PROLOG
Apa jadinya jika bumi hanya dijadikan sebagai medan pertempuran bagi sekelompok manusia sakti yang tak bermoral? Hal tersebut terjadi di daratan Benua Timur beribu-ribu tahun yang lalu. Bumi tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk ditinggali. Gunung, daratan dan lautan hanya disesaki oleh jasad-jasad manusia yang gagal menyelamatkan diri. Tumbuhan dan binatang menjadi makhluk yang hampir-hampir punah keberadaannya. Kekacauan tersebut setidaknya berhasil mengambil lebih dari separuh populasi manusia di Benua Timur. Penyebab dari semua kejadian tersebut adalah pertempuran tujuh manusia sakti yang sama-sama ingin menjadi nomor satu.
Tujuh manusia sakti adalah tujuh pendekar terhebat di masanya. Para pendekar yang telah mampu melampaui batas kekuatan manusia. Kekuatan mereka bahkan lebih tinggi daripada kekuatan seribu pendekar hebat di masanya. Mereka bukan lagi disebut pendekar, bukan juga disebut dewa, orang-orang menyebutnya sebagai iblis bumi.
Ketika Benua Timur sudah berada di ambang kehancuran, Dewa mengutus tujuh kesatria untuk menghukum para iblis bumi. Pertempuran terbesar sepanjang sejarah pun terjadi. Tujuh kesatria langit nyatanya tak mampu mengalahkan tujuh iblis bumi. Legenda mengatakan, tujuh kesatria langit itu pada akhirnya mengeluarkan jurus yang paling ditakuti oleh mereka sendiri. Jurus tersebut adalah jurus penghancur malapetaka. Bukan hanya bisa mengahcurkan musuh, jurus tersebut sekaligus menghancurkan para kesatria langit yang telah dikirim Dewa.
Kedahsyatan jurus penghancur malapetaka ternyata tak mampu ditampung oleh bumi. Bumi bergejolak, gunung menjadi serupa kapas dan lautan memuntahkan isinya. Seketika, Benua Timur terbelah menjadi tiga daratan besar dan seribu pulau-pulau kecil tak bernama. Tiga daratan baru yang terbentuk masing-masing bernama, Daratan Caihong, Daratan Bingdao, dan yang terakhir adalah daratan Shamo.
Butuh waktu berpuluh-puluh tahun untuk membuat tiga daratan tersebut pulih sebagaimana mestinya. Manusia-manusia yang tersisa, perlahan-lahan kembali bangkit untuk membangun kehidupan. Peradaban baru pun tercipta. Kedamaian menjadi sahabat manusia selama beratus-ratus tahun berikutnya hingga pada suatu hari, seorang petani di daratan Caihong membuat geger semua orang lantaran menjadi pendekar sakti hanya dalam waktu yang sangat singkat.
Kesaktian tersebut, menurut kabar dari mulut ke mulut, dipicu oleh permata roh suci yang ia temukan di suatu tempat. Permata Roh Suci tersebut dipercaya sebagai wujud dari Kesatria Langit yang telah berkorban memusnahkan iblis bumi. Perburuan permata roh suci pun dimulai.
***
Tiga ratus tahun dihitung dari saat pertama kali Permata Roh Suci ditemukan, hiduplah seorang kakek tua bersama cucunya di tengah kedalaman hutan di pulau Konglong. Pulau Konglong adalah satu dari seribu pulau kecil yang merupakan pecahan dari Benua Timur setelah mengalami bencana besar. Manusia di zaman ini tak mengenal Benua Timur, legenda terbelahnya benua tersebut hanya menjadi dongeng dari mulut ke mulut yang diragukan kebenarannya.
“Kakek…. Kakek…,” seorang anak kecil berusia enam tahun sedang berteriak-teriak dari dalam goa. Ia berteriak hampir selama satu jam tetapi sang kakek tidak juga datang padanya. Anak kecil tersebut berulang kali mengusap keringat di keningnya, ia sudah hampir menyerah dengan tugas yang diberikan sang kakek di hari itu.
Jika hari-hari sebelumnya si kakek memintanya untuk berburu rusa, atau sesekali juga singa, kali itu si kakek membebaninya dengan tugas untuk berburu gajah. Tak hanya sembarang gajah, si kakek juga mewajibkan untuk cucunya memilih gajah dengan belalai terpanjang di dalam hutan. Anak kecil tersebut sudah mulai berburu gajah ketika matahari belum terbit dengan sempurna. Saat di mana ia berteriak-teriak memanggil kakeknya, matahari sudah bersiap-siap untuk membenamkan diri. Itu artinya, hari akan berganti malam, dan anak kecil itu bahkan belum sempat sarapan.
Anak kecil tersebut bernama Zhou Fu, ia berteriak bukan karena putus asa akibat gagal menangkap gajah belalai panjang. Ia setidaknya sudah berhasil menggiring gajah buruannya masuk ke dalam perangkap yang ia pasang di goa ketika hari masih siang. Zhou Fu mulai berteriak-teriak memanggil kakeknya karena ia tidak tahu bagaimana caranya membawa buruan sebesar itu ke gubuk yang ia tinggali bersama si kakek.
Jarak dari goa itu ke gubuknya adalah sekitar tiga mil, jarak yang tak jauh jika saja buruannya adalah harimau, atau mungkin buaya. Ketika hendak berangkat memburu gajah, Zhou Fu lupa untuk bertanya pada sang kakek tentang bagaimana caranya mengangkat buruan sebesar itu.
“Kakek… Kemarilah, jika kau bersedia menolongku, aku janji besok akan membawakan dua gajah untukmu!” Zhou Fu kembali berteriak dari dalam goa, suaranya yang cukup kencang membuatnya langsung menutup telinga sebab goa yang ia tempati mendengungkan teriakannya berkali-kali lipat lebih kencang.
“Apa kubilang, kau bahkan belum cukup kuat untuk disebut sebagai anak-anak,” seorang kakek tua berjalan memasuki bibir goa dengan langkah yang cukup santai. Ia mengamati hasil buruan cucunya dengan tanpa rasa kagum sedikit pun, “saat aku seusiamu, aku bahkan bisa melempar induk gajah hingga berpuluh-puluh mil jauhnya!”
Zhou Fu mulai menutup telinga dengan kedua tangannya. Ia selalu kesal jika sang kakek menceritakan kehebatan-kehebatannya di masa kecil.
“Jika kakek sehebat itu semasa kecil, mengapa kita harus bersembunyi di hutan ini sepanjang waktu,” Zhou Fu mendengus kesal, ia selalu ingin untuk berpetualang tempat-tempat lain selain di pulau Konglong, tapi kakeknya selalu berkata jika dunia terlalu kejam dan mereka berdua belum cukup kuat untuk melangkah keluar.
“Ya, jika aku pergi sendiri, kukira aku akan bebas menikmati dunia yang keras. Tapi sial, aku harus merawat bocah kecil yang bahkan tak bisa membawa pulang binatang buruannya,” si kakek menjawab sambil tangannya menggesek-gesekan batu dari dalam goa. Sepertinya ia berniat untuk bermalam di goa tersebut bersama Zhou Fu sambil menikmati kepala gajah belalai panjang.
Jauh di dalam lubuk hatinya, si kakek sebetulnya cukup kagum dengan kemampuan Zhou Fu yang melebihi anak-anak pada usianya. Sayangnya, meski berulangkali ia berharap bisa memuji cucunya itu, ia kembali ingat jika Zhou Fu harus mendapat didikan untuk menjadi lebih kuat dan lebih kuat lagi. Pujian hanya akan menghambat perkembangan. Oleh sebab itu, sehebat apapun pencapaian yang bisa diraih oleh Zhou Fu kecil, si kakek tak pernah sekali pun menganggapnya sebagai sesuatu yang berarti.
Masa lalu yang pahit menjadi alasan utama si kakek membesarkan Zhou Fu dengan didikan yang keras dan kejam. Kenangan buruk yang menimpa Zhou Fu kecil harus ditebus dengan perjuangan yang maksimal. Zhou Fu harus menjadi yang terkuat, jika tidak, bencana di masa lalu akan terulang kembali dan semuanya menjadi sia-sia.
Kakek Zhou Fu bernama Li Xian. Dari segi fisik, Li Xian sama sekali tak memiliki kemiripan dengan Zhou Fu, Li Xian memiliki perawakan yang pendek dan bertulang kecil sementara Zhou Fu, meski masih berusia enam tahun, orang bisa melihat jika Zhou Fu merupakan keturunan dari orang tua yang berperawakan kekar. Li Xian sejatinya memang bukanlah kakek kandung Zhou Fu, tetapi ia selalu menganggap jika Zhou Fu adalah cucu kandungnya sendiri.Seperti pada malam itu, Li Xian mendekap tubuh Zhou Fu yang tidur meringkuk di dalam goa beralaskan tanah yang dingin. Sesekali Li Xian mengelus-elus kepala bocah itu seolah Zhou Fu masih bayi. Ketika Zhou Fu tertidur, Li Xian selalu melihat wajah seorang anak-anak yang kelelahan. Tubuh Zhou Fu dipenuhi dengan luka gores, luka gigitan binatang buas, luka benturan, dan beragam cidera-cidera lain yang sebenarnya cukup mengerikan untuk dialami oleh anak seusia Zhou Fu.Ketika Li Xian selalu memendam iba pada cucu kecilnya, Zhou Fu justru tum
Zhou Fu merasa kesal, dan ya, ia hampir selalu kesal sebab serangan apapun yang ia berikan kepada kakeknya hampir tak pernah membuat kakeknya mengaduh. Mengubah mimik wajah pun tidak. Jika sudah demikian, Zhou Fu akan menghukum dirinya dengan berlatih tiga atau empat kali lebih lama dan lebih berat.Ia tak peduli tentang kerasnya dunia sebagaimana yang diceritakan sang kakek. Ia berlatih keras demi sebuah pencapaian untuk membuat kakeknya merasakan sakit karena serangannya. Dengan demikian, ia bisa dengan bangga memamerkan kekuatannya pada sang kakek.Andai saja Zhou Fu hidup di masyarakat secara umum, mungkin orang-orang justru takut sebab ia adalah anak yang terlalu kuat pada usianya. Setidaknya, Li Xian menyadari hal tersebut tapi enggan mengatakannya. Bahkan, sepanjang hidup Li Xian yang sudah menyentuh angka 155 tahun, baru kali ini Li Xian mendapati seorang anak yang mampu ditempa latihan dengan begitu kerasnya.Waktu itu, ketika Zhou Fu mendapati kakeknya
“Benar ‘kan, apa kataku, kakek langsung tersenyum! Apakah kesedihan kakek sudah hilang?” mata Zhou Fu berbinar-binar mendapati kakek Li Xian yang tadinya terlihat suntuk menjadi lebih ceria.“Ya, anggap saja demikian. Ngomong-ngomong kakek merasa hari ini sedang tak enak badan. Bisakah kau meracikkan ramuan untukku?” Li Xian berpura-pura memijit-mijit pelipisnya sementara Zhou Fu langsung bangkit dari duduknya untuk memeriksa kepala kakeknya.“Mana, mana yang sakit, Kek? Kumohon jangan mati dulu, aku tidak mau sendirian di sini!”Zhou Fu memberikan respon yang cukup berlebih pada sebuah kepura-puraan Li Xian. Hal tersebut dikarenakan Li Xian berhasil memberi pelajaran tentang arti sebuah kematian kepada Zhou Fu. Di mana, kematian adalah sebuah perpisahan besar yang membuat seseorang tidak lagi bisa diajak bercengkrama.“Mungkin aku akan mati segera, kecuali…“Kecuali apa, Kek? Ka
“Sudah-sudah, ayo kita pulang ke gubuk. Sudah hampir sepekan kita meninggalkan gubuk, berdoa saja semoga rumah kita tidak dirusak binatang buas.”Zhou Fu bangkit berdiri mengikuti Li Xian yang sudah terlebih dahulu berdiri. Cucu dan kakek itu kini berjalan beriringan membelah rerumputan hijau yang masih perawan. Maksudnya, tak terjamah kawanan manusia. Entah bagaimana, alam akan menjadi sangat menawan ketika mereka tidak bertemu dengan manusia. Setidaknya binatang lebih tahu diri dan bisa memperlakukan alam dengan lebih baik daripada manusia.Alasan mengapa pulau Konglong merupakan pulau yang tidak terjamah manusia adalah karena lokasinya yang berjauhan dengan dengan pulau-pulau lain. Seribu pulau yang tersebar di sepanjang sisi depan daratan Caihong memiliki karakteristik yang sama yaitu saling berdekatan dan hanya dibatasi oleh selat-selat kecil. Sementara itu, pulau Konglong menjadi salah satu dari sedikit pulau yang terisolir. Berdiri di tengah hamparan
Pulau Konglong kembali menjadi pulau yang hanya dihuni binatang dan tumbuhan begitu Li Xian dan Zhou Fu melakukan penyeberangan ke pulau lain. Mereka menggunakan perahu rakit darurat yang dibuat dari gelondongan pohon-pohon besar. Sebelum pergi, mereka juga mengaburkan bekas penebangan tersebut.“Fu’er, ini bukanlah bentuk perahu yang layak untuk digunakan sebagai alat menyebrang lautan. Jika kau tak sedang bersamaku, kau tidak boleh menggunakan perahu rakit seperti ini di laut bebas.”Zhou Fu tidak memperhatikan ucapan kakeknya, ia sedang berdiri berkacak pinggang sambil memandangi langit yang sudah berhiaskan bintang. Li Xian yakin cucunya sedang menghayal tentang sesuatu. Li Xian sudah hafal jika pandanga Zhou Fu seperti itu, pasti ia sedang menghayal.Li Xian pun mulai mengatur strategi. Ia tak tahu berapa lama misi dalam gulungan perak itu ditentukan oleh pemangku organisasi. Bisa satu minggu atau bahkan hanya tiga hari saja. Sementara per
Sudah menjadi hal yang normal ketika seseorang pertama kali menginjakkan kaki ke sebuah pulau kecil, yang pertama kali terdengar adalah gemuruh dari beragam binatang rimba. Tetapi tidak demikian dengan hutan Youhi. Pemandangan hutan Youhi memang tampak normal sebagaimana pulau-pulau pada umumnya, tetapi perasaan Li Xian mengatakan jika ada yang tidak beres dengan pulau tersebut.“Fu’er, kau istirahat dulu di sini, kakek ingin memastikan sesuatu!”“Baiklah. Jika ada bahaya, Kakek jangan sungkan-sungkan meminta bantuanku.” Zhou Fu memberi usul dengan ekspresi yang serius, sepertinya dia memang sudah merasa menjadi pahlawan sejak ia berhasil menaklukan musuh tempo hari hanya dengan satu pukulan.Li Xian berjalan dengan hati-hati, ia penasaran apa yang membuat hutan tersebut menjadi sunyi. Langkah Li Xian terhenti ketika ia mendapati ada sebuah batu besar yang sepertinya sengaja diletakkan di bibi hutan dan cukup dekat dengan lokasi pan
Li Xian tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi Zhou Fu yang sepertinya tersinggung ketika Li Xian menyebut soal pertolongan Dewa.“Baiklah-baik, kakek menunggumu terus-menerus dua hari ini. Kakek sepertinya takut jika ada bahaya dan kakek sendirian,” tutur Li Xian sekadar untuk membuat Zhou Fu merasa berguna keberadaannya.“Jangan khawatir, Kek. Aku sudah di sini bersama kakek. Bahaya yang kemarin itu, sepertinya menyenangkan juga kalau datang lagi.”Li Xian dengan refleks memukul kepala Zhou Fu sebab bencana seperti dua hari silam itu bukanlah sesuatu yang bisa dijadikan candaan. Binatang seberat 1 ton saja akan bisa tersapu dengan mudah lalu tenggelam di dasar lautan jika dihantam tsunami seganas itu.“Jaga mulutmu, bocah!”***Tak hanya tsunami berkekuatan dahsyat, ternyata pulau Youhi juga memiliki beberapa gunung berapi yang aktif. Sesekali, pulau tersebut banjir air, dalam waktu yang lain, pulau ter
Kesalahpahaman antara Zhou Fu dan perempuan yang baru ia temui pada akhirnya harus terhenti ketika Zhou Fu mendengar suara langkah kaki mendekat. Suara itu adalah suara pergerakan beberapa orang yang cukup gesit dan lincah. Didengar dari laju pergerakannya, Zhou Fu yakin jika kecepatan langkah tersebut melebihi singa jantan yang kelaparan. “Itu dia nona Shen Shen! Jangan biarkan nona Shen Shen lolos!” Tiga orang pendekar laki-laki menyergap Zhou Fu dan perempuan yang ternyata bernama Shen Shen. Shen Shen bersembunyi di balik tubuh Zhou Fu dan memohon agar Zhou Fu bersedia menolongnya. “Tenang, akan kuhadapi mereka semua!” Insting Zhou Fu memang mengatakan jika Shen Shen memang sedang membutuhkan pertolongan. Zhou Fu pun mengambil sikap siap untuk memberi serangan pada tiga pendekar yang kini berdiri tak jauh darinya. “Minggir kau, Bocah! Jika tidak aku akan membelah tubuhmu menjadi dua bagian!” salah seorang dari tiga pendekar itu mena