Home / Rumah Tangga / Istri Sebatas Status / 4. Tertangkap Basah

Share

4. Tertangkap Basah

Author: Lathifah Nur
last update Last Updated: 2021-06-06 07:17:37

“Papa!”

Seorang bocah perempuan yang tengah duduk di pangkuan mamanya segera melompat turun dan berlari menyongsong kepulangan Aksa.

“Halo, Sayang!”

Aksa mengecup gemas pipi gembul sang bocah, lalu menggendongnya.

Seorang perempuan berkerudung menyambut kedatangan Aksa dengan senyuman menawan. Wajah teduhnya mirip sekali dengan Maudy Koesnaedi—Aktris lawas yang tersohor pada era 90-an.

“Sebaiknya Mas mandi dulu,” ujarnya.

“Kyra sama mama lagi, ya ....”

Bocah cantik itu segera meluncur turun dari gendongan Aksa.

Selesai mandi dan berganti pakaian, Aksa merebahkan tubuh lelahnya di atas sofa di ruang tengah. Meskipun rumahnya sederhana dan tidak terlalu besar, Aksa masih bersyukur dia tidak perlu tinggal di rumah kontrakan.

“Kopinya, Mas.”

Aksa membuka matanya yang sempat terpejam. Dilihatnya Ainun sudah ikut duduk di dekatnya.

Aksa menyesap kopi panas itu dengan perlahan. Meresapi rasa pahit di setiap tetesnya. Sepertinya Ainun lupa menaruh gula atau mungkin juga gulanya sudah habis dan Ainun tidak punya uang untuk membelinya.

Aksa merogoh kantong. “Ini, ambillah!” ujarnya sambil meletakkan dua lembar uang berwarna merah di atas meja.

Ainun meraih uang yang disodorkan Aksa dengan mata berbinar. Uangnya benar-benar sudah habis. Bahkan, beras dan garam di dapur pun juga tak lagi bersisa.

“Alhamdulillah … terima kasih, Mas,” ucap Ainun, penuh syukur.

Aksa menerbitkan senyum di wajah letihnya. Ainun tidak pernah mengeluh. Wanita itu selalu menerima pemberiannya dengan ikhlas walaupun terkadang jumlahnya tidak seberapa.

“Maaf kalau dua tahun terakhir ini aku tidak bisa mencukupi semua kebutuhanmu dan Kyra.”

Aksa dirasuki rasa bersalah. Kalau saja orang tuanya mau menerima kehadiran Ainun dan Kyra, mereka tidak perlu hidup menderita.

“Mas sangat bertanggung jawab terhadap kami. Itu sudah lebih dari cukup, Mas,” sahut Ainun. “Hari ini malah Mas memberi uang lebih banyak dari biasanya.”

Aksa tersenyum kecut. “Kebetulan aku sudah dapat pekerjaan tetap,” jelasnya. “Dan itu adalah bonus yang kuterima hari ini.”

“Alhamdulillah,” seru Ainun. “Pantas hari ini Mas bawa mobil, bos Mas pasti baik ya.”

“Begitulah.”

Aksa malas berbicara panjang lebar. Ainun tidak perlu tahu apa pekerjaannya dan bagaimana dia memperoleh pekerjaan tersebut. Yang penting, kebutuhan sehari-hari mereka tercukupi dengan cara halal.

“Oh ya, bagaimana kondisi Nek Rodiah?” tanya Aksa, teringat nenek Ainun yang tinggal bersama mereka.

Tidak hanya sekadar bertanya, Aksa langsung bangkit dan berjalan menuju kamar sang nenek. Pintu kamar itu tidak dikunci. Aksa segera masuk.

Wanita berusia tujuh puluhan tersebut tergolek lemah di atas ranjang. Tubuhnya sangat ringkih. Tinggal kulit pembalut tulang. Wajahnya semakin mengisut dalam pandangan Aksa.

Seakan dapat merasakan kehadiran Aksa di kamar berukuran tiga kali empat meter itu, sang nenek membuka mata.

“Apa kabar, Nek?” tanya Aksa. “Sudah makan?”

Saat dia meninggalkan rumah tadi pagi, nenek istrinya itu masih tertidur dan dia tidak tega untuk membangunkannya kalau hanya sekadar ingin pamit.

“Aksa? Kamu sudah pulang?”

Rodiah mengulurkan tangan. Aksa berdiri dengan kedua lututnya di tepi ranjang. Dia mencondongkan tubuh ke depan dan agak menunduk.

Jari-jari tremor Rodiah segera mendarat di kepala Aksa, lalu mengusapnya lembut. Senyuman dari bibir pucat Rodiah tampak seperti seringai nenek lampir. Terkesan menakutkan, tetapi Aksa tahu senyuman itu tulus. Lahir dari rasa kasih sayang.

“Nenek kebiasaan ya … ditanya malah balik bertanya,” kelakar Aksa. “Lihat! Badan Nenek semakin kurus. Belum makan?”

Aksa menjamah pipi kisut sang nenek. Dia juga menarik pelan helaian rambut putih Rodiah yang menempel pada pipinya.

“Sudah. Ainun tidak pernah terlambat memberi makan,” jawab Rodiah.

Aksa mendekatkan telinga pada bibir Rodiah ketika wanita tua itu memberi kode dengan jari kirinya.

“Dia lebih galak daripada sipir penjara,” bisik Rodiah.

“Hahaha .…”

Aksa terkekeh. Rodiah memang suka sekali bercanda. Walaupun raganya tidak bisa kemana-mana, daya ingat serta ketajaman penglihatan dan pendengaran Rodiah masih sangat jernih.

“Ini rahasia kita berdua saja ya, Nek,” ujar Aksa. “Kalau sampai Ainun tahu, bisa-bisa dia merajuk dan tidak mau menyuapi Nenek lagi. Memangnya Nenek bisa makan sendiri?”

“Ssst!” Rodiah menyilangkan jari di bibirnya. “Iya. Rahasia.”

Kelakuan Rodiah yang seperti anak kecil itu tak khayal membuat Aksa kembali mengumbar tawa.

“Ya sudah. Nenek istirahat lagi ya … aku juga mau tidur.”

Aksa pamit pada Rodiah dan dibalas dengan anggukan kepala oleh sang nenek.

Bersandar pada dinding di sisi pintu, Ainun menguping percakapan Aksa dan Rodiah dengan senyuman haru. Dia merasa sangat beruntung bersuamikan Aksa. Walaupun tak mampu memberinya kemewahan harta benda, Aksa kaya dengan kehangatan cinta kasih terhadap sang nenek dan anaknya. Akan tetapi, kemanakah hilangnya rasa cinta Aksa untuk dirinya yang dulu begitu menggelora?

Sudah lima tahun lebih Aksa tidak pernah menyentuhnya. Terhitung sejak seminggu setelah mereka menikah. Apa dia punya wanita lain yang menjadi tempat untuk menyalurkan kebutuhan biologisnya di luar sana?

Berulang kali Ainun ingin menanyakan hal tersebut secara langsung kepada Aksa. Namun, setiap kali dia melihat kelelahan yang terpahat di wajah sang suami, pertanyaan itu pun tenggelam di lubuk hati.

Mendengar langkah kaki semakin mendekat ke arah pintu, buru-buru Ainun bergabung dengan Kyra di depan TV. Dia bersikap seolah-olah sedang asyik menemani si kecil menonton film kartun kesayangannya.

“Aku pergi sebentar,” pamit Aksa. “Aku bawa kunci.”

Ainun mengembuskan napas kencang setelah Aksa menghilang dari pandangannya. Aksa bawa kunci cadangan. Artinya malam ini lelaki itu juga tidak akan menyentuhnya.

"Ada apa denganmu, Mas?”

Ah, seperti syair salah satu lagu hits saja pertanyaan yang berkecamuk di dada Ainun.

***

Agnes duduk tenang di atas kursi kebesarannya. Memperhatikan Aksa yang sedang sibuk menata tumpukan dasar yang akan disulapnya menjadi baju. Cara kerja lelaki itu sangat cekatan dan rapi. Agnes tersenyum puas.

“Aksa!” panggilnya.

Aksa segera menjeda kegiatannya dan menoleh. “Ya, Mbak.”

“Tinggalkan saja itu dulu!” tegas Agnes. “Temani aku belanja sebentar!”

“Siap, Mbak.”

Dalam waktu singkat, Aksa sudah memarkir mobilnya di pelataran parkir sebuah mal. Ternyata Agnes mengajaknya untuk berbelanja bulanan.

Aksa mulai menyusun satu persatu barang belanjaan Agnes di dalam bagasi.

“Aduh! Apa-apaan sih?!”

Aksa memekik kaget ketika merasakan sebuah tangan menarik kerah bajunya dari belakang dengan sangat kuat. Membuatnya sedikit terjajar mundur.

“Hebat ya! Utang tidak dibayar, tapi mampu beli mobil dan belanja banyak!”

Seorang lelaki berbisik di telinga Aksa dengan nada dingin, tetapi penuh tekanan dan ancaman.

Aksa segera mengenali siapa pemilik suara tersebut. Sudah berbulan-bulan dia berusaha menghindari lelaki itu. Tidak disangka sekarang dia malah tertangkap basah pada momen yang tidak tepat.

“A–ampun, Bang! Ini tidak seperti yang Abang lihat!”

“Heh! Masih mau mengelak?” Lelaki tersebut memperkuat cengkeramannya.

Aksa merasa tercekik dan berusaha melepas kancing atas kemejanya. Sebelah tangan lainnya menahan tarikan sang lelaki penagih utang.

Seorang lelaki berpenampilan perlente berjalan santai mendekati Aksa. Dia melepas topi bundarnya dan berkipas dengan topi itu. Matanya menyapu seluruh tubuh Aksa, lalu beralih ke bagasi dan mobil yang terparkir di depannya.

Sesaat lelaki tersebut menendang pelan ban mobil Agnes, menghasilkan bunyi dug-dug yang terdengar seperti dentuman meriam di telinga Aksa.

Lelaki itu melangkah dengan tenang, mengitari mobil Agnes hingga kembali ke hadapan Aksa. Ketenangan yang dipertontonkan lelaki tersebut memeras keringat dingin di tubuh Aksa. Dalam sekejap, kemejanya mulai basah.

“Berapa total utangnya, Fred?”

Lelaki itu bertanya kepada anak buahnya yang masih mencekal kerah baju Aksa. Namun, tatapan tajamnya justru mendarat pada kedua bola mata Aksa yang beriak cemas.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri Sebatas Status   82. Sentilan Langit

    Dada Haidar bergemuruh karena darah yang mendidih. Di sampingnya, Jovanta—pengacara yang dipercayainya untuk menangani kasus Agung—mengimbangi langkah cepatnya memasuki ruang tahanan. Haidar mengeritkan gigi ketika melihat Agung meringkuk di balik jeruji besi. Begitu menyadari kehadiran Haidar, Agung bergegas bangkit menemui papanya. “Keluarkan aku dari sini, Pa!” Tangan Agung menggapai udara, berusaha menjangkau Haidar yang tegak dua langkah darinya. Wajahnya tampak lebih tirus. Tulang pipinya mulai mencuat, padahal dia baru mendekam di sel tahanan sementara selama dua minggu. Melihat kulit wajah Agung terlihat kusam dan pucat, hati Haidar terenyuh. Marahnya perlahan memudar, berganti rasa iba. Bagaimanapun, Agung tetaplah anak sulungnya. Mana ada orang tua yang tidak merasa tertekan saat anaknya masuk penjara. Namun, Haidar tidak bisa berbuat apa-apa untuk membebaskan Agung. Dia tidak memiliki cukup uang untuk membayar jaminan. Perusahaan keluarga yang selama ini dikelola oleh A

  • Istri Sebatas Status   81. Menepuk Lalat

    Mobil Aksa meninggalkan butik Agnes dengan kecepatan rendah. Di sebelah Aksa, Agnes duduk tenang. Seulas senyuman tipis menghias wajahnya. “Kelihatannya kau senang sekali dengan pertemuan ini,” goda Aksa di sela-sela kesibukannya mengendalikan roda kemudi. “Ini pertama kalinya aku bisa makan di luar semenjak kecelakaan itu,” timpal Agnes, “Bohong kalau aku bilang aku tidak senang, apalagi … ini juga pengalaman pertama kita menikmati makan siang bersama keluarga Eksa.” “Kau benar. Sampai sekarang, terkadang aku masih merasa seperti mimpi bisa bertemu Eksa lagi.” “Kalian pasti telah melewati hari-hari yang sangat sulit.” Agnes dapat melihat betapa dekatnya hubungan mereka berdua. Setelah menyimak kisah pilu kehidupan masa kecil Aksa, dia mengerti mengapa Aksa mau mengorbankan status lajangnya demi menjaga dan melindungi Ainun. Alih-alih cemburu pada masa lalu Aksa, dia malah bersyukur mendapatkan lelaki sebaik Aksa. Seorang lelaki yang sangat bertanggung jawab terhadap keluarga ser

  • Istri Sebatas Status   80. Pulang

    “Pa, Aksa tidak pernah berniat untuk mempermalukan Papa ataupun Mama,” ujar Agnes, merasa tidak nyaman dengan perdebatan mertua dan suaminya. “Ainun memang bukan istri Aksa. Selama ini, dia hanya berusaha melindungi Ainun dan Kyra.” Muka Haidar menggelap. Dia paling benci dibohongi. “Kalau dia bukan istri dan anakmu, untuk apa kau peduli pada mereka?” semburnya, menatap garang pada Aksa. “Mereka keluarga Eksa, Pa. Bagaimana mungkin aku menelantarkan mereka?” “Apa? Jangan bercanda, Aksa! Eksa sudah lama mati! Mayatnya bahkan tidak pernah bisa ditemukan.” Aksa membuang pandang ke lantai. “Ya. Bagi Papa sama Mama Eksa sudah mati. Kalian tidak pernah peduli setelah dia melarikan diri.” Bulir bening di sudut mata Clarissa menggelinding jatuh mendengar penuturan Aksa. Sebagai ibu yang mengandung dan melahirkan mereka, dia memang tidak pernah mempertanyakan keberadaan Eksa semenjak anaknya itu memberontak dan minggat dari rumah. Dia tidak pernah tahu bahwa Eksa telah mengganti nama pangg

  • Istri Sebatas Status   79. Mengesampingkan Ego

    Agnes menyeka kristal bening yang meluruh dari sudut matanya. Emosinya terhanyut mendengar kidung lara kehidupan masa kecil Aksa. “Kau menangis? Membuat aku benar-benar terlihat menyedihkan!” Meskipun bibirnya melontarkan keluhan mengejek kepada Agnes, Aksa merasakan hatinya menghangat ketika menyadari bahwa Agnes berempati terhadap nasibnya yang kurang beruntung di masa lalu. Setelah berhasil mengendalikan perasaannya, Agnes mengumbar senyuman hangat. “Dengan begitu aku yakin kamu akan lebih menghargai orang lain dan memahami makna kata bahagia yang sesungguhnya.” Agnes juga semakin paham sekarang mengapa Aksa begitu melindungi Ainun dan Kyra. Dia sudah merasakan pahitnya diabaikan. Jadi, wajar jika dia tidak ingin Kyra mengalami hal yang sama. “Kamu enggak dendam kan sama mama?” “Entahlah. Aku hanya merasa berat untuk menemuinya lagi.” Agnes sangat mengerti. Siapa pun yang pernah disakiti—apalagi dalam jangka waktu lama—tentu sulit untuk benar-benar bersikap normal. Mungkin me

  • Istri Sebatas Status   78. Enggan

    “Di mana kau sekarang?” Haidar menodong Aksa dengan pertanyaan interogasi tanpa basi-basi tentang kabar. Aksa mendengkus kecewa. Sepertinya Haidar benar-benar tak peduli apakah dia masih hidup atau sudah mati. “Yang jelas, bukan di rumah Papa!” Aksa menyahut dengan nada dingin. “Anak kurang ajar!” umpat Haidar. “Kalau di rumahku, apa perlu aku bertanya seperti itu?” “Sudahlah. Aku sedang tidak ingin bertengkar,” sahut Aksa. “Aku masih ngantuk.” Selesai berkata begitu, Aksa langsung memutus sambungan telepon. Di ujung telepon. Haidar mengomel panjang pendek lantaran kesal dengan perbuatan Aksa. Berkali-kali dia mencoba memanggil ulang nomor telepon Aksa, tetapi Aksa tidak lagi mengangkat panggilannya. Dengan kesal dan mulut tak henti mengumpat dan memaki, dia mengetik pesan untuk Aksa. Aksa turun dari ranjang dengan tampang kusut. Niatnya untuk melanjutkan tidur sedikit lebih lama gagal total akibat gangguan dering telepon dari papanya. “Lelaki itu masih belum menyerah!” ejek Aks

  • Istri Sebatas Status   77. Lara

    Aksa mematung di depan pintu. Awalnya, dia berniat untuk mengetuk pintu rumah orang tuanya itu. Namun, mendengar suara ribut dari dalam, dia pun membatalkan niatnya. Dia tetap tegak mematung di sana. Menguping pertengkaran yang sedang berlangsung antara mama dan kakak iparnya. Dia merasa aneh mengetahui dua orang yang biasanya sangat akur tersebut berubah seperti musuh. “Ma … Ma … Mama pikir aku naif? Aku tahu Mama tidak pernah membesarkan Aksa dan saudara kembarnya dengan tangan Mama sendiri,” cemooh Marsha. “Mama bahkan tidak pernah memberi mereka ASI. Mereka adalah dua anak sapi yang diasuh oleh pembantu.” “Kamu?” Clarissa mengepalkan tangannya dengan sangat erat. Ingin sekali dia bisa mencabik-cabik mulut Marsha. “Apa aku salah?” Marsha semakin merasa bahwa dirinya berada di atas angin ketika melihat Clarissa tidak berani melayangkan tangan kepadanya. Sudut bibir Marsha mencebik sinis. “Mama bahkan tak peduli Eksa masih hidup atau sudah mati!” Sentilan telak itu membungkam mu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status