Share

3. Marah

Kunjunganku ke apartemen Lindsay berujung pada makan malam ekstra lemak yang menurut Lindsay semua dipesan oleh David. Entah maksudnya apa? Semua yang ia pesan adalah hidangan berlemak, mulai dari pasta dengan lumuran keju yang sangat banyak, sebuah casserole penuh daging dan sup daging. Ia memesan dua porsi kecil caesar salad dan ternyata dua salad itu diperuntukkan untuk David dan Lindsay.

"Sudah, makan sana! Kau kan suka makanan model seperti itu... berlemak! Lagian kau tak akan kenyang kalau memakan seporsi kecil salad sepertiku dan Lindsay!" ucap David yang sukses membuatku ingin menangis. Kenapa ia jahat sekali?

Aku hanya duduk dan menatapnya datar. Ia benar-benar ingin melecehkanku.

"Linds, aku mau pulang!" ucapku tegas.

"Loh, why? Kau belum makan!" protesnya.

"Dan... diejek oleh pria ini?! Sudah cukup! Kau memang kaya dan bertubuh bagus, karier cemerlang! Ya, kau sempurna... bertolak belakang denganku yang miskin, jelek, gendut, dan pengangguran... tapi aku juga MANUSIA! Punya harga diri!" protesku setengah histeris, aku menahan air mata yang mau keluar. Aku menahannya setengah mati karena kalau air mata ini keluar maka aku kalah. Aku akan terus menangis dan meratapi nasibku.

Lindsay memukuli bahu David dengan kencang. "Gara-gara kau, sahabatku menangis! Berengsek!" pukul Lindsay lagi, sementara David bergeming dan menatapku dengan jijik.

"Kau hanya bisa marah? Kenapa tak berusaha mengubah nasibmu sendiri?! Kalau kau mau dihargai... hargai dirimu sendiri, rawat dirimu, biar tak terlihat menjijikkan seperti ini! Bahkan babi di kandang peternakanku terlihat lebih lucu!" lanjut David.

Ucapan itu membuatku mengangguk. Persetan dengan semua ini! Sebuah keputusan yang salah aku datang ke tempat ini, aku dan David takkan pernah bisa akur. Kami polar opposite... tidak bisa! Aku berdiri dan mencari tas ranselku lalu berjalan keluar apartemen. Masa bodoh kalau aku harus berjalan kaki berjam-jam.

Aku berjalan cepat keluar dari apartemen mewah di pusat kota ini. Aku harus berjalan tiga puluh menit lebih untuk sampai ke kontrakanku. Ya, aku tahu persis karena aku sering berjalan pulang ke kontrakanku dengan berjalan kaki walau tak pernah malam hari. Urgent, hari ini urgent demi membela harga diri yang tinggal secuil. Aku lebih baik berjalan kaki malam-malam seperti ini.

Aku baru berjalan dua belas menit dan baru sampai di persimpangan keluar kompleks elit di kota ini. Masih lebih dari setengah jalan jalur yang harus kutempuh dan... tiba-tiba turunlah hujan deras. Yes, perfect.

Aku berjalan pasrah dan menikmati guyuran hujan di malam hari, untung esok masih hari Kamis. Di hari Jumat aku ada ujian penting dan sepertinya esok aku akan sakit. What a day!

Aku tiba di kontrakanku dengan keadaan menggigil dan basah kuyup, aku seperti seekor tikus yang berlarian di tengah hujan, basah, lepek dan menyedihkan. Setidaknya dengan guyuran hujan tadi tak ada orang yang kutemui di jalan... dan tak ada yang tahu aku sepanjang jalan menangis, menangisi nasibku yang miskin dan diriku yang buruk rupa. Aku membuat beberapa perandaian yang sia-sia.

Kalau saja, orang tuaku bukan petani miskin di kampung.

Kalau saja, aku tidak dilahirkan dengan gemuk.

Kalau saja, aku punya cukup uang untuk merawat diriku.

Si bodoh itu berhasil membuat aku merasa rendah dirisebuah sifat yang tak perlu dilatih lagi karena sejak lahir sifat itu sudah menempel erat pada diriku.

Hacchiii!

Hacchiii!

Aku bersin berulang kali, fixed positif, aku sakit. Aku ke kamar mandi dan membilas tubuhku lalu berganti pakaian baru. Aku belum makan dan mandi hujan di malam hari... semoga saja hari Jumat aku sudah sembuh. Aku menarik selimut kumalku dan berusaha tidur.

Aku menyumpahi seorang makhluk bernama David Robinson agar hidupnya terkutuk sepertiku. Aku menyalakan televisi berukuran sangat kecil dan masih model lama, satu-satunya barang yang kubeli dari hasil keringatku. Sekarang seharusnya ada sebuah sinetron yang tiap hari aku tonton, sebuah drama rumah tangga dengan beberapa ipar yang menyebalkan.

Yap, sinetron itu tayang. Aku mengeratkan selimut untuk menghangatkan tubuhku yang masih menggigil, mataku fokus menatap layar kecil itu mengikuti drama rumah tangga yang sangat panjang dan sekarang sampai di episode dua ratus lima puluh tujuh. Saat sang pemeran utama hendak memberi kejutan kepada istrinya... lalu jeda iklan.

"AGH, padahal lagi seru-serunya!" keluhku setengah berteriak—tak mengapa aku berteriak karena kontrakanku terletak paling ujung dan di sebelah kiriku tak berpenghuni.

Muncul iklan minuman penyegar isotonik dan modelnya adalah ah, pria busuk itu lagi! Ia dengan seragam kesebelasannya sedang bermain bola dan kehausan, lalu ia membuka botol kemasan minuman itu dengan sensual. Sensual? Ya, karena ia dengan sengaja menumpahkan minuman itu ke kausnya yang semi transparan, mempertontonkan ototnya yang liat. Benar-benar pria murahan! Menjual tubuh demi uang, mendingan juga aku!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status