Share

BAHAYA MENGANCAM NEONA

Segera hentikan berita itu, atau kalian akan menyesal seumur hidup kalian,” tekan Tuti.

Malam beranjak menjemput, Zenan kini sudah mulai melakukan aktivitas ringan setelah bujukan Laras siang tadi. Siang itu memang Laras tanpa sengaja mengunjungi kediaman Alexander, hanya sekedar bertegur sapa. Namun sayang setiba di teras depan rumah bak istana itu, telinganya dikejutkan dengan suara jeritan dan teriakan beberapa orang dari dalam rumah.

            Ia pun mempercepat langkahnya, menerobos ruang utama dan menemukan Gian dan beberapa pelayan lainnya, tengah memegangi Zenan yang mengamuk.

            “Ya tuhan, Om. Ada apa ini?” tanyanya heran.

            “Bantu Om, Laras. Zenan mau bunuh diri,” lirih Gian, di saat ia masih kuat memegangi tubuh Zenan yang meronta.

            Laras lantas segera menghubungi dokter yang ia kenal, sementara Gian dan beberapa pelayannya segera mengikat kaki dan tangan Zenan dengan kain seadanya. 

            Lelaki tegap dan kuat itu kini tak berdaya. Timbunan alkohol dari minuman keras telah menghisap semua kekuatan yang pernah ia miliki.

            Ia lemah tak berdaya menerima kepungan dari keluarganya. Masih bersimbah isakan dan tangis penyesalan, lelaki tegap itu hanya meratap, tak berdaya.

            “Ze, nggak ada gunanya lo kayak gini. Justru ini yang diinginkan Neona, Ze,” tegur Laras.

            “Apa gue harus menerima semua kekejaman ini, La? Jesline khianati gue, Neona nyiksa batin gue habis-habisan, kenapa nasib gue sesial ini, La?” ratap Zenan di sela isakan penyesalannya.

            Laras hanya menghela napas dalam, sembari menatap iba ke  arah lelaki  yang beberapa waktu lalu begitu tampan, terlihat cool, dan mempesona.

            Kini manik-manik mata Laras bahkan bisa menemukan beberapa bulu liar mulai tumbuh di garis dagu dan rahang tegas Zenan.

            Kepalanya yang selalu keren dengan gaya plontosnya kini sudah mulai ditumbuhi helai-helai rambut tak beraturan. Jauh dari kesan dirinya sebagai Letnan idaman. –

***

            Di tempat lain, Gian dan Adnan tengah melakukan pertemuan pribadi di sebuah Café bilangan Jakarta. Sudah barang tentu keduanya sedang membahas sikap Neona yang sudah di luar batas kemanusiaan.

            “Andai saya mau, saya bisa saja menuntut Neona atas semua yang menimpa Zenan,” lirih Gian menyesap kopi Americano-nya.

            “Kenapa Om tidak melakukannya?” timpal Adnan dengan suara yang sudah tak bersemangat lagi.

            Gian terkejut mendengar kalimat yang terlontar dari sosok bijak seperti Adnan. Ia tidak menduga jika Adnan akan membiarkannya melakukan hal yang sangat membahayakan karir dan reputasi Neona.

            “Apa kamu sekarang sedang memintaku, Adnan?” terkanya.

            “Bukankah Om sendiri yang menginginkannya? Lakukan apa yang menurut Om benar.”

            “Apa kamu sudah menyerah, Adnan? Ingat, Neona masih berstatus istri kamu dan aku tau betul kamu sangat mencintainya. Kenapa sekarang kamu malah….” Gian menjeda, ia masih menatap Adnan dengan sungguh-sungguh.“Apa kamu tahu bahayanya jika sampai pers tau kalau Neona berbuat sekejam ini? Bukankah kamu selalu melindunginya selama ini?” – adik?

            “Itu dulu, Om,” sergah Adnan.

            “Itu dulu, saat aku berharap akan ada celah untuk dia berubah, tapi nyatanya tidak. Dan mengenai hubunganku, itu hanya status semata, Om. Setidaknya itulah anggapan Neona,” lanjutnya.

            Adnan tak banyak menanggapi lagi, ia pun segera berpamitan dan meninggalkan Gian yang termangu duduk, mencerna ucapan Adnan.

            Hatinya terkejut, namun juga memaklumi, ia bisa memahami bagaimana perasaan lelaki sebaik Adnan selama ini menghadapi sifat keras Neona.

***

            Pagi itu, Neona dengan bantuan kursi rodanya menapaki lantai lobi rumah sakit, mobil Van hitam sudah menunggu dengan setia di depan teras rumah sakit. Rara yang berjumbu di pintu penumpang segera turun menyambut Neona dan membantunya naik ke dalam mobil. Mereka hendak kembali ke apartemen milik Neona. Rara dengan sangat lembut memperbaiki pakaian Neona yang sudah berganti. Sementara Tuti seperti biasa larut dalam iPad, mencoba memantau perkembangan gosip sosmed.

            Tidak ada yang mengejutkannya dari Neona, selain berita pertengkaran yang sudah terekspos, akan tetapi kali ini sebuah tulisan headline utama sebuah situs web membuat wanita berkacamata itu membelalak, kelopak matanya seakan dipenuhi oleh warna putih matanya.

            PENGUSAHA SUKSES MENUNTUT ARTIS NEONA ATAS TERGANGGUNYA MENTAL SANG ANAK ZENAN ALEXANDER.

            Tuti membaca dengan jeli dalam hati bunyi judul headline tersebut.

            Mata Rara melirik sesaat ke arah Tuti, yang terlihat tak berkedip pada layar iPad-nya. Ia tahu persis jika wanita bermata empat itu tengah menyaksikan sesuatu yang tak biasa. --

            Perlahan tanpa sepengetahuan Neona, Rara mencolek pinggang Tuti membuat wanita itu berhasil mengalihkan perhatiannya. Rara mengangkat alis seakan meminta penjelasan apa yang sedang menarik perhatian Tuti. Raut cemas kini tertampil di wajah Tuti.

            “Bipbip! Kita nggak jadi pulang ke apartemen, kita ke Bandung sekarang!” perintah Tuti dengan suara lantangnya.

            “Iya, mbak,” jawab sopir pribadi Neona bernama Bipbip.

            “Kenapa kita ke Bandung, Tut?” tanya Neona yang terkejut dengan perubahan haluan mendadak yang dilakukan Tuti.

            “Eh, Na, lo kan baru sembuh, lo butuh waktu pemulihan lama, tadi juga dokter bilang gitu. Lagian kemarin kan lo udah menghadapi masalah berat. Jadi lo butuh suasana baru agar pikiran lo sedikit damai, jadi lo bisa kerja semangat kayak dulu lagi.”  Tuti berbohong.

            Rara hanya menahan napas, kecemasan sudah menyapa hati lelaki berpenampilan wanita itu. matanya tak diam mengedar sembarang. Ia terus melirik Tuti yang sudah kembali dengan layar iPad. Tak lama sebuah pesan chat masuk ke ponsel Tuti, itu pun dari Rara yang mencoba berkomunikasi melalui pesan. 

Rara : Mbak Tut, ada apa? Beri tahu eke, eke tatut nih.

Tuti : Gawat, Ra. Tuan Gian menuntut Neona atas gangguan mental yang dialami Zenan. Gimana nih? Bisa-bisa karir Neona hancur juga reputasi dia.

Rara : Terus gimana dong nasib bebe?

Tuti : Lo jagain Neona, gue akan temui pak Theo, semua harus di selesaikan sekarang juga.

Rara : Mbak yakin?

Tuti : Iya, deh lo bantuin gue main drama sekarang.

Rara : Ok.

            Tepat setelah mobil Van hitam itu keluar dari jalan tol, tiba-tiba Tuti meminta Bipbip berhenti di pinggiran jalan, sekali lagi Neona heran dengan tingkah aneh Tuti hari itu.

            “Bip, berhenti di depan bentar deh,” pinta Tuti.

            “Kok berhenti? Lo mau kemana, Tut? Lo aneh, deh, hari ini, ada apa, sih?” sidik Neona, merasa curiga.

            “Eh, gue baru inget, Na. Ada dokumen kerjasama perusahaan lupa gue bawa. Pak Bisma minta filenya, mau ditindak lanjuti katanya.” Tuti berbohong lagi.

            Tak mau ambil pusing, Neona menyudahi pertanyaannya. Ia  memilih diam dan lanjut pada bacaannya di dalam mobil.

****

            Sekembali dari pertemuannya dengan Gian Alexander, Adnan menghubungi Moly dan Laras untuk datang ke kantornya. Mereka cukup lama berdiskusi tentang apa yang sudah mereka lakukan untuk Neona.

            “Kak Adnan nggak salah kok, Kak. Ini, toh, untuk kebaikan Neona. Biarin aja, Kak,” tanggap Moly setelah mendengar hasil pertemuan Adnan dengan Gian, ayah Zenan.

            “Tapi aku cemas sama Neona, Ly,” lirih Adnan.

            “Ah udahlah kak, anak itu sudah berubah total, mentang-mentang artis terkenal, biarin aja biar dia nyaho, lagian dia sendiri yang mulai, kok,” komen Laras ketus.

***

            Di tempat lain seorang gadis berkacamata dengan rambut terikat setinggi ubun-ubun, tampak berlari menerobos lantai lobi Sen Group. Ia terus menyalip setiap karyawan yang berpapasan dengannya. Bahkan ia tak menggubris setiap sapaan atau teguran dari teman yang mengenalnya.

            Tuti tak berpikir akan tata krama saat itu, yang terlintas di benaknya hanyalah, ia harus bertemu dengan lelaki bernama Adnan demi menyelesaikan masalah yang sangat berbahaya bagi semua orang itu. Theo, satu-satunya jalan ia menuju lelaki yang dicarinya itu.

            “Pak Theo!” teriaknya begitu pintu CEO terbuka kasar olehnya. --

            “Ada apa, sih, Tuti?! Kamu masuk begitu saja, tidak punya sopan santun kamu?” bentak Theo, yang terperanjat oleh suara Tuti.

            “Udah, Pak. Bukan waktunya urus tata krama dan sopan santun. Saya harus bertemu dengan orang yang bernama Adnan itu, Pak,” katanya dengan napas terengah-engah.

            Berkali-kali Tuti mengatur ulang napas, namun kalimatnya tak bisa berjeda karena hal yang disampaikan sangatlah penting.

            “Ada apa? Kamu mau bertemu pak Adnan? Tidak bisa, saya tidak kenal,” ketus Theo acuh.

            “Aduh, Pak , ini gawat, ini masalah Neona.”

            “Ada apa lagi dengan gadis itu?” suara datar Theo yang kembali dengan dokumennya.

            “Pak, pokoknya saya harus bertemu dengan pak Adnan sekarang!” teriak Tuti, melambungkan suaranya sangat keras hingga membuat Theo tidak nyaman.

            “Kalau Bapak tidak mempertemukan saya dengan pak Adnan, Neona akan mati!” ancamnya berbohong.

            Berhasil, kalimat terakhir Tuti mampu membuat Theo menghentikan aktivitasnya. Lelaki itu pun lantas membawa Tuti menuju kantor NB Group. Tuti yang sudah lama melanglang buana dalam dunia bisnis, sangat menghafal setiap perusahaan besar dan nama pemiliknya, termasuk NB Group.

            Ia tahu persis kalau CEO dari perusahaan itu adalah Bagaskoro.

            “Kenapa ke sini, sih, Pak? Saya, kan, mintanya antar ke pak Adnan, bukan ke pak Bagas,” protes Tuti, saat mobil Theo berhenti sempurna di pelataran kantor Adnan. Bukannya menjawab Tuti, laki-laki itu membawa Tuti menuju ruang CEO perusahaan itu.

            Adnan, Moly, dan Laras terkejut dengan kedatangan dua orang tamu yang tak pernah mereka undang itu.

            “Ada apa, Theo?” tanya Adnan heran.

            “Iya, Mas Theo, ada apa tiba-tiba gitu?” tanya Moly.

            “Dia bukannya Manajer Neona? Ada apa dia kemari?” giliran Laras meminta penjelasan.

            “Nan, ini Tuti, katanya dia mau ketemu sama lo, masalah Neona.” Theo mulai mengangkat bicara, sontak Tuti mengedarkan pandangannya ke arah Adnan mendengar nama panggilan yang diucapkan Theo.

            “Jadi, pak Bagas ini, adalah pak Adnan?” tunjuk Tuti merengut heran. “Pak Bagas, eh maaf, Pak Adnan, tolong, Pak. Bapak harus menghentikan tuntutan mengenai Neona, ini bahaya, Pak.”

            “Eh, Mbak Tuti, maksud mbak apa?” ketus Moly nampak sangar melihat ke arah Tuti yang lugu.

            Tuti Pun menceritakan perkembangan berita, yang pagi ini sudah menguasai dunia sosmed.

            “Mbak Tuti nggak usah ikut campur, Neona pantas, kok, terima semua itu,” timpal Laras.

            “Iya, sebaiknya Mbak Tuti bersiap-siap saja, cari bos baru,” lanjut Moly berkacak pinggang.

            “Dia memang harus menghadapi itu, Mbak Tuti, karena sikap Neona sudah melampaui batas, mungkin dengan begitu dia akan sadar, Mbak,” suara Adnan yang terdengar lebih pelan dan tenang.

            “Ya, Tuhan! Oh, ya, Tuhan! Pak Adnan! Bapak sadar nggak, sih? Apa yang sudah Bapak lakukan?” suara Tuti yang sudah terdengar kesal.

            “Mbak Moly, Mbak Laras juga! Kalian ini adalah orang terdekat Neona, seharusnya dalam situasi seperti ini bukannya menyudutkan dia atau apa pun. Asal kalian tahu, apa yang terjadi pada Neona sekarang ini justru akan membuat dia semakin membenci kalian! Bukan malah merubahnya!” cecar Tuti semakin terdengar kesal.

            “Saya tidak tahu apa yang sudah dialami Neona di masa lalu, dan apa yang sudah kalian lakukan kepadanya hingga dia berubah seperti sekarang ini. Saya pun tak menyukai sifat dia yang sekarang. Tapi membuat dia terjebak dalam masalah hukum seperti sekarang ini, itu akan membuat dia merasa hancur, terpuruk, dan memiliki masa  depan yang suram. Dan yang lebih mengerikan lagi dia akan mengalami krisis kepercayaan, baik kepada orang lain atau pun dirinya. Sadar nggak, sih? Kalian menghancurkan mentalnya dan membuat ia benar-benar menjadi sosok  kriminal, bagi dirinya,” jelas Tuti.

            Moly, Laras, dan Adnan saling melempar tatapan. Kalimat yang baru saja dijabarkan Tuti cukup menyapa akal sehat mereka. Apa yang dikatakan Tuti sungguh di luar nalar mereka. Semua terdiam, hati mereka tercekat dengan akibat terparah yang sudah mereka timbulkan untuk Neona.

            “Dan Anda, pak Adnan, saya yakin Neona juga mencintai Anda, tapi dia tidak bisa menunjukkan itu. Tapi Anda malah … sumpah demi Tuhan, Pak Adnan. Apa Bapak tidak percaya kalau batu saja bisa melepuh, besi bisa meleleh? Apalagi ini hanya sebuah hati, Pak. Saya yakin seratus persen, ada cinta untuk Bapak di hati Neona, hanya ….” Tuti tak sanggup lagi melanjutkan kalimatnya, rasa kesal dan kecewa sudah menguasai dirinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status