“Kita mau ke mana, Nona?”
Agnes masih melempar pandang ke luar jendela. Pikirannya masih dipenuhi oleh sandiwara berbisa yang tadi dimainkannya di hadapan sang mama.
Untung saja lelaki asing yang diketahui bernama Aksa itu tidak terlalu ambil peduli dan tidak banyak tanya. Itu karena dia memang tidak mendengar dialog pertama antara Agnes dan mamanya. Jadi, dia hanya menjawab seadanya pertanyaan yang diajukan Ranty, dengan jujur dan tanpa rasa canggung.
“Nona Agnes!”
Kali ini Aksa memanggil dengan nada lebih keras.
“Hah! Apa?” Agnes gelagapan.
“Ke mana sekarang?”
“Tentu saja ke kantorku.”
“Aku tidak tahu di mana kantormu, Nona.”
Agnes menoleh kaget pada Aksa yang masih fokus di belakang roda kemudi.
“Bisa tidak kalau kamu memanggilku Agnes saja? Tidak perlu embel-embel ‘Nona’ yang menggelikan itu.”
“Rasanya sangat tidak sopan. Aku kan hanya karyawan, bukan teman sepermainan.”
“Kalau kamu pikir dengan sebuah panggilan kehormatan seseorang bisa menjadi sangat terhormat, kamu keliru,” bantah Agnes. “Aku tidak seperti mereka yang gila hormat, tetapi faktanya akhlak mereka menunjukkan yang sebaliknya.”
Meskipun merasa jengkel lantaran Aksa terus saja memanggilnya Nona, Agnes tak bisa menampik kenyataan bahwa dia harus memberi arahan ke mana Aksa mesti membawanya.
Aksa menahan senyum mendengar gerutuan Agnes. Sekilas dia mengintip ekspresi bibir manyun bos barunya itu dari kaca spion tengah.
'Menggemaskan!' Aksa membatin, lalu terperangah dengan penilaiannya itu.
Hening. Baik Agnes maupun Aksa sama-sama membungkam diri. Keduanya sibuk bergelut dengan pikiran masing-masing.
Sesekali Aksa curi-curi pandang dari kaca spion sembari memperhatikan penampilan sang bos.
Tubuh tinggi langsing Agnes terbalut setelan blazer putih dipadu celana. Rambut panjangnya yang berwarna cokelat dibiarkan tergerai lepas. Bibir sensualnya dipoles lipstik warna nude, terkesan basah dan sangat menggoda. Refleks Aksa menelan ludah saat melihatnya.
Lama-lama memandangi wajah cantik Agnes mengingatkan Aksa pada sosok Liu Yifei, aktris cantik China yang berperan sebagai Mulan—Seorang jenderal wanita yang gagah berani, penuh semangat, cerdas, dan pantang menyerah.
Apakah sosok yang duduk di jok belakang itu juga memiliki karakter yang sama dengan Mulan? Hati Aksa bertanya-tanya. Tiba-tiba saja dia jadi tertarik untuk menyelami karakter Agnes.
“Sudah sampai, Nona!”
Aksa mematikan mesin mobil, lantas bergegas membukakan pintu untuk Agnes.
“Ikut aku!”
Agnes memberi titah tanpa menoleh kepada Aksa. Dia terus melangkah seolah sangat yakin bahwa sopir pribadi yang baru dipekerjakannya itu akan mengekor di belakangnya.
“Ya, Nona.”
“Berhentilah memanggilku Nona!”
“Tapi—”
Agnes memotong sanggahan Aksa dengan mengangkat tangan kanan layaknya seorang polisi yang sedang menghentikan laju kendaraan dari arah belakang.
Aksa membuang napas kencang. Dia pun menjahit mulutnya rapat-rapat begitu menginjakkan kaki di butik Agnes. Tak dihiraukannya tatapan heran beberapa karyawan perempuan yang menyaksikan kedatangannya bersama Agnes.
“Duduk!”
Tanpa menunggu diperintah dua kali, Aksa mengenyakkan pantat di atas kursi, berhadapan dengan Agnes.
“Sesuai kesepakatan, aku tidak akan membayarmu seperser pun selama sebulan penuh sebagai sopir.”
'Kesepakatan apa? Kau sendiri yang memutuskan secara sepihak,' dumel Aksa dalam hati.
Sayangnya, dia tidak bisa protes. Semua sudah terlanjur. Lagi pula, tatapan tajam Agnes seperti baru saja mencabik ketenangan batinnya.
'Ya Tuhan! Sejak kapan aku merasa terintimidasi oleh seorang wanita?' rungut Aksa, mengejek diri sendiri dalam hening.
“Ehem!” Aksa mendeham untuk mengurangi kegugupannya. “Maaf, Nona … tidak bisakah Nona sedikit berbaik hati? Aku masih punya tanggungan yang harus kuhidupi.”
Tatapan Agnes terpaku lekat pada netra Aksa. Mencari setitik kebohongan di sana. Namun, yang ditemukannya hanyalah secercah kepolosan dan ekspresi penuh pengharapan. Agnes luluh. Dia tidak sekejam itu untuk membiarkan nyawa tak berdosa mati kelaparan.
“Baiklah. Aku akan membayar setiap tetes keringatmu—”
“Terima kasih, Nona.” Aksa langsung semringah. “Aku tahu Anda tidak sejahat itu.”
Mendadak panggilan Aksa untuk Agnes berubah semakin formal.
“Jangan senang dulu!” tegas Agnes, memupus senyuman di wajah Aksa.
“Sebagai sopir, kamu tetap tidak akan menerima gaji selama satu bulan ini,” lanjutnya. “Kamu hanya akan mendapat penghasilan kalau kamu juga bersedia membantuku di butik ini.”
“Maksud, Nona?”
“Lihat!” Agnes mengedarkan pandangan berkeliling dan diikuti oleh Aksa.
Berbagai macam bahan kain masih teronggok di atas meja panjang. Sebagian di atas lantai tanpa alas.
“Jadi?” Aksa berlagak pilon, padahal dia sudah punya gambaran tentang apa yang harus dilakukannya.
“Kamu bantu aku memindahkan barang-barang itu ke gudang. Untuk seterusnya, kamu juga bertanggung jawab untuk merawat dan mencarikan setiap bahan yang kubutuhkan.”
“Apa itu artinya aku menjadi karyawan tetap di sini?”
Jujur saja, hati Aksa begitu gembira. Sudah cukup lama dia bekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Sungguh akan sangat menyenangkan jika sekarang dia punya penghasilan tetap. Walaupun gajinya mungkin tidak terlalu besar, setidaknya ada sesuatu yang dia tunggu setiap bulan.
Agnes tersenyum tipis. “Kamu masih dalam masa percobaan. Kalau hasil kerjamu bagus, akan aku pertimbangkan.”
“Oke. Aku terima.”
Aksa tidak punya pilihan lain. Dia bersyukur diberi pekerjaan setelah insiden buruk yang menimpanya. Ah, Tuhan memang selalu punya cara untuk mengantar rezeki kepada hamba-Nya.
***
“Ini kuncinya, Nona!”
Aksa menyodorkan kunci mobil yang dipegangnya kepada Agnes.
Agnes membulatkan mata. “Harus berapa kali kubilang? Aku tidak suka dipanggil seperti itu!”
Aksa menarik napas panjang dan dalam. “Baiklah. Ini kuncinya, M-Mbak Agnes.”
“Itu lebih enak didengar,” komentar Agnes. “Kamu bawa saja mobilnya, tapi … pastikan untuk menjemputku tepat waktu.”
“Tapi, Mbak—”
“Aku tidak mau dibantah.” Agnes mengibaskan tangan. “Hitung-hitung itu bisa mengurangi pengeluaran harianmu.”
'Benar juga,' pikir Aksa.
Kalau berangkat kerja dengan naik taksi, dia harus mengeluarkan uang setiap hari. Sementara dia tidak punya dana menganggur yang bisa dipakai selama sebulan penuh.
“Terima kasih, Mbak.”
Agnes menatap kepergian Aksa dengan perasaan kosong. Entah apa yang terlintas di pikirannya saat itu.
“Jadi, kapan kalian akan meresmikan hubungan kalian?”
Tahu-tahu Ranty sudah menodong Agnes begitu anak gadisnya itu menginjakkan kaki di ruang tamu. Rupanya Ranty sengaja mengintai kepulangan Agnes dari balik jendela ruang tamu rumah besarnya itu.
'Pertanyaan klise itu lagi!' gerutu Agnes dalam hati.
Ingin rasanya Agnes menyumpal mulut sang mama agar berhenti menanyakan hal yang membuatnya merasa jengah. Di sisi lain, dia tidak mau menjadi anak durhaka.
“Tidak semudah itu, Ma,” sahutnya, berusaha berkata lembut agar nada bicaranya tidak melukai hati sang mama.
“Di mana letak masalahnya?” selisik Ranty. “Kalian sudah sama-sama dewasa. Jangan sampai setan memperdaya kalian hingga terjerumus ke lembah dosa.”
“Semua butuh proses, Ma … hubungan kami belum sampai seumur jagung, tidak baik tergesa-gesa.”
Agnes terus berkilah di sela debar jantung yang makin menggila. Sungguh dia merasa semakin banyak menumpuk dosa gara-gara terus menciptakan kebohongan demi kebohongan pada mamanya.
“Minta dia secepatnya melamarmu!” cetus Ranty. “Mama tidak ingin melihat kalian berlama-lama dalam hubungan yang tidak jelas.”
“Tapi, Ma—”
“Waktumu seminggu dari sekarang!” potong Ranty.
Selesai mengultimatum, Ranty menekan tombol kursi rodanya dan berlalu dari hadapan Agnes. Membiarkan anak gadisnya itu mematung seperti baru saja menerima totokan yang melumpuhkan seluruh saraf motoriknya.
“Ya Tuhan! Apa yang harus kulakukan?”
Agnes menepuk kepala. Ia baru sadar bahwa berawal dari sebuah kebohongan kecil, dia telah menggali kuburannya sendiri.
***
“Papa!” Seorang bocah perempuan yang tengah duduk di pangkuan mamanya segera melompat turun dan berlari menyongsong kepulangan Aksa. “Halo, Sayang!” Aksa mengecup gemas pipi gembul sang bocah, lalu menggendongnya. Seorang perempuan berkerudung menyambut kedatangan Aksa dengan senyuman menawan. Wajah teduhnya mirip sekali dengan Maudy Koesnaedi—Aktris lawas yang tersohor pada era 90-an. “Sebaiknya Mas mandi dulu,” ujarnya. “Kyra sama mama lagi, ya ....” Bocah cantik itu segera meluncur turun dari gendongan Aksa. Selesai mandi dan berganti pakaian, Aksa merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa di ruang tengah. Meskipun rumahnya sederhana dan tidak terlalu besar, Aksa masih bersyukur dia tidak perlu tinggal di rumah kontrakan. “Kopinya, Mas.” Aksa membuka matanya yang sempat terpejam. Dilihatnya Ainun sudah ikut duduk di dekatnya. Aksa menyesap kopi panas itu dengan perlahan. Meresapi rasa pahit di setiap tetesnya. Sepertinya Ainun lupa menaruh gula atau mungkin juga gulanya suda
Aksa tersungkur tepat di ujung sepatu si lelaki perlente. Dorongan kuat Freddy menyebabkan wajahnya hampir menghantam lantai pelataran parkir dengan telak. “Jadi, kau bersikeras untuk tidak mau melunasi utangmu?” Lelaki perlente itu bertanya dengan nada dingin dan menginjak kepala Aksa dengan kaki kanannya. Aksa mengeritkan gigi. Menahan geram yang bergejolak di dalam dada. Ingin sekali dia bangkit dan merobohkan lelaki perlente tersebut. 'Kalau aku melawan sekarang, tidak mustahil mereka akan merusak atau bahkan menghancurkan mobil Agnes. Lebih baik aku mengalah saja,' batin Aksa, menimbang-nimbang untung rugi jika dia melakukan konfrontasi fisik. “Aku janji aku akan membayar semua utangku, Tuan Alvist,” ujar Aksa. “Tapi tidak sekarang. Beri aku waktu!” “Aku sudah memberimu waktu berbulan-bulan, tapi kau malah melarikan diri alih-alih membayar utangmu padaku,” balas Alvist. “Aku sudah tidak bisa menoleransi lagi. Bayar sekarang atau ….” Alvist tidak meneruskan kata-katanya. Dia
“Aaargh!” Aksa bangkit dari pembaringan dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan lesu meninggalkan kamar dan duduk di teras samping. Rembulan menggantung di langit malam. Sedikit bersembunyi di balik pucuk pohon. Kerlip taburan bintang yang biasa memagari sang dewi malam kini tak lagi terlihat. Ke mana bintang-gemintang itu menghilang? Aksa memandang sayu pada pendar rembulan yang kian memudar. Kesendirian seakan telah menyebabkan dewi malam itu bermuram durja. Tiba-tiba saja Aksa merasa dia tak ubahnya seperti bulan yang mulai menghilang, tersaput mega kelam. Perlahan Aksa bangkit, mengayun langkah menuju halaman yang tidak begitu luas. Dia melangkah gontai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Sesekali dia menarik kerah bajunya untuk melindungi lehernya dari serangan hawa dingin. 'Ya Tuhan, tidak adakah jalan lain yang bisa kutempuh?' batin Aksa, bertanya gundah. Agnes menolak keras untuk memotong gajinya sebagai jalan pelunasan utang. Gilanya, wanit
Detak jantung Agnes berdebar kencang ketika menyaksikan Nevan telah meletakkan gagang telepon dan berpaling kepadanya. Senyuman yang terbit di wajah lelaki tersebut terlihat mengerikan dengan bola mata berkilat licik. Dalam hati, Agnes tak henti-hentinya melafal doa agar Aksa segera kembali. Atmosfer ruang kerja Nevan mendadak terasa pengap dan lembap. Aura hangatnya telah berganti dengan suasana dingin dan mencekam, laksana sebuah gua gelap yang belum pernah terjamah. Langkah kaki Nevan yang berjalan mendekat terdengar seperti dentuman meriam di medan perang. Begitu menakutkan dan membuat bulu kuduk merinding. “Maaf! Aku butuh ke toilet sebentar!” pamit Agnes, buru-buru tegak. Dia mengayun langkah panjang menuju pintu sebelum Nevan semakin memangkas jarak di antara mereka. Nevan mengatupkan rahang rapat-rapat begitu Agnes menghilang di balik pintu tanpa menunggu persetujuannya. “Tak seorang pun bisa melarikan diri dariku,” geram Nevan. Manik matanya berkilat semakin tajam. Dia s
“Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil. “Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!” “Ya, Mbak.” “Tunggu!” Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran? “Ya, Mbak?” Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes. “Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa. Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya. “Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.” Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya. Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya. UHUK! UHUK! Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalk
Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering. Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu. Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya. 'Telepon tidak ya?' Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya. Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar. “Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. “Jadi … benar Mbak yang mengir
“Gila kamu, Aksa!” Dendra memaki keponakannya sembari menghentikan langkah dan tegak dengan berkacak pinggang. Dari kejauhan dia masih bisa menyaksikan bayangan Agnes bercengkerama dengan mamanya dari balik kaca jendela yang sedikit gelap. “Cuma itu yang terlintas di pikiranku, Paman.” Aksa juga tidak tahu kenapa pada saat Ranty meminta jaminan, bibirnya spontan mengucap janji dengan lantang bahwa dia tidak akan menceraikan Agnes kecuali jika Agnes sendiri yang mengajukan gugatan cerai kepadanya. “Seharusnya kamu pakai batas waktu.” Dendra sangat menyayangkan kecerobohan Aksa. Walaupun dia tidak berharap rumah tangga keponakannya itu hancur di tengah jalan, dia juga tidak yakin Aksa mampu memegang teguh janjinya. Terlebih dengan mengingat usia Aksa yang lebih muda dari Agnes dan perkenalan mereka yang terbilang singkat. “Sudahlah, Paman,” tukas Aksa. “Semua sudah terjadi. Doakan saja aku bisa memenuhinya. Memangnya Paman tidak senang melihat rumah tanggaku langgeng?” “Bukan begi
Siluet sebuah benda yang melayang tepat ke arahnya memicu gerak refleks Aksa untuk segera menangkap benda itu. Sebuah bantal kini berada di dalam genggaman tangannya. Aksa memutar kepala ke kiri. Tampak Agnes sedang merapikan tempat tidur. Bersikap seolah-olah dia tidak tahu apa-apa mengenai bantal terbang yang menyasar tubuh Aksa. 'Ah, nyaman sekali bisa berbaring seperti ini,' pikir Agnes setelah merasakan penat di sekujur tubuhnya akibat prosesi pernikahannya dengan Aksa. Kelopak matanya yang sempat terkatup rapat mendadak terbuka lebar. Dia terlonjak bangkit, lantas duduk bersila di atas pembaringan. “Kamu boleh tidur di atas sofa itu.” Agnes menunjuk sofa besar yang terbentang di bawah jendela kamarnya. Pandangan Aksa mengikuti arah jari telunjuk Agnes. Sebuah sofa besar berwarna ungu gelap seperti memang sudah siap menyambut kehadirannya. 'Yang benar saja!' gerutu Aksa dalam hati. Dia tidak pernah bermimpi bahwa di malam pertama pernikahannya dia akan diminta untuk tidur