Aksa tersungkur tepat di ujung sepatu si lelaki perlente. Dorongan kuat Freddy menyebabkan wajahnya hampir menghantam lantai pelataran parkir dengan telak.
“Jadi, kau bersikeras untuk tidak mau melunasi utangmu?”
Lelaki perlente itu bertanya dengan nada dingin dan menginjak kepala Aksa dengan kaki kanannya.
Aksa mengeritkan gigi. Menahan geram yang bergejolak di dalam dada. Ingin sekali dia bangkit dan merobohkan lelaki perlente tersebut.
'Kalau aku melawan sekarang, tidak mustahil mereka akan merusak atau bahkan menghancurkan mobil Agnes. Lebih baik aku mengalah saja,' batin Aksa, menimbang-nimbang untung rugi jika dia melakukan konfrontasi fisik.
“Aku janji aku akan membayar semua utangku, Tuan Alvist,” ujar Aksa. “Tapi tidak sekarang. Beri aku waktu!”
“Aku sudah memberimu waktu berbulan-bulan, tapi kau malah melarikan diri alih-alih membayar utangmu padaku,” balas Alvist. “Aku sudah tidak bisa menoleransi lagi. Bayar sekarang atau ….”
Alvist tidak meneruskan kata-katanya. Dia memberi kode kepada Freddy dengan menggerakkan kepala. Freddy langsung tanggap dan menggeledah tubuh Aksa.
“Aku berhasil mendapatkan kuncinya, Tuan!” lapor Freddy setelah menemukan kunci mobil di saku celana Aksa.
Dia memamerkan kunci tersebut dengan menggoyangkannya di udara dalam posisi masih berjongkok di samping tubuh Aksa.
“Kalau kalian menginginkan sesuatu, bekerjalah! Jangan merampas apa yang sudah menjadi milik orang lain!”
Agnes tiba-tiba muncul dan menyambar kunci yang dipegang Freddy. Dalam hitungan detik, kunci itu sudah berpindah ke dalam genggamannya.
Freddy melongo kaget dan sontak berdiri. “Kembalikan, Nona!” hardiknya. Dia segera merebut kembali kunci tersebut dari tangan Agnes.
Agnes menggantung kunci tersebut di depan mukanya. “Kalian menginginkan ini? Ambil saja kalau bisa!”
Secepat kilat Freddy menyambar kunci di tangan Agnes. Meleset! Wanita tersebut berkelit lebih cepat.
“Ah, sayang gerakanmu sangat lamban!” ejek Agnes.
“Jangan main-main, Nona! Aku tidak peduli kau seorang wanita bila membuatku marah.”
Freddy menggeram. Merasa harga dirinya direndahkan karena telah dipermalukan di hadapan bosnya.
“Aku menantikannya!”
Merasa tertantang oleh sanggahan Agnes, Freddy merangsek maju. Berjuang merebut kembali kunci yang seharusnya sudah menjadi milik tuannya.
“Apa kamu akan terus tiduran di sana?” sindir Agnes pada Aksa. Tangannya terus bergerak lincah menghindari sambaran Freddy.
Aksa tersentak. Dia ingin bangkit, tetapi Alvist menekan kepalanya lebih kuat.
“Kamu tidak tahu caranya melindungi diri sendiri?”
Baru saja Aksa mengumpulkan kekuatan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Alvist, dia merintih. Tahu-tahu Alvist sudah menduduki punggungnya.
“Sepertinya Anda sangat peduli dengan pecundang ini, Nona. Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?”
Alvist berkata tenang. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas.
Melihat Aksa tidak mampu bergerak di bawah sana. Agnes terpaksa menghentikan gelutannya dengan Freddy. Dia lantas memasukkan kunci mobil ke dalam kantong baju.
“Ck! Anda yakin mau bernegosiasi, padahal Anda tidak bisa membedakan antara manusia dan tempat duduk?”
Wajah tenang Alvist seketika memerah. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia dilecehkan oleh seorang wanita.
“Anda tidak tahu apa-apa, Nona,” sahut Alvist, berusaha untuk tetap tampak tidak terpengaruh sama sekali oleh ocehan Agnes.
“Anda benar! Aku tidak tahu apa-apa, kecuali kenyataan bahwa kecerdasan Anda lebih rendah dari anjing tetanggaku.”
“Jaga ucapan Anda, Nona!”
Kali ini Alvist langsung terlonjak bangkit dengan mata memerah saga. Dia menghampiri Agnes dengan darah yang terasa mendidih. Bisa-bisanya wanita asing itu merendahkan dirinya lebih hina daripada seekor hewan peliharaan. Dia harus memberinya pelajaran.
Tangannya sudah sedari tadi terkepal dan siap menghancurkan wajah cantik berlidah setajam silet itu.
Menyaksikan bahaya mengancam Agnes, Aksa segera menahan tangan Alvist. Sialnya, tendangan Freddy sudah lebih dulu bersarang di perutnya, sebelum ujung jarinya berhasil menyentuh Alvist.
“Jangan sentuh dia, Tuan Alvist!” jerit Aksa. “Dia tidak ada hubungannya dengan semua utangku.”
Mata Agnes menyipit. Jadi, lelaki perlente itu menganiaya Aksa hanya gara-gara utang? Betapa tidak berartinya nyawa manusia jika sudah berkaitan dengan uang. Sudah sampai akhir zaman?
Alvist menoleh pada Aksa. Dia lupa dengan niatnya untuk menyerang Agnes.
“Kalau dari awal kau beritikad baik untuk melunasi utangmu, tentu aku tidak perlu menyakiti kekasih cantikmu ini,” ejek Alvist. “Atau … kau ingin menggunakan tubuh moleknya sebagai alat pembayaran?”
Aksa mengeritkan gigi. Tercuat hasrat untuk melayangkan bogem mentah kepada Alvist pada detik itu juga. Seluruh tenaganya sudah terpusat ke tangan dengan jari-jari terkepal erat.
“Lepaskan dia!”
Yang terjadi justru sebaliknya. Alvist bergerak mengitari Agnes dan berhenti tepat di belakangnya.
“Apa kau bersedia berkorban untuk kekasihmu, Nona?” bisik Alvist.
Tatapan mengejek dan seringai liciknya tertuju pada Aksa yang saat itu tengah berjuang membebaskan diri dari cengkeraman Freddy.
Agnes masih bersikap tenang. Penglihatannya mengamati ekspresi kesakitan yang sengaja disamarkan Aksa dengan tatapan ingin membunuh yang ditujukan kepada sosok Alvist.
“Berapa utangnya?”
“Seratus juta.”
Sudut bibir Alvist mencebik sinis. Wanita itu tentu tidak akan punya cukup uang untuk membayar utang Aksa. Senyuman licik pun mengembang di bibirnya. Angan nakalnya mulai berkelana ke mana-mana.
“Aku akan melunasi utangnya. Bebaskan dia!” tegas Agnes.
Seringai Alvist semakin lebar, lantas terdengar tawa kemenangannya. Sekali lagi dia mengelilingi Agnes. Dia memperhatikan dengan teliti setiap lekuk tubuh gadis cantik itu.
Alvist berhenti tepat di depan muka Agnes dan bertepuk tangan. “Wow! Lihatlah! Juliet bersedia mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Romeo nan malang,” sindir Alvist.
Dua jarinya mengusap dagu seraya mengangguk-anggukkan kepala. “Baik. Keputusan sudah dibuat. Jangan menyesal, Nona! Ayo ikut aku!”
Alvist berniat menyeret lengan Agnes, tetapi Agnes segera menepisnya, sebelum ujung jari lelaki perlente tersebut berhasil menjamah kulitnya.
Riak kemarahan mulai membayang di wajah Alvist. “Sudah terlambat untuk berubah pikiran, Nona!”
Agnes menyeringai sinis. Dia membuka tas yang disandangnya dan mengeluarkan selembar cek. Jemari lentiknya segera menari lincah, menuliskan jumlah nominal yang harus dibayar Aksa kepada Alvist.
“Pergi dan jangan pernah muncul lagi di hadapan Aksa!”
Agnes menyerahkan lembaran cek yang sudah ditandatanganinya kepada Alvist.
Alvist terbelalak. Bukan pembayaran seperti itu yang terbayang dalam fantasi liarnya. “Kau!”
Alvist menggeram sembari menyambar cek yang disodorkan Agnes. “Ayo pergi!” ajaknya kepada Freddy. Sangat kentara nada kecewa bergema dalam suara baritonnya.
***
Laju kendaraan yang dikemudikan Aksa membelah jalanan dengan kecepatan rendah. Dia tidak habis pikir mengapa Agnes bersedia melunasi semua utangnya, padahal dia baru saja bekerja dalam hitungan hari.
Selama beberapa waktu, tak ada yang bicara. Keduanya seakan asyik bergelut dengan beragam tanya yang berkelindan dalam benak masing-masing. Hanya desau angin dari jendela yang terbuka berbisik pelan.
“Potong saja gajiku setiap bulan, Mbak!” cetus Aksa setelah lama tafakur dalam hening. “Aku akan bekerja keras dan mengabdikan diri kepada Mbak.”
Agnes menoleh kepada Aksa. Dahinya sedikit mengerut. Bukannya berterima kasih, Aksa malah langsung saja memberi perintah. Apa dia tidak pernah diajari sopan santun?
“Lupakan saja! Kamu tidak perlu mengembalikannya,” jawab Agnes.
Dia berkata dengan begitu enteng seolah-olah uang yang dikeluarkannya hanya bernilai seribu rupiah saja.
Sontak Aksa mengerem mendadak. Netra gelapnya menatap lekat pada Agnes. Apa wanita ini sudah gila? Aksa tak percaya di zaman serba materialistis ini masih ada orang yang rela menghamburkan uang untuk menolong seseorang yang baru dikenal.
“Tidak bisa begitu, Mbak. Bagi Mbak mungkin itu tidak ada artinya, tapi aku tetap ingin membayarnya. Mbak potong saja gajiku setiap bulan sampai utangku lunas.”
Sudah cukup Aksa menerima kebaikan Agnes dengan memberinya pekerjaan. Jangan lagi ditambah hal lain yang menyebabkan utang budi. Dia tidak mau hal itu terjadi.
Dijajah oleh perasaan utang budi jauh lebih menyiksa daripada bogem mentah yang dilayangkan para bandit penagih utang. Perasaan utang budi hanya akan melemahkan mentalnya. Dia jadi tidak punya kuasa untuk menyuarakan pendapat, apalagi mendebat.
Hidupnya akan seperti kerbau dicocok hidung. Menurut saja pada kemauan sang pemberi utang budi tersebut lantaran merasa segan dan tak enak hati. Mungkin karena itulah ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa utang emas bisa dibayar, utang budi dibawa mati. Ya, seumur hidup utang budi akan terus melekat dalam hati.
***
“Aaargh!” Aksa bangkit dari pembaringan dan meremas rambutnya dengan frustrasi. Dia berjalan lesu meninggalkan kamar dan duduk di teras samping. Rembulan menggantung di langit malam. Sedikit bersembunyi di balik pucuk pohon. Kerlip taburan bintang yang biasa memagari sang dewi malam kini tak lagi terlihat. Ke mana bintang-gemintang itu menghilang? Aksa memandang sayu pada pendar rembulan yang kian memudar. Kesendirian seakan telah menyebabkan dewi malam itu bermuram durja. Tiba-tiba saja Aksa merasa dia tak ubahnya seperti bulan yang mulai menghilang, tersaput mega kelam. Perlahan Aksa bangkit, mengayun langkah menuju halaman yang tidak begitu luas. Dia melangkah gontai dengan kedua tangan bersembunyi di dalam saku celana. Sesekali dia menarik kerah bajunya untuk melindungi lehernya dari serangan hawa dingin. 'Ya Tuhan, tidak adakah jalan lain yang bisa kutempuh?' batin Aksa, bertanya gundah. Agnes menolak keras untuk memotong gajinya sebagai jalan pelunasan utang. Gilanya, wanit
Detak jantung Agnes berdebar kencang ketika menyaksikan Nevan telah meletakkan gagang telepon dan berpaling kepadanya. Senyuman yang terbit di wajah lelaki tersebut terlihat mengerikan dengan bola mata berkilat licik. Dalam hati, Agnes tak henti-hentinya melafal doa agar Aksa segera kembali. Atmosfer ruang kerja Nevan mendadak terasa pengap dan lembap. Aura hangatnya telah berganti dengan suasana dingin dan mencekam, laksana sebuah gua gelap yang belum pernah terjamah. Langkah kaki Nevan yang berjalan mendekat terdengar seperti dentuman meriam di medan perang. Begitu menakutkan dan membuat bulu kuduk merinding. “Maaf! Aku butuh ke toilet sebentar!” pamit Agnes, buru-buru tegak. Dia mengayun langkah panjang menuju pintu sebelum Nevan semakin memangkas jarak di antara mereka. Nevan mengatupkan rahang rapat-rapat begitu Agnes menghilang di balik pintu tanpa menunggu persetujuannya. “Tak seorang pun bisa melarikan diri dariku,” geram Nevan. Manik matanya berkilat semakin tajam. Dia s
“Terima kasih, Mbak!” ujar Aksa begitu turun dari mobil. “Besok tidak usah kerja dulu,” tegas Agnes. “Istirahatlah sampai kondisimu benar-benar pulih!” “Ya, Mbak.” “Tunggu!” Baru beberapa langkah berjalan, Aksa kembali balik badan. Agnes memanggilnya. Apa wanita itu berubah pikiran? “Ya, Mbak?” Aksa mendekat dan sedikit membungkuk pada jendela mobil Agnes. “Ambil ini!” Agnes menyodorkan kantong keresek berisi kotak kepada Aksa. Ragu-ragu Aksa mengulurkan tangan dan meraih kantong tersebut. “Apa ini, Mbak?” tanyanya. “Hanya hadiah kecil untuk keluargamu.” Agnes menyahut santai, lalu mengoper gigi persneling dan menginjak pedal gas untuk meninggalkan rumah Aksa. Dia tidak ingin berlama-lama di sana. Tidak enak jika istri Aksa melihat kehadirannya. Aksa hanya bisa tegak bengong seperti orang linglung, menatap kepergian Agnes yang menyisakan kabut putih tipis dari hasil pembakaran mesin kendaraannya. UHUK! UHUK! Aksa terbatuk. Entah karena efek karbon monoksida yang ditinggalk
Agnes berjalan mondar-mandir bak setrikaan sedang bekerja. Jari-jarinya agak bergetar. Sedari kemarin dia menunggu Aksa menghubunginya, tetapi teleponnya tidak sekali pun berdering. Mendadak Agnes menjadi semakin gugup. Apa Aksa marah? Dia tidak bermaksud menjatuhkan harga diri lelaki tersebut. Dia hanya ingin membantu. Agnes mengeluarkan gawai dari sakunya. Menggenggamnya erat seakan-akan takut barang itu akan terlepas dari tangannya. 'Telepon tidak ya?' Pertanyaan penuh keraguan terus bergema di kepala Agnes. Sebagian sisi hatinya ingin sekali menghubungi Aksa detik itu juga. Namun, sisi hati yang lain justru mencegahnya. Entah sudah berapa lama Agnes bolak-balik dari ujung ke ujung di ruang kerjanya tersebut. Adakalanya dia menengadah sembari mengembuskan napas kencang. Berusaha melonggarkan rongga dadanya yang terasa bagai diimpit batu besar. “Bagaimana kalau dia marah dan tidak terima?” Agnes terus bergumam sendiri dengan perasaan tak menentu. “Jadi … benar Mbak yang mengir
“Gila kamu, Aksa!” Dendra memaki keponakannya sembari menghentikan langkah dan tegak dengan berkacak pinggang. Dari kejauhan dia masih bisa menyaksikan bayangan Agnes bercengkerama dengan mamanya dari balik kaca jendela yang sedikit gelap. “Cuma itu yang terlintas di pikiranku, Paman.” Aksa juga tidak tahu kenapa pada saat Ranty meminta jaminan, bibirnya spontan mengucap janji dengan lantang bahwa dia tidak akan menceraikan Agnes kecuali jika Agnes sendiri yang mengajukan gugatan cerai kepadanya. “Seharusnya kamu pakai batas waktu.” Dendra sangat menyayangkan kecerobohan Aksa. Walaupun dia tidak berharap rumah tangga keponakannya itu hancur di tengah jalan, dia juga tidak yakin Aksa mampu memegang teguh janjinya. Terlebih dengan mengingat usia Aksa yang lebih muda dari Agnes dan perkenalan mereka yang terbilang singkat. “Sudahlah, Paman,” tukas Aksa. “Semua sudah terjadi. Doakan saja aku bisa memenuhinya. Memangnya Paman tidak senang melihat rumah tanggaku langgeng?” “Bukan begi
Siluet sebuah benda yang melayang tepat ke arahnya memicu gerak refleks Aksa untuk segera menangkap benda itu. Sebuah bantal kini berada di dalam genggaman tangannya. Aksa memutar kepala ke kiri. Tampak Agnes sedang merapikan tempat tidur. Bersikap seolah-olah dia tidak tahu apa-apa mengenai bantal terbang yang menyasar tubuh Aksa. 'Ah, nyaman sekali bisa berbaring seperti ini,' pikir Agnes setelah merasakan penat di sekujur tubuhnya akibat prosesi pernikahannya dengan Aksa. Kelopak matanya yang sempat terkatup rapat mendadak terbuka lebar. Dia terlonjak bangkit, lantas duduk bersila di atas pembaringan. “Kamu boleh tidur di atas sofa itu.” Agnes menunjuk sofa besar yang terbentang di bawah jendela kamarnya. Pandangan Aksa mengikuti arah jari telunjuk Agnes. Sebuah sofa besar berwarna ungu gelap seperti memang sudah siap menyambut kehadirannya. 'Yang benar saja!' gerutu Aksa dalam hati. Dia tidak pernah bermimpi bahwa di malam pertama pernikahannya dia akan diminta untuk tidur
Menjejakkan kaki di dalam kamar, Aksa mendapati atmosfer ruang kamar itu seperti sedang dihantam angin badai disertai sambaran petir. Agnes berdiri di depan cermin, lalu balik badan begitu mendengar pintu berderit pelan dan Aksa berdiri di sana. Wajah cantiknya telah beralih rupa menjadi sosok dedemit yang sangat mengerikan. Kedua matanya melotot merah seakan-akan siap memancarkan sepasang sinar laser dari sana untuk meluluhlantakkan sekujur tubuh Aksa menjadi serpihan debu, yang akan menghilang tertiup angin. Gigi gerahamnya saling bertaut dan mengerit kuat. Membayangkan daging dari setiap bagian tubuh suaminya itu sedang dikunyahnya sekuat tenaga. “Masih pagi kok teriak-teriak,” komentar Aksa, berusaha memasang wajah setenang permukaan air danau tanpa embusan angin. “Ada apa?” “Kamu?!” Agnes menggeram. “Apa yang kamu lakukan pada tubuhku?!” Agnes menarik kerah bajunya lebar-lebar dan mengancakkan dua bercak merah keunguan yang menghiasi leher putih jenjangnya. Aksa menyeringai
Kyra mengangkat kepala. Dia sangat mengenali suara itu. Refleks dia memutar kepala ke arah pintu. “Papaaa ….” Jeritan leganya berkumandang ketika melihat sosok Aksa berdiri di tengah pintu dengan kedua tangan terisi penuh. Kyra menghambur ke dalam pelukan papanya, tepat pada saat Aksa menjatuhkan beban di tangannya dan berjongkok menyambut kehadiran Kyra. “Aku kira Papa tidak akan pulang,” cerocos Kyra, bergelayut manja pada leher papanya. “Itu mustahil, Sayang …” sanggah Aksa sambil terus berjalan menuju sofa dengan Kyra tetap berada di dalam gendongannya. Sejuta tanya memenuhi kepala Ainun. Ingin rasanya dia menguntai tanya itu satu per satu, tetapi diurungkannya. Dia tidak ingin melenyapkan senyum bahagia yang merekah di bibir putri kecilnya hanya karena menuruti naluri seorang wanita. Ainun merapikan lagi penampilan Kyra setelah Aksa mendudukkan gadis itu di atas sofa. Kristal bening yang tadi sempat menghujani wajah imut Kyra kini telah sirna, tak berbekas. Digantikan oleh