Share

Penebusan

Aku memutar-mutar ponsel di genggamanku. Sambil berusaha menerawang kata apa yang pantas untuk kukatakan ketika berbicara dengan  Teh Anggi. Dari  pesan singkat yang ia titipkan pada bu Luluk, sudah pasti Teh Anggi sudah mengetahui semuanya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa marahnya Teh Anggi. Sembilan belas tahun hidup bersama dengannya, tak pernah ia marah padaku. Selalu saja mengalah dengan sikapku yang suka seenaknya. Namun kesalahanku kali ini beda, bukan hanya menyangkut diriku tapi juga hati abah dan ambu. Membayangkan bagaimana kecewanya mereka saja aku tak mampu. Aku takut hal itu terjadi.

Aku mengganti sim card yang sengaja satu bulan ini aku abaikan. Selain untuk menghindar dari abah dan ambu, rasanya sudah tidak ada hubungan penting lagi di nomor itu. Palingan teman-teman kampus yang menanyakan keberadaanku, atau sengaja julid atas gosib tentangku yang beredar di kampus.

Setelah sim card  terpasang aku instal  kembali sosial media dengan lencana hijau dan memasukkan nomor lamaku. Ratusan chat masuk dari aplikasi hijau di ponselku. Juga panggilan yang tak terjawab. “Ya Allah, Teh Anggi menghubungiku sampai ratusan kali,” gumamku. Setelah melihat panggilan. Kemudian aku beralih ke chat. Aku abaikan pesan yang menurutku tak begitu penting, aku terus menggulir layar sampai kutemukan chat dari Teh Anggi.

[Bagaimana kabarnya, Neng?]

[Sehat, Neng?]

[Abah dan Ambu cemas, Neng, Balas ya,]               

[Besok Teteh akan ke Jakarta, Abah dan Ambu ingin Teteh menyusulmu ke sana.]

[Di mana kamu sekarang? Apa sebenarnya yang kamu lakukan?]

[Hubungi Teteh, segera!]

Chat masuk berbondong melalui sms maupun aplikasi hijau. Pesan-pesan dari Teh Anggi. Dadaku berdetak lebih kencang, apa yang harus kulakukan?

Beberapa saat bergelut dengan pikiranku sendiri, akhirnnya aku memutuskan untuk menekan tanda hijau di ponsel. Terdengar dering dari ponsel. Cukup lama. Tapi belum juga ada jawaban dari pemilik nomor. Aku mendudukkan diri di sisi ranjang, mataku melilrik jam yang berdiri di atas nakas. Jam baru menjukkkan pukul sembilan malam, seharusnya Teh Anggi sudah bisa mengangkat panggilan dariku. Tiba-tiba layar ponselku berkedip. Aku segera menggeser layar ponsel.

“Assalamualaikum, Teh...”sapaku dengan sedikit gugup. Aku belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan yang mungkin saja disampaikan oleh Teteh. Meskipun biasanya aku cukup handal berkelit, namun untuk kali ini aku benar-benar merasa gusar.

“Waalaikum salam, bagaimana sehat?” jawab Teh Anggi.

“Alhamdulillah, Teh... Keadaan Neng baik-baik saja. Teteh gimana di sana, abah, ambu, sehan ‘kan?” tanyaku.

“Alhamdulillah semua sehat.” Sejenak kami hanya terdiam hanya terdengar embusan napas dan bunyi statistik jaringan. Aku diam, sembari berusaha mencerna keadaan ini. kenapa Teh Anggi masih terlihat tenang? Seharusnya ia marah padaku bukan setelah mengetahui semua masalah yang aku alami.

“Kamu enggak ingin menjelaskannya sama Teteh, Neng?” Jantungku berdetak satu kali lebih cepat mendengar pertanyaan Teh Anggi yang tiba-tiba. Walaupun aku sudah tahu hal ini pasti terjadi tapi belum ada jawaban yang pantas aku lontarkan.

Aku tak bisa menahan rasa yang bergejolak di  hati. Rasa bersalah, khawatir berkumpul menjadi satu.  Perlahan air mata yang sejak tadi menggenang di sudut mata mulai menetas, aku tahan sebisa mungkin agar tak bersuara. Karena itu hanya akan membuat orang-orang yang aku sayangi menjadi khawatir, selain itu aku juga malu untuk mengungkapkannya. Semua kejadian ini berawal dari ambisiku dan aku yang tak cukup kuat untuk menahan diri agar tidak mudah terpengaruh dengan gemerlap dunia yang bisa saja menyesatkanku.

“Maafkan aku, Teh-“ ucapku.

Teh Anggi terdiam sejenak. Terdengar embusan napasnya yang terasa berat. “Pulang, Neng, apa lagi yang kamu cari di sana?” kata Teh Anggi lagi. Sepertinya ia merasakan kegalauan yang aku rasakan.

“Neng sudah gagal, Teh.” Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku. Seharusnya aku tak perlu menunjukkan sisi lemahku. Toh Teh Anye pastinya sudah mengetahui semuanya.

“Kamu tahu? Kami semua sangat mengkhawatirkanmu, di saat kondisi seperti ini dan kamu tiba-tiba hilang tanpa kabar,” ujar Teh Anggi yang sedikit membuatku tersudut. Kata-katanya masih lembut seperti biasanya namun masih saja menohok di dadaku.

“Aku belum bisa pulang, Teh,” jawabku lirih. Sekalipun impianku untuk lulus dari universitas yang aku impikan itu gagal kudapatkan. Namun apa aku juga harus pulang dengan tangan hampa?

“Sudah cukup, Neng. Pulang. Kamu masih bisa melanjutkan impian kamu di sini.  Tidak harus di Jakarta,” ucap Teh Anggi masih kekeh dengan pendapatnya.

“Aku malu Teh, semua orang tahu kalau aku kuliah di sini. Dan tiba-tiba aku pulang, apa nanti orang bilang?” balasku.

“Masa depan kamu bukan mereka yang menentukan. Biarkan saja mereka berbicara seperti apa, nanti seiring berjalannya waktu mereka akan lupa dengan sendirinya.” ujar Teh Anggi. Mungkin Teh Anggi bisa berpikir seperti itu. Tapi tidak denganku, bagiku pendapat mereka itu penting menurutku. Karena aku tak suka dipandang sebelah mata.

“Neng, mohon Teh. Neng minta maaf, tolong sekali lagi beri Neng kesempatan. Neng juga ingin menjadi seperti Teteh yang selalu jadi kebanggaan. Dari dulu selalu saja Teteh yang terlihat cemerlang di mata banyak orang,” cercaku.

Astaghfirullah, kenapa berpikir begitu? Kami semua sayang  Neng,” sahut Teh Anggi. Aku meluapkan semuanya termasuk rasa cemburuku pada Teh Anggi yang selalu berprestasi di sekolah. Teh Anggi sangat baik, setiap hari selalu menemaniku mengerjakan tugas. Hanya saja aku yang terlalu manja, hingga berbuat seperti ini.

“Terserah kamu, Teteh sudah mengingatkanmu. Tapi, Teteh minta jaga perasaan abah dan ambu. Jangan buat beliau khawatir,” ucap Teh Anggi, lalu panggilan terputus tiba-tiba. meskipun tak diungkapkan, aku tahu Teh Anggi sangat kecewa dengan keputusanku. Hebatnya dia masih bisa memendamnya. Berbanding terbalik dengan sifatku yang menggebu dan susah mengenalikan emosi, salah satu dari sekian banyak hal yang membuatku terkagum pada Teh Anggi.

***

Matahari mulai beranjak dari peraduannya, embusan angin di pagi hari menerbangkan gorden yang tertiup angin dari celah-celah ventilasi kamar. Mataku sedikit terusik oleh sinar matahari yang menembus kaca. Aku menarik selimut tebalku hingga menutupi seluruh bagian tubuhku.

Suara ketukan pintu membuat mataku terbuka lebar. Meski masih malas untuk beranjak dari tempat tidur. Aku hanya menoleh, menatap pintu kamar berwarna coklat yang masih tertutup.

Pintu diketuk kembali. “Ini aku, Mey.”

Mendengar suara yang sangat familiar bagiku, dengan malas aku bangun dan berjalan ke arah pintu, “Sebentar.” Seruku.

“Aku  bawakan sarapan. Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya kak Dini. Ia langsung menerobos masuk begitu pintu terbuka lalu duduk di atas karpet.

“Sudah membaik. Seharusnya enggak usah repot-repot seperti ini.” Aku duduk di depannya. Terlihat tangannya cekatan mengeluarkan kotak makanan dari tas plastiknya.

“Jangan ngomong begitu. Oh, ya, maaf ya kalau rasanya enggak sesuai. Soalnya Mama sedang ke luar rumah pagi tadi,” ujar kak Dini.

“Enggak apa-apa, Kak. Terima kasih lho Kak.”

“Santai aja,” jawabnya. Ia melipat kembali tas plastiknya, lalu memasukknya ke dalam tas slempangnya. Aku menatapnya  yang hendak beranjak. “Langsung berangkat?” tanyaku.

“Iya, aku piket pagi. Kemarin aku pulang karena Mama sedang tak enak badan,” jawabnya.

Aku mengangguk mengerti. Rasanya malu. Perkataan sederhana dari kak Dini berhasil menamparku.  “Terima kasih, Kak,” seruku. Aku melihat Kak Dini meninggalkan kamarku. Aku menatap makanan yang telah tersaji di depanku. Menu sederhana, dua telur mata sapi dengan sambal goreng. Melihatnya membuat rinduku pada keluargaku semakin menggebu. Aku ingin pulang. Memeluk ambu erat,, mendengarkan nasehat bijak abah dan juga perdebatan dengan Teh  Anggi. Semuanya membuatku rindu.

“Sabar, Mey... kamu  harus bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi sebelum kembali ke rumah.” Tekadku sudah bulat. Meskipun mungkin abah dan ambu tak begitu mengharapkan mimpiku terwujud, tapi melihat kegagalanku pastinya akan membuat mereka kecewa. Setiap orang tua pasti dan mengharapkan anaknya dalam kesusahan, mereka akan selalu mengharapkan anak-anak mereka hidup dengan bahagia dengan pilihan mereka.

***

Tak ada hal istimewa yang bisa kulakukan beberapa hari ini. hari-hariku hanya berkutat pada kegiatan di kamar kos yang membuat jemu. Mau apa lagi, masih menunggu tiga hari lagi baru bisa menikmati udara di luar sana. Aku mulai memikir ulang, untuk menata hidupku kembali. Dengan berbekal ponsel, aku mencoba mencari lowongan kerja, tak apalah bukan kerja kantoran yang penting halal dan bisa memenuhi kebutuhanku ke depan. Saat ini yang kupikirkan adalah kerja, untuk pendidikan aku akan mencoba mencari kelas karyawan nanti.

Aku mulai menggulir layar ponsel. Ku buka aplikasi F dengan lencana biru yang baru ku instal beberapa hari lalu. Mencoba mencari kontak teman-teman lama yang sekiranya bisa membantuku. Aku juga masuk di beberapa grup lowongan kerja daerah Jakarta di aplikasi F. Ada banyak tawaran lowongan di sana. Aku mulai menghubungi beberapa kontak di sana untuk menanyakan ketersediaan lowongan yang di pasang.

Sekian lama menunggu, namun belum ada juga jawaban yang menyenangkan. Posisi-posisi yang di tawarkan sudah ada yang mengisi. Hingga lewat tengah hari, aku masih sibuk dengan kegiatan baruku itu. Hingga terdengar bunyi familiar dari perut. Aku mengecek jam yang tertera di layar ponsel. Ternyata aku sudah melewatkan makan siang.

Aku membuka aplikasi berlencana hijau dengan logo makanan. Tentu saja untuk memesan beberapa makanan dari sana. Sejak keluar dari rumah sakit, aku memang lebih banyak menghabiskan waktuku sendiri. Kamu tahu hal yang menyakitkan selain kematian ketika terkapar virus itu? Entah karena pemberitaan yang beredar terlalu berlebihan atau bagaimana, yang jelas orang-orang yang mengetahui hal itu, akan menghindar dariku. Meskipun tidak semuanya. Tapi, itulah yang kualami. Orang-orang yang sebelumnya dekat denganku di kost pun. Kini menghindar, sibuk dengan dunianya sendiri.

Tak masalah, mau gimana lagi. Mungkin itu yang terbaik untuk mencegah merambahnya  virus itu semakin luas. Sebagaimana virus itu bisa dengan cepat menyebar melalui udara maupun benda yang disentuh oleh orang yang terkapar.

Ponselku bergetar. Satu panggilan masuk di ponselku dari nomor yang tak di kenal.

“Halo, mau nganter pesanan, Mbak. Saya sudah ada di depan,” ujar seorang laki-laki yang merupakan driver yang mengantarkan pesanan makanan siang. Aku memintanya untuk menunggu di depan. Kos lantai satu ini terdiri dari 18 pintu yang saling berhadapan. Jadi, harus berjalan ke pintu utama dulu seblum menemui driver itu.

“Ini, Mbak, Pesanannya,” ujar laki-laki itu, sambil menyerahkan satu kantong plastik hitam kepadaku.

“Ini ya, Pak. Ongkosnya.” Aku menyerahkan beberapa lembar uang sesuai harga dan tarif  yang sesuai dengan aplikasi. Laki-laki yang sudah paruh baya itu tersenyum. memperlihatkan guratan-guratan halus di wajahnya. “Terima kasih ya, Mbak. Alhamdulillah.”

Hatiku tersentuh mendengarnya langsung mengucap syukur dengan uang tak seberapa yang kuberikan. Malu- betapa tamaknya aku selama ini. Selalu merasa kurang, tak lupa menjaga apa yang telah aku punya.

Aku menatap punggung driver itu, hingga tubuh lelah itu menghilang di balik gerbang utama berwarna putih setinggi dua meter.

Aku mengeluarkan sterofoam dari dalam plastik lalu membukanya perlahan. Aku menatap nasi di depanku. Kering tempe bertabur ikan teri dengan irisan-irisan telur. Aku menelan saliva yang terasa pahit. Biasanya makanan ini bisa kudapatkan dengan gratis di rumah. Kini, ini makanan yang mahak menurut isi dompetku. Aku harus bisa lebih berhemat. Sebelum mendapatkan pekerjaan yang layak. Untung saja masih ada sedikit uang bulanan dari Teh Anggi, kalau tidak mungkin aku kelaparan sepanjang hari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status