Kunjunganku ke apartemen Lindsay berujung pada makan malam ekstra lemak yang menurut Lindsay semua dipesan oleh David. Entah maksudnya apa? Semua yang ia pesan adalah hidangan berlemak, mulai dari pasta dengan lumuran keju yang sangat banyak, sebuah casserole penuh daging dan sup daging. Ia memesan dua porsi kecil caesar salad dan ternyata dua salad itu diperuntukkan untuk David dan Lindsay.
"Sudah, makan sana! Kau kan suka makanan model seperti itu... berlemak! Lagian kau tak akan kenyang kalau memakan seporsi kecil salad sepertiku dan Lindsay!" ucap David yang sukses membuatku ingin menangis. Kenapa ia jahat sekali?
Aku hanya duduk dan menatapnya datar. Ia benar-benar ingin melecehkanku.
"Linds, aku mau pulang!" ucapku tegas.
"Loh, why? Kau belum makan!" protesnya.
"Dan... diejek oleh pria ini?! Sudah cukup! Kau memang kaya dan bertubuh bagus, karier cemerlang! Ya, kau sempurna... bertolak belakang denganku yang miskin, jelek, gendut, dan pengangguran... tapi aku juga MANUSIA! Punya harga diri!" protesku setengah histeris, aku menahan air mata yang mau keluar. Aku menahannya setengah mati karena kalau air mata ini keluar maka aku kalah. Aku akan terus menangis dan meratapi nasibku.
Lindsay memukuli bahu David dengan kencang. "Gara-gara kau, sahabatku menangis! Berengsek!" pukul Lindsay lagi, sementara David bergeming dan menatapku dengan jijik.
"Kau hanya bisa marah? Kenapa tak berusaha mengubah nasibmu sendiri?! Kalau kau mau dihargai... hargai dirimu sendiri, rawat dirimu, biar tak terlihat menjijikkan seperti ini! Bahkan babi di kandang peternakanku terlihat lebih lucu!" lanjut David.
Ucapan itu membuatku mengangguk. Persetan dengan semua ini! Sebuah keputusan yang salah aku datang ke tempat ini, aku dan David takkan pernah bisa akur. Kami polar opposite... tidak bisa! Aku berdiri dan mencari tas ranselku lalu berjalan keluar apartemen. Masa bodoh kalau aku harus berjalan kaki berjam-jam.
Aku berjalan cepat keluar dari apartemen mewah di pusat kota ini. Aku harus berjalan tiga puluh menit lebih untuk sampai ke kontrakanku. Ya, aku tahu persis karena aku sering berjalan pulang ke kontrakanku dengan berjalan kaki walau tak pernah malam hari. Urgent, hari ini urgent demi membela harga diri yang tinggal secuil. Aku lebih baik berjalan kaki malam-malam seperti ini.
Aku baru berjalan dua belas menit dan baru sampai di persimpangan keluar kompleks elit di kota ini. Masih lebih dari setengah jalan jalur yang harus kutempuh dan... tiba-tiba turunlah hujan deras. Yes, perfect.
Aku berjalan pasrah dan menikmati guyuran hujan di malam hari, untung esok masih hari Kamis. Di hari Jumat aku ada ujian penting dan sepertinya esok aku akan sakit. What a day!
Aku tiba di kontrakanku dengan keadaan menggigil dan basah kuyup, aku seperti seekor tikus yang berlarian di tengah hujan, basah, lepek dan menyedihkan. Setidaknya dengan guyuran hujan tadi tak ada orang yang kutemui di jalan... dan tak ada yang tahu aku sepanjang jalan menangis, menangisi nasibku yang miskin dan diriku yang buruk rupa. Aku membuat beberapa perandaian yang sia-sia.
Kalau saja, orang tuaku bukan petani miskin di kampung.
Kalau saja, aku tidak dilahirkan dengan gemuk.
Kalau saja, aku punya cukup uang untuk merawat diriku.
Si bodoh itu berhasil membuat aku merasa rendah dirisebuah sifat yang tak perlu dilatih lagi karena sejak lahir sifat itu sudah menempel erat pada diriku.
Hacchiii!
Hacchiii!
Aku bersin berulang kali, fixed positif, aku sakit. Aku ke kamar mandi dan membilas tubuhku lalu berganti pakaian baru. Aku belum makan dan mandi hujan di malam hari... semoga saja hari Jumat aku sudah sembuh. Aku menarik selimut kumalku dan berusaha tidur.
Aku menyumpahi seorang makhluk bernama David Robinson agar hidupnya terkutuk sepertiku. Aku menyalakan televisi berukuran sangat kecil dan masih model lama, satu-satunya barang yang kubeli dari hasil keringatku. Sekarang seharusnya ada sebuah sinetron yang tiap hari aku tonton, sebuah drama rumah tangga dengan beberapa ipar yang menyebalkan.
Yap, sinetron itu tayang. Aku mengeratkan selimut untuk menghangatkan tubuhku yang masih menggigil, mataku fokus menatap layar kecil itu mengikuti drama rumah tangga yang sangat panjang dan sekarang sampai di episode dua ratus lima puluh tujuh. Saat sang pemeran utama hendak memberi kejutan kepada istrinya... lalu jeda iklan.
"AGH, padahal lagi seru-serunya!" keluhku setengah berteriak—tak mengapa aku berteriak karena kontrakanku terletak paling ujung dan di sebelah kiriku tak berpenghuni.
Muncul iklan minuman penyegar isotonik dan modelnya adalah ah, pria busuk itu lagi! Ia dengan seragam kesebelasannya sedang bermain bola dan kehausan, lalu ia membuka botol kemasan minuman itu dengan sensual. Sensual? Ya, karena ia dengan sengaja menumpahkan minuman itu ke kausnya yang semi transparan, mempertontonkan ototnya yang liat. Benar-benar pria murahan! Menjual tubuh demi uang, mendingan juga aku!
Hari ini adalah Jumat, akan ada ujian penting hari ini dan terpaksa aku masuk kuliah—kemarin aku benar-benar tidur seharian. Sebenarnya aku tak terlalu fit hari ini, tapi apa boleh buat karena quiz hari ini adalah quiz terakhir sebelum ujian semester.Aku nekat berangkat. Aku mengambil celana bahan longgar dengan blouse berwarna hitam, kupakai kembali jaket super tebalku yang memiliki hoodie, setidaknya tubuh dan leherku terasa hangat. Aku berjalan kaki ke kampus, aku tahu jalur cepat dan hanya akan memakan waktu sepuluh menit berjalan kaki, melewati kampung bergang sempit."Hem! Kau ke mana kemarin? Kenapa ponselmu tak diangkat!" omel seorang perempuan yang menyambutku di gerbang kampus. Ia memakai setelah serba pink, entah itu brand dari fashion house mana."Sakit," jawabku irit. "Ponselku hilang, waktu aku ke downtown untuk membeli peralatan lukis, aku dicopet.""Jangan bilang kau marah deng
Benar ucapan Lindsay, ia menunggu sampai paling akhir, dan akhirnya kami berjalan bersamaan menuju aula depan kampus. Aku sudah menitipkan karya masterpiece-ku pada panitia pameran lukisan.Acara akan dimulai dua menit lagi, dan semua panitia sudah berbaris rapi mengenakan alamamater berwarna biru tua. Aku berdiri di samping lukisanku, bersiap kalau ada orang yang bertanya tentang lukisanku ini. Aku melukis sebuah wajah pria berhidung ala Eropa, berambut ikal hitam, berseragam tentara di zaman dahulu kala, aku melukis versi realistik dari Napoleon Bonaparte. Aku pelukis realis, aku suka menggambar sejak aku kecil dan selagi remaja aku menyukai manga, dan inilah aku... seorang mahasiswi jurusan lukis yang sedang menjual lukisannya untuk bertahan hidup.Ada beberapa orang yang berhenti di lukisanku, dua dari mereka bertanya siapa gerangan yang aku lukis dan jenis cat yang aku pakai. Aku menjawab bahwa pria tegak di lukisanku adalah panglima pe
Lindsay akhirnya memilih kue vanilla sebagai base, lalu sekarang giliran memilih pastry yang akan dihidangkan untuk tamu. Beberapa karyawan menata meja di depan kami dan meletakkan beberapa piring berisi pastry beraneka jenis."Rose, aku butuh bantuanmu. Ayo pilihkan dua puluh yang terbaik!" pinta Lindsay kepadaku dengan wajah merengek."Dua puluh? Jadi kau mau aku mencicipi semuanya?!" balasku tak percaya."Hehe, lalu bagaimana lagi?" tanyanya ulang sambil meringis."Langsung pilih saja! Aku sudah tak sanggup makan lagi!" omelku. Memang aku tak suka kue-kuean, jadi di bagian ini aku menyerah kalah."Oh ya? Kau bisa tak sanggup makan? Menarik!" bisik David di sampingku. Aku tak menengok ataupun membalas ucapannya, wajahku menatap lurus pada sebuah croissant cokelat di depanku."Kupikir-pikir.... Kau memang terlihat kurusan, kau diet ya?" lanjut David lagi. Ak
Aku tersadar dengan bau antiseptik yang menyengat, tubuhku terasa habis dipukuli.Aku menoleh di sebelah kanan, ada David yang sedang bersandar di kursi tunggu rumah sakit dengan lengan kemejanya digulung sampai siku. Jadi aku di rumah sakit? Memang ada apa?"Kau sudah sadar?" ucap suara bariton yang paling kubenci. Aku menoleh ke arahnya dengan kedua alis terangkat. "Kau pingsan dan aku membawamu ke sini. Kau memiliki peradangan di lambung... setidaknya kau harus dirawat dulu baru bisa pulang.""Senin depan aku ada ujian di kampus!" ucapku horor, ini adalah pekan Minggu tenang ujian akhir semester. Berikutnya Adalah pekan ujian akhir semester."Be good. Jadi kau bisa ikut ujian hari Senin nanti. apa yang dikatakan dokter dan hentikan diet bodohmu itu! Kau hanya membuat tubuhmu menderita!" omelnya. Aku sedang sakit seperti ini, ia masih sempat-sempatnya memarahiku."Aku tidak die
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seorang wanita berusia setengah abad membawakan nampan dengan senyuman lebarnya ke dalam kamar yang kugunakan. "Selamat pagi... aku yang ditugaskan Tuan Robinson untuk memasak untukmu... aku Alice." Ia meletakkan mangkuk berisi bubur di nakas, juga obat yang harus kuminum. Aku tersenyum lebar. "Terima kasih, Alice." "Kau punya kekasih yang hebat dan baik," ucapnya lalu berjalan keluar. Wait... what? Kekasih yang baik? Maksudnya siapa? Dave?? Demi Dewa Ubur-ubur... jangan sampai itu terjadi! Aku tak rela hidupku ditindas oleh pria seperti dirinya! "Rose, kau bagaimana? Better?" Lindsay datang ke kamarku dengan pakaian trendy serba army. Ini hari libur kuliah dan ia sangat bergaya. Ini sudah memasuki pekan tenang menjelang ujian akhir. "Yes and no. Masih perih untuk menelan," jawabku tersenyum kecil. "Kau m
Aku jauh lebih sehat sekarang, dan hari ini adalah hari terakhir ujian akhir semesterku. Selama ini aku tinggal di apartemen Lindsay dan dirawat oleh Alice. Ia memberiku makanan setiap dua jam sekali dan obat-obatan. Aku jauh lebih kuat dan ringan sekarang. Aku selesai mengerjakan semua ujianku hari ini sementara Lindsay sudah selesai sejak tiga jam yang lalu, ia berjanji menungguku di parkiran. Here I am menunggu plus mencari Lindsay dan mobilnya. Aku mencoba menelepon ponselnya, namun tak diangkat. Sampai ada mobil putih berhenti di depanku. "Naik!" ucap suara pria saat jendela setengah terbuka. Aku menunduk sedikit untuk melihat siapa gerangan pria dengan suara menyebalkan itu. Dan bodohnya aku yang harus memastikan dengan mata dari indra pendengaranku... deep down aku sudah tahu kalau itu Dave. Ah, kenapa ia sudah pulang? Aku baru selesai menjawab semua e-mail penawaran iklannya dua hari yang lalu dan sejauh in
Dave menyewa satu lantai penuh hotel Ritz Carlton di Las Vegas, aula hotel ini yang akan menjadi venue acara pertunangan Lindsay dan Rick.Aku sudah membeli gaun yang pantas untuk acara esok malam. Aku sekamar dengan Lili dan di kamar sampingku adalah Rowena dan Gracia. Dave berada di kamar paling bagus dan Lindsay di sampingnya. Kami akan menginap tiga hari di hotel ini karena acara pertunangan Lindsay akan berlangsung besok malam."Aku sudah keluar uang sangat banyak untuk acaramu, so you better treat me better, Sis!" omel Dave, yang dijawab sebuah senyuman paling merekah dari Lindsay. Menurut Lindsay, Dave baru saja membayar kontan semua tagihan acaranya termasuk liburan Lindsay dan Rick pasca acara. Aku selalu membatin kenapa Rick tidak ada andil dalam acara ini? Bahkan berdasarkan keterangan Lindsay, Dave yang membayar bahkan sampai hal yang paling sepele... valet mobil."Rose... kau kelihatan lebih kurus." Lili yang sedang bersandar
"Dave! Dave, hentikan!" teriakku, aku menggandoli tangan Dave. Tangannya yang kuat menghajar Rick sampai ia berdarah-darah, tubuh Rick bergetar hebat dan ia seperti kehabisan napas. Dave masih menggila membabi-buta memukul wajah, dada, dan kepalanya. Ia tak menggubris omonganku dan masih memukuli Rick dengan nafsu."Dave, dia bisa mati!" Aku menahan tangannya lagi, dan berteriak sekencang-kencangnya. Lindsay sepertinya sangat syok dan memeluk Lili erat. Ia kalut antara takut dan sedih melihat sosok Rick yang benar-benar babak belur."Rose, Rick sudah mau mati!" teriak Lili yang membuat aku juga ikut panik. Dave tak ada tanda akan berhenti menghajar Rick."Ia tak mendengarkanku!" keluhku frustrasi."Alihkan perhatiannya!" perintah Lili kepadaku. Aku berpikir... apa yang harus kulakukan untuk mengalihkan perhatiannya? Tubuhnya terlalu tinggi untuk kuraih, aku juga kalah kuat kalau harus menarik tubuhnya."Apa?!" teriakku kesal dan putus asa."