POV RiaSore ini cuaca sedikit gerimis. Langit gelap bagaikan menjelang magrib, padahal baru masuk pukul empat sore. Aku yang tadinya mau belanja kebutuhan dapur bersama Bik Isah, terpaksa membatalkan. Sudah dapat dipastikan, taksi online akan susah didapat bila dalam keadaan hujan seperti ini. Padahal, beberapa hari lagi aku akan mengadakan acara sukuran perceraian.Tetesan air hujan membuat perasaanku mengharu biru. Setelah dua pekan menunggu sidang putusan, akhirnya siang tadi, hal yang sangat aku nantikan tiba juga. Aku dan Edwin sudah sah bercerai secara agama dan negara. Seluruh berkas resminya akan dikirimkan paling lambat dua bulan dari sidang putusan.Berakhir sudah satu kisah cintaku yang memang tak pernah benar-benar bersambut. Pacaran sebelum menikah, takkan pernah menjamin kamu mengenal betul pasanganmu. Seperti diriku yang tak mengetahui ternyata begitu banyak rahasia hidup Mas Edwin.Saat in
Jangan kemana-mana, tunggu di sini sebentar,” ujar Dirman pelan, lalu berbalik dan meninggalkan ruang makan. Ria masih mengatur napasnya yang sedikit sesak, karena terlalu gembira mendapat kejutan dari Dirman malam ini. Dia juga belum berkomentar apapun, tetapi lelaki itu sudah pergi ke kamarnya. Ria menoleh saat pintu kamar terbuka dan lelaki itu berjalan mendekatsambil memegang kertas putih. Apa itu? gumam Ria dalam hati.Dirman sudah duduk kembali di samping Ria. Pria itu tersenyum, lalu menyodorkan kerta putih yang ia pegang. “Apa ini, Mas?” tanya Ria bingung.“Buka saja dulu,” pintanya. Ria menurut, lalu membuka amplop itu dengan rasa tak sabar. Matanya membaca urut dalam hati dari baris paling atas sampai bawah surat.“Mas … ini ….”“Iya. Pihak hotel mengirim saya untuk ikut lomba itu. Padahal saya masih baru, karena katanya memang ini kompetisi chef muda dan penda
Sudah dua pekan aku tidak bertemu Mas Dirman. Kompetisi memasak yang dia ikuti ternyata memang menyita banyak waktunya, termasuk tidak bisa bolak-balik pulang ke rumah. Di satu sisi aku merasa sepi, tetapi di sisi lain aku merasa bersukur. Paling tidak, kami bisa menjaga diri masing-masing dari godaan setan.Terakhir video call semalam. Pagi ini pasti dia kembali sibuk mengurus kompetisinya. Aku memaklumi, karena dia pun sedang berjuang memantaskan diri untuk bersamaku."Non, maaf. Ada mama Non di luar," ujar Bu Isah memberitahuku."Eh, iya Bik. Mama memang bilang mau ke sini. Saya kirain sore, ternyata pagi sudah sampai. Buatkan teh hijau seperti biasa ya Bik," kataku seraya turun dari ranjang dan berjalan keluar kamar."Ma, sama siapa?" tanyaku begitu sampai di ruang tengah. Mama sedang memegang remot dan mengganti channel televisi. Kucium punggung tangannya dengan takzim, lalu ikut duduk di sampin
Tepat tujuh belas hari Mas Dirman belum pulang juga ke rumahku. Ponselnya sejak pagi hingga siang hari tidak aktif. Hanya malam saja, itu pun sudah pukul sebelas baru aktif. Sungguh baru kali ini, aku bisa merasakan dan memahami rindu itu sangat berat. Padahal, menjadi suamiku saja belum. Kami baru berencana dan tidak tahu juga kapan akan terealisasinya.Sudah pukul setengah sebelas malam, itu tandanya masih setengah jam lagi ponselnya baru aktif. Berulang kali aku menatap layar statusnya yang masih sama seperti kemarin, yaitu hanya berupa gambar sphagetti yang nampak sangat menggiurkan. Mataku pun sudah mengantuk, tapi hati dan isi kepalaku masih tetap semangat dan bertahan sampai bisa mendengar suara lelaki itu walau sebentar."Non, udah tidur?"Pesan singkat yang masuk ke dalam ponselku, langsung terbaca walau belum kubuka."Telpon, saya rindu." Sambil menggigit bibir, aku tak sabar menanti telepo
Dua satu plus"Saya terima nikah dan kawinnya Maria Septiani Putri binti Mario Daksa dengan mas kawin seperangkat alat salat dan perhiasan emas dibayar tunai.""Bagaimana Bapak,Ibu? Sah?""Sah."Semua orang mengucap Alhamdulillah dengan suara lantang dan penuh haru. Aku pun sama. Akhirnya, setelah melewati banyak rintangan, tanjakan, dan turunan, resmi sudah aku menjadi istri dari Mas Dirman Suteja. Lelaki yang dahulu kuanggap hanya sebagai sopir di rumahku, kini berubah menjadi suamiku. Sungguh takdir Tuhan tidak pernah ditebak oleh akal manusia."Silakan dicium bibir suaminya. Eh ... Salah deh saya. Cium bibir mah di kamar ya, kalau di sini nanti saya panas dingin," seru petugas KUA yang turut mendampingi penghulu. Semua orang tertawa, begitu pun Mas Teja dan aku.Dengan penuh hikmat, kucium punggung tangan lelaki yang suda
Pagi ini, cuaca di luar sedang gerimis. Aku sibuk menyiapkan menu sarapan terbaik untuk suami dan juga anak-anakku. Untuk pekerjaan rumah lainnya, masih ada Bik Isah yang membantuku menyelesaikannya. Mas Teja sudah rapi dengan celana bahan, serta kemeja berwarna pastel. Siwi dan Adam juga sudah duduk di kursi makan, siap menanti sarapan roti bakar keju dan juga sosis bakar yang sedang kutata di atas meja."Bunda, makan yuk!" ajak Siwi sambil memperlihatkan gigi depannya yang baru saja copot. Aku pun ikut tersenyum, lalu mengangguk. Baru akan menarik kursi di depan mereka, Mas Teja langsung menarikku untuk duduk di pangkuannya.Siwi dan Adam terkikik geli melihat kelakuan ayah mereka yang sangat aneh. Aku pun demikian. "Mas, malu ada anak-anak," ujarku dengan wajah merona merah."Gak papa. Mereka juga tahu kalau ayah dan bundanya sedang pacaran. Ya kan?" lelaki itu dengan penuh percaya dirinya mengedipkan sebelah mata pada
"Mohon maaf, untuk nama anak Mas Teja yang laki-laki. Saya ganti ya. Bukan Adam, tetapi Aji."Aku membawa Aji pulang ke rumah. Anak lelaki itu terlihat biasa saja dan juga ceria, hanya saja aku yang masih khawatir dengan keadaannya. Mas Teja belum kuberitahu, biarlah saat dia pulang saja baru kami diskusikan, baiknya seperti apa ini.Dengan taksi online, kami pulang ke rumah. Aji tertidur karena lelah menangis, saat dijahit kepalanya. Anak yang kuat, dia hanya menangis karena kesakitan, bukan karena manja."Mas, mampir ke restoran cepat saji di depan ya," kataku pada sopir taksi. Kami belum sempat memasak dan aku yakin, saat bangun nanti Aji pasti lapar. Menikmati makan siang dengan fried chicken dan juga es krim coklat adalah kesukaan Aji dan juga Siwi. Aku memutuskan untuk membeli empat paket makan siang untuk kami berempat."Wangi sekali." Aku membaui aroma ayam goreng kriuk yang
Sudah 3 bulan aku menikah dengan Mas Teja. Setiap angka di kalender melewati dua puluh, hati ini selalu harap-harap cemas. Bulan-bulan lalu, aku gagal. Darah haid mengalir dengan deras seperti biasanya. Tentu aku kecewa karena berharap begitu menikah, aku langsung hamil.Aku menangis dan suamiku dengan sabar menenangkanku, serta memberikan semangat. Dia sama sekali tidak marah, saat jadwal datang bulanku hadir lagi. Lelaki itu melapangkan hati ini dengan mengatakan, kita coba lagi esok.Hari ini, sudah tanggal dua puluh. Mas Teja sudah berangkat pagi mengantar Aji dan Siwi ke sekolah. Aku merasa sangat bersukur, saat bangun pagi, tidak kutemukan darah haid. Semoga dia tidak muncul lagi dan di dalam perutku ini ada bayi. Buah cintaku dan Mas Teja."Non, lemes sekali. Udah minum vitamin belum?" tanya Bik Isah saat menghampiriku yang tengah melamun di teras depan. Aku menoleh, lalu mengangguk."Non haid lagi?