Share

3. Menggali Kuburan Sendiri

“Kita mau ke mana, Nona?”

Agnes masih melempar pandang ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi oleh sandiwara berbisa yang tadi dimainkannya di hadapan sang mama.

Untung saja lelaki asing yang diketahui bernama Aksa itu tidak terlalu ambil peduli dan tidak banyak tanya. Itu karena dia memang tidak mendengar dialog pertama antara Agnes dan mamanya. Jadi, dia hanya menjawab seadanya pertanyaan yang diajukan Ranty, dengan jujur dan tanpa rasa canggung.

“Nona Agnes!”

Kali ini Aksa memanggil dengan nada lebih keras.

“Hah! Apa?” Agnes gelagapan.

“Ke mana sekarang?”

“Tentu saja ke kantorku.”

“Aku tidak tahu di mana kantormu, Nona.”

Agnes menoleh kaget pada Aksa yang masih fokus di belakang roda kemudi.

“Bisa tidak kalau kamu memanggilku Agnes saja? Tidak perlu embel-embel ‘Nona’ yang menggelikan itu.”

“Rasanya sangat tidak sopan. Aku kan hanya karyawan, bukan teman sepermainan.”

“Kalau kamu pikir dengan sebuah panggilan kehormatan seseorang bisa menjadi sangat terhormat, kamu keliru,” bantah Agnes. “Aku tidak seperti mereka yang gila hormat, tetapi faktanya akhlak mereka menunjukkan yang sebaliknya.”

Meskipun merasa jengkel lantaran Aksa terus saja memanggilnya Nona, Agnes tak bisa menampik kenyataan bahwa dia harus memberi arahan ke mana Aksa mesti membawanya.

Aksa menahan senyum mendengar gerutuan Agnes. Sekilas dia mengintip ekspresi bibir manyun bos barunya itu dari kaca spion tengah.

'Menggemaskan!' Aksa membatin, lalu terperangah dengan penilaiannya itu.

Hening. Baik Agnes maupun Aksa sama-sama membungkam diri. Keduanya sibuk bergelut dengan pikiran masing-masing.

Sesekali Aksa curi-curi pandang dari kaca spion sembari memperhatikan penampilan sang bos.

Tubuh tinggi langsing Agnes terbalut setelan blazer putih dipadu celana. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat dibiarkan tergerai lepas. Bibir sensualnya dipoles lipstik warna nude, terkesan basah dan sangat menggoda. Refleks Aksa menelan ludah saat melihatnya.

Lama-lama memandangi wajah cantik Agnes mengingatkan Aksa pada sosok Liu Yifei, aktris cantik China yang berperan sebagai Mulan—Seorang jenderal wanita yang gagah berani, penuh semangat, cerdas, dan pantang menyerah.

Apakah sosok yang duduk di jok belakang itu juga memiliki karakter yang sama dengan Mulan? Hati Aksa bertanya-tanya. Tiba-tiba saja dia jadi tertarik untuk menyelami karakter Agnes.

“Sudah sampai, Nona!”

Aksa mematikan mesin mobil, lantas bergegas membukakan pintu untuk Agnes.

“Ikut aku!”

Agnes memberi titah tanpa menoleh kepada Aksa. Dia terus melangkah seolah sangat yakin bahwa sopir pribadi yang baru dipekerjakannya itu akan mengekor di belakangnya.

“Ya, Nona.”

“Berhentilah memanggilku Nona!”

“Tapi—”

Agnes memotong sanggahan Aksa dengan mengangkat tangan kanan layaknya seorang polisi yang sedang menghentikan laju kendaraan dari arah belakang.

Aksa membuang napas kencang. Dia pun menjahit mulutnya rapat-rapat begitu menginjakkan kaki di butik Agnes. Tak dihiraukannya tatapan heran beberapa karyawan perempuan yang menyaksikan kedatangannya bersama Agnes.

“Duduk!”

Tanpa menunggu diperintah dua kali, Aksa mengenyakkan pantat di atas kursi, berhadapan dengan Agnes.

“Sesuai kesepakatan, aku tidak akan membayarmu seperser pun selama sebulan penuh sebagai sopir.”

'Kesepakatan apa? Kau sendiri yang memutuskan secara sepihak,' dumel Aksa dalam hati.

Sayangnya, dia tidak bisa protes. Semua sudah terlanjur. Lagi pula, tatapan tajam Agnes seperti baru saja mencabik ketenangan batinnya.

'Ya Tuhan! Sejak kapan aku merasa terintimidasi oleh seorang wanita?'  rungut Aksa, mengejek diri sendiri dalam hening.

“Ehem!” Aksa mendeham untuk mengurangi kegugupannya. “Maaf, Nona … tidak bisakah Nona sedikit berbaik hati? Aku masih punya tanggungan yang harus kuhidupi.”

Tatapan Agnes terpaku lekat pada netra Aksa. Mencari setitik kebohongan di sana. Namun, yang ditemukannya hanyalah secercah kepolosan dan ekspresi penuh pengharapan. Agnes luluh. Dia tidak sekejam itu untuk membiarkan nyawa tak berdosa mati kelaparan.

“Baiklah. Aku akan membayar setiap tetes keringatmu—”

“Terima kasih, Nona.” Aksa langsung semringah. “Aku tahu Anda tidak sejahat itu.”

Mendadak panggilan Aksa untuk Agnes berubah semakin formal.

“Jangan senang dulu!” tegas Agnes, memupus senyuman di wajah Aksa.

“Sebagai sopir, kamu tetap tidak akan menerima gaji selama satu bulan ini,” lanjutnya. “Kamu hanya akan mendapat penghasilan kalau kamu juga bersedia membantuku di butik ini.”

“Maksud, Nona?”

“Lihat!” Agnes mengedarkan pandangan berkeliling dan diikuti oleh Aksa.

Berbagai macam bahan kain masih teronggok di atas meja panjang. Sebagian di atas lantai tanpa alas.

“Jadi?” Aksa berlagak pilon, padahal dia sudah punya gambaran tentang apa yang harus dilakukannya.

“Kamu bantu aku memindahkan barang-barang itu ke gudang. Untuk seterusnya, kamu juga bertanggung jawab untuk merawat dan mencarikan setiap bahan yang kubutuhkan.”

“Apa itu artinya aku menjadi karyawan tetap di sini?”

Jujur saja, hati Aksa begitu gembira. Sudah cukup lama dia bekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Sungguh akan sangat menyenangkan jika sekarang dia punya penghasilan tetap. Walaupun gajinya mungkin tidak terlalu besar, setidaknya ada sesuatu yang dia tunggu setiap bulan.

Agnes tersenyum tipis. “Kamu masih dalam masa percobaan. Kalau hasil kerjamu bagus, akan aku pertimbangkan.”

“Oke. Aku terima.”

Aksa tidak punya pilihan lain. Dia bersyukur diberi pekerjaan setelah insiden buruk yang menimpanya. Ah, Tuhan memang selalu punya cara untuk mengantar rezeki kepada hamba-Nya.

***

“Ini kuncinya, Nona!”

Aksa menyodorkan kunci mobil yang dipegangnya kepada Agnes.

Agnes membulatkan mata. “Harus berapa kali kubilang? Aku tidak suka dipanggil seperti itu!”

Aksa menarik napas panjang dan dalam. “Baiklah. Ini kuncinya, M-Mbak Agnes.”

“Itu lebih enak didengar,” komentar Agnes. “Kamu bawa saja mobilnya, tapi … pastikan untuk menjemputku tepat waktu.”

“Tapi, Mbak—”

“Aku tidak mau dibantah.” Agnes mengibaskan tangan. “Hitung-hitung itu bisa mengurangi pengeluaran harianmu.”

'Benar juga,' pikir Aksa.

Kalau berangkat kerja dengan naik taksi, dia harus mengeluarkan uang setiap hari. Sementara dia tidak punya dana menganggur yang bisa dipakai selama sebulan penuh.

“Terima kasih, Mbak.”

Agnes menatap kepergian Aksa dengan perasaan kosong. Entah apa yang terlintas di pikirannya saat itu.

“Jadi, kapan kalian akan meresmikan hubungan kalian?”

Tahu-tahu Ranty sudah menodong Agnes begitu anak gadisnya itu menginjakkan kaki di ruang tamu. Rupanya Ranty sengaja mengintai kepulangan Agnes dari balik jendela ruang tamu rumah besarnya itu.

'Pertanyaan klise itu lagi!' gerutu Agnes dalam hati.

Ingin rasanya Agnes menyumpal mulut sang mama agar berhenti menanyakan hal yang membuatnya merasa jengah. Di sisi lain, dia tidak mau menjadi anak durhaka.

“Tidak semudah itu, Ma,” sahutnya, berusaha berkata lembut agar nada bicaranya tidak melukai hati sang mama.

“Di mana letak masalahnya?” selisik Ranty. “Kalian sudah sama-sama dewasa. Jangan sampai setan memperdaya kalian hingga terjerumus ke lembah dosa.”

“Semua butuh proses, Ma … hubungan kami belum sampai seumur jagung, tidak baik tergesa-gesa.”

Agnes terus berkilah di sela debar jantung yang makin menggila. Sungguh dia merasa semakin banyak menumpuk dosa gara-gara terus menciptakan kebohongan demi kebohongan pada mamanya.

“Minta dia secepatnya melamarmu!” cetus Ranty. “Mama tidak ingin melihat kalian berlama-lama dalam hubungan yang tidak jelas.”

“Tapi, Ma—”

“Waktumu seminggu dari sekarang!” potong Ranty.

Selesai mengultimatum, Ranty menekan tombol kursi rodanya dan berlalu dari hadapan Agnes. Membiarkan anak gadisnya itu mematung seperti baru saja menerima totokan yang melumpuhkan seluruh saraf motoriknya.

“Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan?”

Agnes menepuk kepala. Ia baru sadar bahwa berawal dari sebuah kebohongan kecil, dia telah menggali kuburannya sendiri.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status