal.

Hingga Boo berhasil duduk di antara mereka. Barulah kedua orang asing itu memperkenalkan diri sebagai Hosea, si kuda dan Jackson, si ular.

Otaknya memanas saat mengingat semua makhluk itu. Bagaimana jika ia jadi mangsa salah satunya jika ia berbuat macam-macam? Boo, kau bisa mati muda!

"Jangan melamun terus, bodoh. Makanlah sebelum aku makan jatahmu juga," ucap Charlie yang terdengar begitu tak bersahabat.

"Kau boleh makan jatahku jika kau mau, dasar kelinci buntal jelek!"

Charlie yang sedang menikmati pie apelnya melotot marah. Telinga kelincinya ikut berdiri menantang.

"Apa kau bilang? Sekali lagi kau bilang aku buntal, akan  ku lempar tubuh kurusmu itu ke kandang Valdish. Biar kau jadi makan malamnya!"

Suara melengking itu sarat mengancamnya. Namun Boo sama sekali tak peduli.

"Kau... Kelinci... Buntal jelek!" ejeknya lagi dan mendapat elusan lembut di kepalanya. Itu ulah Judish yang duduk di antara mereka berdua.

"Sudahlah jangan berkelahi terus. Charlie tolong jangan menangis dulu dan Boo jangan mengejeknya lagi. Paham?" pria berlesung pipi itu terdengar tegas.

Baik Charlie maupun Boo sama-sama membuang muka. Hal itu membuat Judish memijit pelipisnya pelan. Pusing sekali, pikirnya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
kuat kuat ya Boo, liat banyak cogan wkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status