Home / Fantasi / NIGHTALE / Tragedi

Share

Tragedi

Author: invictuswings
last update Last Updated: 2021-03-27 15:30:49

"Sudah siap?" tanya Judish sambil melongok ke belakang kursi kemudi. Hari ini gilirannya untuk mengantar Christ, Charlie, Valdish dan penghuni baru, Boo pergi ke SMA Cellos. Jaraknya lumayan jauh dari tempat tinggal mereka. 

Butuh sekiranya satu jam perjalanan  ke sana.

"Geser sedikit, bokongmu besar sekali, sih. Aku terhimpit," sungut Charlie yang sialnya duduk di tengah mobil. Biasanya ia akan duduk leluasa karena kursi ini cukup diduduki tiga orang. Tapi, akibat bertambah satu orang, ia mau tak mau kesal juga.

"Bokongku baik-baik saja. Mungkin badanmu saja yang sudah berubah jadi babi sampai mobil ini rasanya terlalu kecil untukmu," balas Boo yang memang telinganya terasa diganggu oleh ucapan si kelinci bongsor itu.

"Kau—"

"Astaga, jangan lagi kumohon. Lebih baik salah satu dari kalian duduk di sampingku," ucap Judish menengahi.

Ia kembali mengecek jarum laju BMWnya.

Suara ribut datang dari arah belakang dan dilihatnya Charlie dan Boo yang mencoba turun terlebih dahulu. Mereka berdua duduk di tengah-tengah Valdish dan Christ yang menghambat pergerakannya.

"Aku dulu, gendut!"

"Tidak. Aku yang biasanya duduk dengan Judish!"

"Tidak mau. Kau mengalahlah dengan seorang gadis."

"Tak...mau...."

"Begundal sialan!"

"Mulutmu ingin kusetrika rasanya. Kemari kau. Jangan coba-coba dekati pintunya. Christ lepaskan!"

"Valdish jangan tahan pinggangku! Aw, kelinci buntal jangan tarik rambutku. Sini kau kutarik lagi telinga besarmu biar kau menangis dan jadi jelek lagi."

"Gadis nakal. Beraninya kau mengancamku. Aku tak takut! Sini kau biar kujambak rambutmu sampai botak!"

"Aww... Judish, rambutku ditarik Charlie."

"Biar kau tahu rasa!"

Christ dan Valdish mencoba menangkan mereka berdua. Kursi dengan empat orang rasanya begitu sesak. Mereka harus saling sikut hanya untuk bisa mendudukkan bokongnya.

"Kalian berdua hentikan!" teriak Judish yang kepalanya langsung pening saat mendengar keributan mereka. Ia baru saja akan menghubungi seseorang sebelum William mengetuk pintu kaca mobil.

Dengan cepat Valdish yang duduk di dekat sisi mobil, menurunkan sedikit kaca hitam itu. Nampaklah William yang terheran dengan keadaan mobil yang begitu padat.

"Mengapa kalian berdesakan? Judish, apa kau miskin lagi? Mengapa hanya satu mobil?" tanya William menelisik. Ia kemudian menoleh pada Boo yang penampilannya begitu berantakan.

Seingatnya, Mrs. Comb telah menata rambut gadis itu pagi tadi.

"Maaf, mobilku satunya sedang diperbaiki. Jadi kuputuskan menggunakan mobil ini," jelas Judish canggung.

William sejenak berpikir. Ia juga harus pergi ke suatu tempat. Namun, melihat kekacauan yang terjadi, ia memutuskan untuk mendahului kepentingan mereka.

"Baiklah kalau begitu, Boo biar ku antar. Sisanya bersama Judish. Kau, turunlah cepat," titah Will sambil mengarahkan telunjuknya pada Boo.

Gadis itu sedikit kecewa karena merasa kalah. Ia menoleh pada Charlie yang tersenyum senang karena telah menyingkirkannya.

"Cepat pergi sebelum Ketua Will menunggu," ucap Charlie dengan nada mengejek. Ia bahkan mendorong kecil bahu gadis itu hingga mengenai dada bidang Valdish.

"Jangan dorong aku. Awas saja kau!" ancam Boo yang langsung menuruni mobil.

¶¶________________________¶¶

"Mau permen?" tanya William begitu mereka berada di mobil pria itu.

Boo hanya menggeleng cepat. Ia kembali mengamati jalanan yang sepi. Kebetulan ini masih teralu pagi. Pukul 6.15. Bisa dipastikan, perkelahian Charlie dan dirinya memakan waktu lebih banyak dari sebelumnya.

"Dengarkan aku. Jangan berkelahi dengan Charlie lagi. Jika ia berbuat ulah, biarkan saja," saran William sebelum menambah kecepatannya.

Gadis itu sampai meremat safety belt-nya kencang. Ia tak berani menatap jalanan lagi.

"Sial, jangan terlalu cepat! aku takut," teriak Boo dan membuat William menghentikan mesin mobilnya.

Keduanya berpandangan sejenak.

"Bisakah kau merespon dengan baik ucapanku?" tanya William yang wajahnya semakin dekat dengan gadis di depannya ini.

Semakin dekat hingga Boo cepat-cepat menoleh ke arah lain. Perasa mint tercium tajam dari William. Jujur saja hal itu membuatnya canggung.

Bagaimana bisa mereka sedekat ini?

William kembali fokus membawa BMWnya. Sementara Boo mulai kikuk karena sisi wajah pria itu begitu tajam dan panas. Ia baru sadar jika kerabat jauh ayahnya itu ekm—sedikit tampan. Hanya sedikit. Peringkat satu masih dimiliki Judish, si pria lesung pipi.

Gadis itu menoleh pantulan wajahnya pada spion di sisi luar. Mengamati wajahnya yang telah dihias manis. Mrs. Comb dan kerabatnya juga menata rambut panjangnya sedikit ikal di bawah. Tak lupa pita besar hitam disisipkan di tengahnya.

Ia terkikik saat mengingat si sisir tua itu mengoceh tentang rambutnya yang susah diatur. Bahkan ia dipaksa mencuci rambutnya sebanyak dua kali agar wangi.

"Kau baik-baik saja?" William pun sejak tadi melihatnya aneh. Ia meluhat gadis itu terkikik dan menyentuh rambutnya beberapa kali.

"Ah, tidak. Aku hanya ingat Mrs. Comb sempat mengoceh padaku. Katanya rambutku ini seperti sapu lusuh di gudang."

"Rambutmu memang terlihat rusak dan jelek sekali, sih. Tapi pagi ini aku terkejut karena terlihat rapih dan -uh rapih?" ia tak yakin dengan ucapannya itu.

"Hey, jangan mengejekku begitu. Kata Ibuku, rambutku ini cantik sekali seperti rambut rapunzel. Kau tahu tidak?"

"Bahkan kau lebih cantik," tutur William yang hampir terdengar berbisik.

"Kau bilang ap— Will jangan ngebut!"

Terlambat, William mengencangkan lajunya dan membuat gadis itu ketakutan.

¶¶________________________________¶¶

"Kau lama sekali, sih. Untung saja Mrs. Sez tak masuk. Cepat ke tempatmu!" seru Charlie yang tengah menghadangnya di pintu kelas X.

Boo mengindahkan ucapan si kelinci buntal itu dan sibuk merapihkan rambutnya yang berantakan lagi. Perbuatan si William itu!

"Biar kurapihkan," ucap Valdish yang mendekatinya. Pria tampan nomer dua ini begitu lembut padanya. Bahkan jemarinya digenggam lembut sembari mengambil dedaunan kering dan debu yang tersangkut di rambutnya.

Sorak-sorak langsung terdengar dari arah belakang. Ia melongok di balik bahu Valdish dan menemukan para siswa yang memandangnya jengah.

"Lebih baik kau duduk di sampingku, bagaimana?" tawar Valdish lagi dengan suara yang tenang.

"Ah, jika kau memaksa, aku terima." Boo kemudian diantar ke tempatnya yang ada di belakang.

"Mr. Dode datang!" teriak seseorang dan berlari ke dalam. Dibarengi dengan pria usia matang yang ada di belakangnya.

Valdish dengan cepat menarik tangan Boo, diikuti Christ dan Charlie yang duduk di depannya.

Gadis itu hampir protes saat Valdish mengecup punggung tangannya lembut.

Pria tampan memang berbeda

"Buka buku Biologi kalian dan baca materi bab 19. Jangan ada suara sedikit pun dan oh— selamat datang murid baru. Siapa namamu?"

"Boo, sir." suara gadis itu nyaris melengking saat tiba-tiba tubuhnya berdiri spontan.

Sontak beberapa murid lainnya tertawa melihat tingkahnya yang 'kaku'

"Hm... Nama yang unik. Baiklah Boo kau bisa duduk lagi."

Charlie tertawa puas melihat wajah gadis itu yang menahan malu. Hampir saja ia lihat gadis itu memakan rambut panjangnya sendiri.

"Char, hentikan dan duduk," perintah Christ yang melihat wajah gadis itu memerah.

"Tidak. Lihat saja haha bahkan ia memakan rambutnya sendiri," tawa Charlie dibarengi hampir seluruh murid di kelas terkecuali Valdish dan Christ.

"Haha... Gadis bodoh, jelek pula, pantas saja Paman Al membuangnya" ejek Charlie lagi.

Boo yang mendengarnya menyentak kasar genggaman Valdish dan beralih mendekati Charlie. Dengan cepat ia mendorong tubuh pria kelinci itu sampai terjatuh di dekat kursi Christ.

Ia tak suka mendengar pria itu mencemooh ayahnya. Bahkan bisa saja ia mengamuk di sini  jika saja Christ menahan pukulannya yang hampir mengenai dada Charlie.

"Char, kau keterlaluan. Tolong minta maaf," ujar Christ yang melihat Boo begitu marah. Napasnya memburu dan tatapannya begitu tajam memandang pria kelinci itu.

"Ups. Maaf, aku hanya bercanda. Kau tahu, 'kan, Boo?"

Bahkan pria itu berucap main-main. Ia membalikkan tubuhnya dan tertawa lagi.

"Charlie, kemari kau!" Boo bersiap jiia harus gulat dengan si pria bertelinga panjang itu.

Diraihnya dasi panjang Charlie ke depan. Rambutnya pun menjadi sasaran kemarahan Boo. Ia mencabutinya dan sesekali menggelitiki tubuh yang lebih besar itu. Sementara pria itu tak sengaja mendorong tubuh Boo yang menimpanya. Sehingga keadaan berbalik, di mana ia seakan mengungkung gadis itu. 

Menahan kedua tangannya ke samping dan terus membuat pergerakan gadis itu sulit.

"Akh- bodoh. Lepaskan aku!" ronta Boo dalam kungkungannya. Gadis itu menggerakkan kaki telanjangnya dengan brutal hampir menyentuh si junior di bawah sana.

Para murid berkerumun dan bersorak memanggil nama keduanya. Menjadikan mereka bahan tontonan pagi hari.

"Diam, kau ini jangan menggelitikiku. Biar tanganmu kuikat dan akan kugantung di belakang sekolah. Kubilang jangan bergerak!"

Valdish dan Christ sudah hilang sejak tadi. Mereka tak ingin ikut campur dan lebih memilih pergi karena teriakan keduanya membuat kepala pusing.

"Charlie jelek minggir!"

"Tidak. Ini balasan untuk pagi tadi karena Judish tak mengizinkanku duduk di depan!"

"Bukan salahku. Salahkan saja bokongmu yang besar!"

"Jangan bicara macam-macam tentang bokongku!"

"Akh- lepaskan. Sakit!"

"Astaga. Semuanya kembali ke tempat masing-masing!" suara Mr. Dode terdengar lantang. Semua murid akhirnya kembali ke kursi mereka dengan cepat. Sementara Charlie dan Boo masih tertegun di sana. Terlebih penampilan gadis itu seperti benar-benar habis mendapat pelecehan seksual.

"Charlie dan kau murid baru, segera ke ruangan Mrs. Wish, sekarang! Dan sebelum itu, astaga rapihkan pakaian kalian berdua."

Charlie merapihkan rambut dan dasinya sementara Boo sibuk menggunakan sepatunya yang hilang sebelah.

Jika tak salah ingat sepatunya terlempar ke belakang meja Mr Dode.

Matanya mencari ke arah meja itu dan menemukan sebelah sepatunya tepat di bawah kursi.

Ia bergerak mengendap sambil melewati belakang guru itu.

"Kau sedang apa? Apa kau tak dengar apa yang kukatakan tadi?" kesal pria tua itu sambil membetulkan kacamata tebalnya.

"Itu- maafkan aku tapi sepatuku ada di bawah kursimu, Mr. dode. Bisa aku minta kembali?" pintanya takut-takut.

Pria tua itu kemudian merunduk dan mengambil sepatu berwarna biru hitam; melemparkannya tepat ke hadapan Boo.

"Terima Kasih."

¶¶______________________¶¶

"Jangan berjalan di belakangku, bodoh!"

"Kau yang jalan lambat sekali, mengapa tak memberiku jalan sejak tadi?"

"Sudahlah aku lelah jangan ribut lagi."

"Kau yang membuatku ingin sekali menarik telingamu!"

Keduanya terduduk di ruang kosong dekat gudang sekolah. Menerima detensi membersihkan gudang sekolah yang pengap dan berdebu tebal.

Hampir dua jam lamanya mereka menahan untuk saling berbicara dan membersihkan ruangan itu sampai licin dan wangi.

"Aku haus. Kau ada minum?" tanya Boo dengan wajah lesu dan pucat. Ia baru ingat tak menyentuh sarapannya tadi. Tubuhnya begitu lemas dan kepalanya terasa berputar. Tanpa sadar ia bersandar pada punggung Charlie. Sambil mengais napas pelan.

"Aku juga haus tapi aku terlalu lelah berjalan. Kau sana ambilkan," sahut Charlie.

Ia kemudian terkujut saat tubuh Boo menyentuh punggungnya. Pria itu ingin sekali menghindar dan membuat Boo terhuyung ke belakang. Namun, instingnya berkata lain. Ia merasa tubuh gadis itu begitu lemah. Terdegar napasnya memburu dan punggungnya menghangat.

"Hey kau. Apa kau mendengarku?"

Nihil tak ada suara berisik Boo yang ia dengar. Ia semakin gundah karena dua jam lalu mendorong tubuh gadis itu karena kesal diberi hukuman oleh Mrs. Wish.

Ia menoleh perlahan ke belakang dan melihat Boi tertunduk dengan rambut yang menutupi wajahnya.

Charlie menahan tubuhnya dari belakang agar Boo tak terjerembab. Dengan cepat ia membalikkan tubuh dan mendapati wajah pucat, luka di siku, dan keringat di kening Boo.

"Ah, kau merepotkan saja. Jangan mati di sini."

Ia memapah tubuh gadis itu menuju ruang kesehatan. Charlie sendiri sebenarnya mendapat luka kecil sewaktu memindahkan lemari kecil dan berat itu bersama Boo. Namun, melihat tubuh gadis si William itu hampir mati, ia merasa bersalah.

Jika saja ia tak menggodanya dan membuat amarahnya naik. 

Jika saja ia tak mendorong tubuhnya, dan jika saja ia tak membahas ayah Boo.

Mungkin ia tak ada di sini. Menyaksikan gadis itu diberikan tabung oksigen kecil dan dibersihkan lukanya. Ia bahkan tak berkutik saat ditanya mengenai memar yang ada di punggung Boo.

Apa ia mendorongnya terlalu keras?

"Kau baik-baik saja?"

Itu suara Christ yang menepuk bahunya. Di sampingnya ada Valdish. Mereka pasti telah mendengar kabar tentang Boo yang katanya 'dihabisi' Charlie.

"Aku—aku tak tahu. Aku mendorongnya terlalu kencang tadi. Tolong, tolong jangan beritahu Ketua William."

Wajah Charlie mendadak pucat saat mengingat wajah William yang begitu galak. Ia tak mau kena hukuman.

"Kami tak akan bilang apapun. Kecuali—" Christ memandang Boo yang tengah berbaring setelah mendapat perawatan.

"Jika kau bisa memastikan Boo tak akan merengek pada William. Maaf, tapi kami tak bisa membantumu, Char," ujar Christ dengan wajah sendu.

Sebenaranya ia dan Valdish tengah berada di ruang kesenian. Bermain alat musik dan menari-nari. Saat seseorang berteriak bahwa Charlie menghabisi si murid baru, mereka berdua saling pandang dan berlari kencang.

"Aku pasti kena hukum berat. Aku tak mau duduk di hutan semalaman lagi," rengek Charlie dengan wajah memerah, air mata yang banyak turun di wajahnya dan ingus. Terlihat begitu menyedihkan.

Sampai Valdish mendekapnya, mencium keningnya lembut dan berkata, "Kau tenang saja, aku yakin gadis itu tak tega melihat anak kelinci kita dihukum."

"Tapi, jika ia mengadu, bagaimana?" tanya Charlie takut. Tangisannya sedikit mereda saat mendengar ucapan Valdish tadi.

"Hm—aku akan menciumnya sampai ia tak bisa bicara lagi, bagaimana?"

"Oh, astaga. Mendengarnya saja membuatku ingin muntah," celetuk Christ meninggalkan mereka berdua. Ia lebih memilih menuju tempat Boo.

"Benarkah? Terima kasih, Val." Charlie menggesekkan hidung besarnya di dada Valdish. Ia bahkan tak merasa jijik walau seragamnya terkena ingus adik manisnya itu.

Asal Charlie tak menangis, dunia aman menurutnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kikiw
valdhis modus ae wkwk
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • NIGHTALE   Save me

    Setelah melewati gerbang utama, Will memutar setir ke arah kanan dan melaju dengan tenang melewati deretan bunga-bunga yang menggantung di sana. Ia terkejut mendengar pekikan dari bunga Rose yang masih terjaga saat ia sedikit menurunkan kaca mobilnya. Sekadar menunjukkan siapa gadis yang ia bawa."Ya Tuhan, Ya Tuhan, Ya Tuhan... Willku membawa gadis cantik!" teriaknya lagi yang kemudian berhasil membangunkan bunga lainnya yang mulai sahut-sahutan.Hingga pria jangkung itu mematikan mesin, Boo masih terlelap tanpa terganggu gurauan seseorang yang menyambutnya di pintu utama."Selamat datang Ketua Will. Senang bertemu denganmu dan—" Ia melirik sekilas seseorang lewat kaca mobil yang sengaja dibukanya."Tolong siapkan satu kamar di samping milikku. Boo sepertinya terlalu lelah," pintanya yang kemudian disegerakan oleh Kepala Pelayan Song.Segera setelah Will memerintahkannya, beberapa p

  • NIGHTALE   Love love

    Boo sudah diwanti-wanti agar kaki telanjangnya diam saat Isabelle mewarnai kuku kakinya yang tampak pucat. Sesekali gadis berambut perak itu memekik jengkel saat Boo malah menggelitiki tubuhnya yang duduk di lantai hingga akhirnya cat kuku itu tumpah mengenai bagian sudut sofa lembut itu."Kubilang diam, Boo," titah Belle yang jengah karena ulah Boo yang sejak tadi terus menggodanya. Lihat saja nanti jika Paman Hwang datang, ia akan mengadukan gadis nakal itu hingga ia tak dapat jatah makan malam."Adukan saja. Nanti cat kukumu akan ku tumpahkan lagi. Lihat, masih ada emerald dan gold di sana," goda Boo sambil menunjuk kotak kaca berbentuk kubus yang ada di tengah meja."Sudah cukup main-mainnya. Kau tahu 'kan nanti malam Ketua William akan datang menjemputmu. Jangan banyak tingkah!" seru Isabelle dengan kesal, atau mungkin gadis itu terlampau cemas setelah mengucapkan nama pemuda asing itu.

  • NIGHTALE   Valdish

    ValdishSejak Boo memberikan hadiah pada Valdish, pria itu terus mengekorinya. Ia mengucapkan terima kasih lagi malam ini. Tentu saja gadis itu merasa tak nyaman. Sebab, jika dipikir lagi, Valdish sepertinya telah salah paham. Ia menjelaskan bahwa hadiah itu dari seseorang bernama Alexa. Namun, pria itu tak percaya.Sampai akhirnya Valdish meminta Boo pergi bersamanya ke hutan. Kebetulan hari ini ia tak menemui Azua karena pria itu tengah berada di luar. Tak ada kecurigaan awalnya. Meski hatinya mengatakan jika ada sesuatu yang buruk akan terjadi.Valdish menggenggam jemarinya erat saat mereka melewati bagian timur hutan. Gadis itu terpana melihat sesuatu yang bercahaya mengelilinginya. Kegelapan dalam hutan seakan lenyap begitu saja.“Kau menyukainya? Ini kerabat dekat flowerblast. William membawa mereka kemari.”Boo terus terkesima saat melihat seekor rusa. Warnanya yang merah kecoklatan, seakan terlindungi. Rusa itu terus be

  • NIGHTALE   Sweet

    Hari ini terik sekali. Boo, Christ, Valdish dan Charlie masih berkutat dengan ujian tengah mereka. Rasanya seperti neraka. Mrs. Zoe terus mengawasi dengan ketat. Bahkan tak ada murid yang berani membuka suara. Sebab, jika terlihat gerakan mencurigakan, wanita itu tak segan mengambil kertas ulangan dengan paksa.Kali ini Mrs. Zoe melewati bangkunya dan Valdish. Mengentakkan sepatu pantofelnya nyaring. Tinggal satu soal lagi yang harus Boo kerjakan. Ia sedikit melirik kertas Valdish yang telah terisi hampir seluruhnya. Sulit sekali. Padahal pria itu telah membuka lebar kertas miliknya dan bergumam pelan. “Cepatlah salin,” ujarnya begitu perlahan sambil mengamati guru mereka yang untungnya telah berada di bangku lainnya.Boo segera menyalin jawaban di soal terakhir. Ia tak lupa mengatakan terima kasih. Valdish yang gemas, mengusak surai panjangnya. Ah, pria itu tampan sekali.“Mrs. Zoe, aku telah selesai,” ucap Valdish yang kemudian bangkit

  • NIGHTALE   Tenang

    Boo meringis kesakitan saat Azua membersihkan sisa luka yang mengering di tubuhnya. Beberapa menit setelah gadis itu limbung, tiga jamur yang menggigitnya telah dimasukkan ke dalam kantung khusus penahan makhluk. Lukanya cukup dalam bagi manusia lemah. Azua sampai harus repot memindahkan tubuh gadis itu ke tempat tidurnya. Ia sibuk meracik ramuan penyembuh. Sesekali melirik ke arah Boo. Sungguh gadis lemah yang malang, pikirnya. Azua berpikir untuk melatih gadis itu agar kebal saat diserang para makhluk. Sudah jelas jika enam hari ke depan, ia akan menghadapi berbagai makhluk yang akan digunakan sebagai ramuannya. Azua bisa saja melakukannya sendiri. Bahkan jika dipikir, lebi cepat ia lakukan tanpa bantuan seseorang. Namun, melihat gadis itu hampir sekarat karena gigitan anak jamur, rasanya ada simpati yang muncul. Ia harus melindungi gadis ini. Ramuan penyembuh racikannya telah dibuat sempurna. Di

  • NIGHTALE   Tugas

    Boo ditemukan seekor rubah merah yang kebetulan tengah melintas. Rubah itu kemudian mengubah dirinya menjadi manusia. Ada rasa penasaran saat mencium aroma tubuh gadis ini. Tercium aroma citrus yang segar menguar dari tubuh Boo. Rubah itu terus mendekat hingga menghirup ceruk leher gadis itu. "Hentikan dan bawa gadis itu ke tempatku!" seru Azua yang datang dari arah sebrang. Rubah itu terlihat ketakutan. Ia segera membawa gadis itu menuju tempat tuannya. Azua, pria yang merupakan penguasa dalam hutan mengikutinya dalam diam. Ada semacam tali transparan yang mengkilat di sekitar pondok Azua. Ia sengaja memantrainya agar tak ada makluk yang dapat masuk, kecuali manusia. Maka, setelah berada di sekitar tali pembatas, rubah itu memberikan Boo dalam dekapan Azua. Kemudian, ia kembali ke bentuk semula. "Tuan, gadis itu siapa?" tanya rubah sambil terus memperhatikan Boo dari dekat. Azua mengernyit tak suka, "Pergil

  • NIGHTALE   Break up

    "Aku ingin salad," ucap Boo yang baru tiba di meja makan. Seluruh makhluk dan William menoleh ke arahnya. Sejak kejadian semalam, Boo hanya mengurung diri di kamar. Bahkan gadis itu melewatkan jam makannya. Tak ada yang mencegahnya. Tak ada siapa pun yang diizinkan William untuk mendatangi kamar gadis itu termasuk Judish yang bersikeras untuk menjelaskan sesuatu. Hari ini pun Boo terlihat murung. Charlie yang di sampingnya tak berani protes saat gadis itu justru mengambil roti isinya. William terus memperhatikannya. Jadi, tak ada yang bisa membantah. "Bagaimana urusan sekolah kalian? Kudengar akan ada ujian minggu depan." William mengunyah roti isinya tanpa minat. "Ya. Kau tahu, di dunia manusia itu rumit. Aku malas belajar, Ketua." Charlie menyahut dengan cepat. Ia tak menyukai hal yang berkaitan dengan sekolah, kecuali bagian olahraga. "Kau memang bodoh," celetuk Boo s

  • NIGHTALE   Penawar

    Boo merasakan lengannya menyengat saat bersentuhan dengan Hosea. Sensasinya tak melukai. Namun, aneh. "Sebenarnya apa yang kalian bicarakan? Dan mengapa Azua itu begitu mudah memberikan penawarnya?" Hosea menanyakan berbagai pertanyaan perihal botol penawar yang ia kalungkan. "Tak ada. Ia hanya mengatakan akan membantu," jawab Boo sekenanya. Hosea dan Zia melaju membelah hutan. Setelahnya tak ada percakapan di antara mereka. Boo segera berlari begitu turun dari tubuh Hosea. Ia mengambil jalan melewati samping. Hanya untuk sampai lebih cepat. Gadis itu pergi ke dapur untuk meracik minuman yang diberi penawar. Jika ia tak salah ingat, penawar ini cukup ditetesi sebanyak 10 kali. Boo mulai meneteskan sebanyak yang dibutuhkan. Ia mengaduknya perlahan. Terlihat sesuatu yang menguar di atas cawan. Sesuatu yang indah seperti ribuan kupu-kupu yang terlepas. Apakah ini pertanda baik?

  • NIGHTALE   Danger comes

    Boo mendekati Judish yang tengah berbicara dengan para tamu. Ia menarik kekasihnya itu ke sudut ruangan yang jauh dari suara musik yang memusingkan. “Ada apa?” tanya Judish sembari menghabiskan minumannya. Ia kemudian merangkul Boo dan mengecup pipinya sekilas. Boo terhenyak. Ia mendorong tubuh Judish yang terlihat aneh. “Judish, bantu—“ Ucapannya tenggelam dalam kebisingan. Boo mengamati sekitar. Di sana, Daisy melihatnya. Sial, gadis itu tahu jika ia mencoba meminta bantuan Judish. “Akh, lenganku sakit sekali,” ucap Judish tiba-tiba. Boo terkejut saat melihat lengan Judish membiru. Apa Daisy juga memberi ramuan itu pada Judish? Tapi kapan? Ia melihat Daisy menunjukkan sebuah botol kecil dan mengarahkannya ke minuman yang disajikan untuk para tamu. Satu per satu, para makhluk di sana meringis kesakitan karena ramuan itu. Pesta yang tadi meriah berubah jadi teriakan kesakitan di mana-mana. Boo panik seba

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status