Share

5. Utang Budi

Aksa tersungkur tepat di ujung sepatu si lelaki perlente. Dorongan kuat Freddy menyebabkan wajahnya hampir menghantam lantai pelataran parkir dengan telak.

“Jadi, kau bersikeras untuk tidak mau melunasi utangmu?”

Lelaki perlente itu bertanya dengan nada dingin dan menginjak kepala Aksa dengan kaki kanannya.

Aksa mengeritkan gigi. Menahan geram yang bergejolak di dalam dada. Ingin sekali dia bangkit dan merobohkan lelaki perlente tersebut.

'Kalau aku melawan sekarang, tidak mustahil mereka akan merusak atau bahkan menghancurkan mobil Agnes. Lebih baik aku mengalah saja,' batin Aksa, menimbang-nimbang untung rugi jika dia melakukan konfrontasi fisik.

“Aku janji aku akan membayar semua utangku, Tuan Alvist,” ujar Aksa. “Tapi tidak sekarang. Beri aku waktu!”

“Aku sudah memberimu waktu berbulan-bulan, tapi kau malah melarikan diri alih-alih membayar utangmu padaku,” balas Alvist. “Aku sudah tidak bisa menoleransi lagi. Bayar sekarang atau ….”

Alvist tidak meneruskan kata-katanya. Dia memberi kode kepada Freddy dengan menggerakkan kepala. Freddy langsung tanggap dan menggeledah tubuh Aksa.

“Aku berhasil mendapatkan kuncinya, Tuan!” lapor Freddy setelah menemukan kunci mobil di saku celana Aksa.

Dia memamerkan kunci tersebut dengan menggoyangkannya di udara dalam posisi masih berjongkok di samping tubuh Aksa.

“Kalau kalian menginginkan sesuatu, bekerjalah! Jangan merampas apa yang sudah menjadi milik orang lain!”

Agnes tiba-tiba muncul dan menyambar kunci yang dipegang Freddy. Dalam hitungan detik, kunci itu sudah berpindah ke dalam genggamannya.

Freddy melongo kaget dan sontak berdiri. “Kembalikan, Nona!” hardiknya. Dia segera merebut kembali kunci tersebut dari tangan Agnes.

Agnes menggantung kunci tersebut di depan mukanya. “Kalian menginginkan ini? Ambil saja kalau bisa!”

Secepat kilat Freddy menyambar kunci di tangan Agnes. Meleset! Wanita tersebut berkelit lebih cepat.

“Ah, sayang gerakanmu sangat lamban!” ejek Agnes.

“Jangan main-main, Nona! Aku tidak peduli kau seorang wanita bila membuatku marah.”

Freddy menggeram. Merasa harga dirinya direndahkan karena telah dipermalukan di hadapan bosnya.

“Aku menantikannya!”

Merasa tertantang oleh sanggahan Agnes, Freddy merangsek maju. Berjuang merebut kembali kunci yang seharusnya sudah menjadi milik tuannya.

“Apa kamu akan terus tiduran di sana?” sindir Agnes pada Aksa. Tangannya terus bergerak lincah menghindari sambaran Freddy.

Aksa tersentak. Dia ingin bangkit, tetapi Alvist menekan kepalanya lebih kuat.

“Kamu tidak tahu caranya melindungi diri sendiri?”

Baru saja Aksa mengumpulkan kekuatan untuk melepaskan diri dari kekuasaan Alvist, dia merintih. Tahu-tahu Alvist sudah menduduki punggungnya.

“Sepertinya Anda sangat peduli dengan pecundang ini, Nona. Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?”

Alvist berkata tenang. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas.

Melihat Aksa tidak mampu bergerak di bawah sana. Agnes terpaksa menghentikan gelutannya dengan Freddy. Dia lantas memasukkan kunci mobil ke dalam kantong baju.

“Ck! Anda yakin mau bernegosiasi, padahal Anda tidak bisa membedakan antara manusia dan tempat duduk?”

Wajah tenang Alvist seketika memerah. Untuk pertama kali dalam hidupnya dia dilecehkan oleh seorang wanita.

“Anda tidak tahu apa-apa, Nona,” sahut Alvist, berusaha untuk tetap tampak tidak terpengaruh sama sekali oleh ocehan Agnes.

“Anda benar! Aku tidak tahu apa-apa, kecuali kenyataan bahwa kecerdasan Anda lebih rendah dari anjing tetanggaku.”

“Jaga ucapan Anda, Nona!”

Kali ini Alvist langsung terlonjak bangkit dengan mata memerah saga. Dia menghampiri Agnes dengan darah yang terasa mendidih. Bisa-bisanya wanita asing itu merendahkan dirinya lebih hina daripada seekor hewan peliharaan. Dia harus memberinya pelajaran.

Tangannya sudah sedari tadi terkepal dan siap menghancurkan wajah cantik berlidah setajam silet itu.

Menyaksikan bahaya mengancam Agnes, Aksa segera menahan tangan Alvist. Sialnya, tendangan Freddy sudah lebih dulu bersarang di perutnya, sebelum ujung jarinya berhasil menyentuh Alvist.

“Jangan sentuh dia, Tuan Alvist!” jerit Aksa. “Dia tidak ada hubungannya dengan semua utangku.”

Mata Agnes menyipit. Jadi, lelaki perlente itu menganiaya Aksa hanya gara-gara utang? Betapa tidak berartinya nyawa manusia jika sudah berkaitan dengan uang. Sudah sampai akhir zaman?

Alvist menoleh pada Aksa. Dia lupa dengan niatnya untuk menyerang Agnes.

“Kalau dari awal kau beritikad baik untuk melunasi utangmu, tentu aku tidak perlu menyakiti kekasih cantikmu ini,” ejek Alvist. “Atau … kau ingin menggunakan tubuh moleknya sebagai alat pembayaran?”

Aksa mengeritkan gigi. Tercuat hasrat untuk melayangkan bogem mentah kepada Alvist pada detik itu juga. Seluruh tenaganya sudah terpusat ke tangan dengan jari-jari terkepal erat.

“Lepaskan dia!”

Yang terjadi justru sebaliknya. Alvist bergerak mengitari Agnes dan berhenti tepat di belakangnya.

“Apa kau bersedia berkorban untuk kekasihmu, Nona?” bisik Alvist.

Tatapan mengejek dan seringai liciknya tertuju pada Aksa yang saat itu tengah berjuang membebaskan diri dari cengkeraman Freddy.

Agnes masih bersikap tenang. Penglihatannya mengamati ekspresi kesakitan yang sengaja disamarkan Aksa dengan tatapan ingin membunuh yang ditujukan kepada sosok Alvist.

“Berapa utangnya?”

“Seratus juta.”

Sudut bibir Alvist mencebik sinis. Wanita itu tentu tidak akan punya cukup uang untuk membayar utang Aksa. Senyuman licik pun mengembang di bibirnya. Angan nakalnya mulai berkelana ke mana-mana.

“Aku akan melunasi utangnya. Bebaskan dia!” tegas Agnes.

Seringai Alvist semakin lebar, lantas terdengar tawa kemenangannya. Sekali lagi dia mengelilingi Agnes. Dia memperhatikan dengan teliti setiap lekuk tubuh gadis cantik itu.

Alvist berhenti tepat di depan muka Agnes dan bertepuk tangan. “Wow! Lihatlah! Juliet bersedia mengorbankan dirinya demi menyelamatkan Romeo nan malang,” sindir Alvist.

Dua jarinya mengusap dagu seraya mengangguk-anggukkan kepala. “Baik. Keputusan sudah dibuat. Jangan menyesal, Nona! Ayo ikut aku!”

Alvist berniat menyeret lengan Agnes, tetapi Agnes segera menepisnya, sebelum ujung jari lelaki perlente tersebut berhasil menjamah kulitnya.

Riak kemarahan mulai membayang di wajah Alvist. “Sudah terlambat untuk berubah pikiran, Nona!”

Agnes menyeringai sinis. Dia membuka tas yang disandangnya dan mengeluarkan selembar cek. Jemari lentiknya segera menari lincah, menuliskan jumlah nominal yang harus dibayar Aksa kepada Alvist.

“Pergi dan jangan pernah muncul lagi di hadapan Aksa!”

Agnes menyerahkan lembaran cek yang sudah ditandatanganinya kepada Alvist.

Alvist terbelalak. Bukan pembayaran seperti itu yang terbayang dalam fantasi liarnya. “Kau!”

Alvist menggeram sembari menyambar cek yang disodorkan Agnes. “Ayo pergi!” ajaknya kepada Freddy. Sangat kentara nada kecewa bergema dalam suara baritonnya.

***

Laju kendaraan yang dikemudikan Aksa membelah jalanan dengan kecepatan rendah. Dia tidak habis pikir mengapa Agnes bersedia melunasi semua utangnya, padahal dia baru saja bekerja dalam hitungan hari.

Selama beberapa waktu, tak ada yang bicara. Keduanya seakan asyik bergelut dengan beragam tanya yang berkelindan dalam benak masing-masing. Hanya desau angin dari jendela yang terbuka berbisik pelan.

“Potong saja gajiku setiap bulan, Mbak!” cetus Aksa setelah lama tafakur dalam hening. “Aku akan bekerja keras dan mengabdikan diri kepada Mbak.”

Agnes menoleh kepada Aksa. Dahinya sedikit mengerut. Bukannya berterima kasih, Aksa malah langsung saja memberi perintah. Apa dia tidak pernah diajari sopan santun?

“Lupakan saja! Kamu tidak perlu mengembalikannya,” jawab Agnes.

Dia berkata dengan begitu enteng seolah-olah uang yang dikeluarkannya hanya bernilai seribu rupiah saja.

Sontak Aksa mengerem mendadak. Netra gelapnya menatap lekat pada Agnes. Apa wanita ini sudah gila? Aksa tak percaya di zaman serba materialistis ini masih ada orang yang rela menghamburkan uang untuk menolong seseorang yang baru dikenal.

“Tidak bisa begitu, Mbak. Bagi Mbak mungkin itu tidak ada artinya, tapi aku tetap ingin membayarnya. Mbak potong saja gajiku setiap bulan sampai utangku lunas.”

Sudah cukup Aksa menerima kebaikan Agnes dengan memberinya pekerjaan. Jangan lagi ditambah hal lain yang menyebabkan utang budi. Dia tidak mau hal itu terjadi.

Dijajah oleh perasaan utang budi jauh lebih menyiksa daripada bogem mentah yang dilayangkan para bandit penagih utang. Perasaan utang budi hanya akan melemahkan mentalnya. Dia jadi tidak punya kuasa untuk menyuarakan pendapat, apalagi mendebat.

Hidupnya akan seperti kerbau dicocok hidung. Menurut saja pada kemauan sang pemberi utang budi tersebut lantaran merasa segan dan tak enak hati. Mungkin karena itulah ada pepatah kuno yang mengatakan bahwa utang emas bisa dibayar, utang budi dibawa mati. Ya, seumur hidup utang budi akan terus melekat dalam hati.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status