Share

Maaf

Aku melempar kaleng minum bekas minumku ke dalam tempat sampah di sudut kamarku. Tempat sampah berbahan plastik itu hampir penuh dengan plastik-plastik bekas snack. Sudah tiga hari kubiarkan menumpuk di sudut ruang. Jika kak Dini melihatnya sudah pasti dia akan mengelus dada. Sebenarnya aku bukan orang sejorok itu. Aku hanya malas saja.

Aku masih di tempat tidur dengan selimut yang menggulung di tubuhku. Sambil melihat stand up comedy dari Ytube. Ah, heran aku. Apa coba yang lucu sampai mereka tertawa terpingkal-pingkal seperti itu. Yah, meskipun memang ada sebagian ucapan sarkas mereka yang menggelitik.

Ketukan pintu menghentikan aktifitasku. Aku bergegas bangun. Berjalan mendekati pintu kamar kos. “Pagi banget sih, Kak,” rengekku.

“Assalamualaikum,” sapanya. Saking tidak bersemangatnya, aku lupa belum mengucapkan salam.

“Waalaikum salam,” jawabku.

Tak terpikir, kak Dini akan tiba sepagi ini.  Dia tak sendiri, laki-laki muda yang seumuran dengannya berdiri di belakangnya. Ia mengedarkan pandangannya di sekitar kos.

“Ayo masuk dulu.” Habislah, aku belum membersihkan sisa-sisa kebobrokanku yang berserakan. ‘Kenapa Kak Dini tidak bilang sih kalau datangnya sepagi ini. Sama temannya lagi,” gerutuku dalam hati. Untung saja aku sudah mandi subuh tadi, sekalian bersuci setelah tamu bulananku pergi.

“Ya Allah, Mey... Ngapain aja sih seminggu.” Mulai kan Teh Anggi KW dua mulai berkomentar. Aku nyengir kuda mendengar keluhannya. Ia langsung duduk di karpet. Sedangkan aku buru-buru memunguti sampai yang berceceran dan mengikat plastik yang membungkus tempat sampah lalu membuangnya ke luar.

“Maaf ya, Kak. Aku sibuk banget akhir-akhir ini,” elakku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

“Alah, alesan,” sarkas kak Dini. Aku menggerutu dalam hati, tak bisakah membuatku terlihat baik sebentar saja di depan temannya. Tapi, ya sudahlah memang apa yang aku harapkan.

“Ya sudah, Din. Cepet yuk!” ujar laki-laki di sampingnya. Aku menatap wajah ganteng itu, kulit kuning langsat, hidungnya yang tinggi, sorot matanya yang teduh, serta alis tebal yang hampir menyatu. Satu kata untuknya ‘sempurna’. Arkan Suryanto- nama yang tertera pada name tag yang menggantung di lehernya.

“Iya, Ar...” jawab Kak Dini lembut. Aku mendengus, kenapa dua hamba Tuhan ini terlihat cocok sekali, membuat rasa iri menelusup hatiku.

“Buru-buru?” tanyaku.

“Iya, aku ada tugas lain. Ini aku mampir sini dulu,” jawab kak Dini. Tetap dengan nada lembutnya.

Aku duduk di ranjang. Lalu, mendengakkan kepala. Kemudian kak Dini berdiri di depanku. ia memasukkan alat berbentuk cutton bud dengan tangkai yang panjang ke dalam hidung, disapukann dan diputar hingga bagian dalam beberapa detik.  Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, ia memasukkan cutton bud itu ke dalam wadah yang sudah disiapkan oleh Arkan.

“Semoga hasilnya negatif, ya,” ujar kak Dini yang aku aminkan.

Setelah selesai menjalankan tes, kak Dini pamit. Aku mengantarkan mereka sampai di depan pintu utama. Menunggunya hingga mobil sedan yang mereka kendarai melesat dari halaman kos.

Aku kembali ke kamar. Langkahku terhenti di depan pintu kamarku, pandanganku tertuju pada kantong plastik merah yang teronggok di lantai. Itu sampah dari kamarku tadi, sebelum bu Luluk datang, aku bertundak lebih dulu. Aku mengambilnya, lalu membawanya ke halaman samping. Tempat pembuangan sampah terakhir. Di sana sampah akan dipisahkan antara sampah organik dan anorganik.

Setelah semua  beres, aku membersihkan diri. Mandi, kemudian melaksanakan sholat asyar. Aku memang bukan seorang muslimah yang taat. Bahkan aku pernah melakukan kesalahan yang fatal. Namun aku tahu kewajibanku sebagai muslimah walaupun memang masih setengah-setengah.

****

Jam di atas meja menunjukkan pukul  09.00 malam. Karena ini akhir pekan, kos-kosan nampak sepi. Aku di dalam kamar seorang diri duduk di samping jendela menikmati embusan angin yang menerebos dari celah jendela kaca yang ku buka sedikit. Tempat ini menjadi tempat favoritku selama beberapa hari ini. Duduk santai menatap pekatnya langit yang bertabur bintang atau baca novel, begitulah aktifitasku sebelum tidur.

Dering ponsel membuyarkan konsentrasiku saat membaca novel online dari salah satu penulis famous indonesia melalui aplikasi oranye. Sebenarnya aku lebih suka baca buku fisik dari pada online, namun budget yang terbatas jadilah aku menghabiskan waktuku untuk baca novel online. Toh, banyak juga karya mereka yang berkualiatas.

Aku menggeser lencana biru yang bergerak-gerak dari tadi. “Assalamualaikum...” kupasang senyum termanis yang aku miliki  begitu dua orang yang aku sayangi terlihat di layar ponsel.

“Waalaikum salam, Neng... Apa kabar sehat?” tanya ambu antusias. Sedang pria di sampingnya hanya diam dengan lengkungan tipis berbentuk bulan sabit di bibirnya.

Akupun membalas senyuman itu. Rasa bahagia yang membuncah tak mampu aku gambarkan. Dua pahlawan yang aku rindukan kini bisa kutatap senyumnya walau hanya lewat video. “Alhamdulillah, Neng baik-baik saja di sini Ambu, Abah. Abah dan Ambu sehat ‘kan?” tanyaku.

“Alhamdulillah, kami semua sehat.” Melihat senyumnya tak ada yang berbeda. Mungkin Teh Anggi benar-benar tak membocorkannya Aku harus berterima kasih  banyak pada Teh Anggi nanti.

“Kuliahnya gimana, Neng?” Hatiku berdetak tak berirama dengan tiba-tiba. Bagaimana aku harus menjelaskannya. Aku berusaha tersenyum, tak ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.

“Neng, lancar ’kan?” tanya Ambu mengulangi pertanyaannya lagi, karena aku yang masih terdiam.

“Alhamudlillah, Ambu-Abah, semua lancar,” dustaku. Tak apa kali ini aku harus berbohong, tapi aku berjanji, suatu hari nanti aku pasti bisa memberi yang terbaik yang untuk mereka.

“Alhamdulillah, kami di sini khawatir, Neng. Apalagi setelah dengar berita yang menakutkan seperti itu. Di kampung saja sepi. Kemarin pasar sempat di tutup juga untuk dilakukn penyemprotan.” Aku tersenyum melihat bibir mungil ambu yang bercerita penuh antusias, sosok panutanku yang menjadi madrasah pertama bagiku.

“Neng, kemana saja baru bisa di hubungi?” tanya abah. Aku melihat ambu menyenggol lengan abah berkali-kali.

Abah menoleh ke arah ambu. Tak mengerti dengan kode yang ambu berikan. Memang dasar abah terlalu kaku, namun ia begitu tanggung jawab dan mengayomi kami sekeluarga.

“Kita harus tahu, Dia anak perempuan kita, lho,” ujar Abah.

Ambu hanya mengiyakan alasan abah. Tak ingin  berdebat terlalu lama.

“Maaf Ambu, Abah. Sudah membuat kalian  khawatir. Neng di rawat di rumah sakit. Tapi, alhamdulillah. Sekarang sudah membaik. Neng sudah bisa pulang ke kos,” ucapku meyakinkan mereka agar tak khawatir.

“Ya-Allah, Neng,,, kenapa tidak bilang?” ujar ambu lirih sekali. Aku bisa menebak, hatinya terluka saat ini karena perbuatanku.

“Bener,, Neng sudah baik-baik saja. Jangan khawatir ya, doakan saja Neng dari rumah,” jawabku.

Kami bercerita cukup banyak. Mengurai tabungan rindu yang begitu menggunung. Kami mengakhiri panggilan sampai hampir tengah malam. Karena ambu yang baru sembuh dari sakit harus segera istirahat. Ternyata ikatan batinku dan ambu begitu kuat, hingga saat aku terpurukpun abah dan ambu bisa merasakannya, Maafkan aku ambu – abah bisikku dalam diam.                                           

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status