Beranda / Romansa / Beauty In The Shadow / MASUK RUMAH SAKIT

Share

MASUK RUMAH SAKIT

Penulis: Ang Lin H
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-06 16:01:10

Gian—ayah Zenan—masih berusaha mendobrak pintu kamar Zenan yang terkunci. Sejak pulang jam satu dini hari, sejak saat itu putra semata wayangnya itu mengurung diri. Sesekali terdengar pecahan beling dan sesekali terdengar jeritan frustrasi Zenan. Makian, kalimat penyesalan, bermunculan dari mulut Zenan. Suara pukulan beberapa benda pun terdengar. Hal itu  membuat Gian sangat mengkhawatirkan kondisi mental Zenan. Ia takut jika putranya itu melakukan hal yang bodoh.

“Zenan! Zenan! Buka pintunya, Nak! Jangan siksa dirimu seperti ini! Kita masih punya jalan keluar!” teriaknya berusaha menyadarkan Zenan.

Usaha Gian sia-sia, tak ada jawaban apapun dari dalam kamar Zenan. Hanya suara jeritan tangis penyesalan dari mulut lelaki hebat itu.

“Papi akan menemui Neona, hari ini,” tegasnya.

***

Tuti dan Rara terkejut dengan kedatangan sosok dua pria luar biasa. Benar, Theo dan Adnan memutuskan datang untuk menjenguk Neona di rumah sakit. Kedua lelaki itu tampak berkarisma menelusuri lorong rumah sakit. Tak jarang mata genit perawat wanita bermain ke arah wajah sejuta pesona kedua pria.

“Wah, Sri, kapan ya gue punya laki kayak mereka?” tanya Suster Rani, bagian resepsionis.

“Ya, Tuhan apalagi yang pake kemeja navy, uh gantengnya! Suami masa  depanku,” suara suster Sri Rahmawati, memfokuskan pandangannya pada Adnan.

“Ya, Tuhan kenapa gue terlahir jadi cowok ya? Coba kalau gue cewek, udah gue embat tuh cowok,” komentar Deri, Sang perawat laki-laki.

Dan beberapa deretan kalimat kekaguman juga tatapan kagum setiap yang melihat keduanya.

Tepat di depan kamar rawat Neona, Tuti dan Rara saling melempar tatapan, kaget juga kagum. Satu yang membuat mereka terkejut adalah sosok lelaki yang berdiri di samping Theo. Bagi Tuti, wajah itu tidak asing. Sosok pria yang sering Tuti lihat di pajangan majalah bisnis Asia dan Internasional. Bahkan kerap bertemu di beberapa pertemuan bisnis dunia hiburan sejak ia mulai berkerja di PH milik Theo—Sen Production House, salah satu anak cabang bisnis Theo. Adnan juga sosok donator beberapa perusahaan besar termasuk perusahaan PH milik Theo.

“Ra, itu, kan, Tuan Bagas?” lontar Tuti.

“I-iya mbak, duh cowok cool eke. Pak Bagas emang idaman, Mbak,” puji Rara mengganjen. - rev

“Sore Tuti, apa kabarmu?” sapa Theo.

“Eh, sore, Pak Theo,” jawab Tuti.

Gadis itu tak memalingkan wajah pada sosok tenang yang berdiri di samping Theo. Ia pun menyiku Rara yang masih memasang mata genit.

Adnan hanya mengulas senyum dan tak lama Theo mulai masuk ke dalam kamar inap Neona.

Tuti dan Rara tak mau ketinggalan berita terheboh yang selama ini mengganjal dalam pikirannya, tentang sosok Neona. Keduanya pun berjalan mengekori dua lelaki tampan itu memasuki ruangan Neona.

Mata Adnan disambut dengan pemandangan kaki Neona yang sudah terbungkus gips putih. Gadis itu masih terlihat santai. Dia membaca majalah dan duduk di bibir ranjang.

Adnan terkesiap. Matanya mengedar pada bentuk kaki Neona.

Laki-laki itu hanya menatap sejurus, fokus, melipat tangan di dada, tanpa berucap sepatah kata pun. Neona cukup memahami arti sikap Adnan saat itu. Tuti dan Rara merengut melihat ekspresi Sang big bos yang menampilkan berbagai spekulasi. Theo tersenyum geli mencoba mengganggu Neona untuk mencairkan kacanggungan yang tercipta.

“Wah, Neona bagus banget sepatu syutingmu,” ledeknya.

“Ih, Pak Theo apaan, sih? Bukannya bersimpati malah ngejekin,” timpal Neona mengerucutkan bibir.

Sesaat mata Neona melirik ke arah Adnan yang masih menyorot dingin ke arahnya. Neona langsung memalingkan pandangan. Ia mengedarkan bola mata ke arah sembarang untuk menghindari sorot dari Adnan.

Theo menyerep ke arah Tuti dan Rara, meminta kedua wanita itu untuk meninggalkan ruang rawat Neona. Dengan langkah pelan, kedua tangan Theo menarik Tuti dan Rara untuk segera beranjak meninggalkan ruangan itu. Tuti sudah mencium ada hubungan tak biasa antara Neona dengan laki-laki yang dikenal dengan nama Bagas dalam dunia bisnis itu.

Benar, sebuah fakta jika dalam dunia bisnis, Adnan lebih dikenal dengan nama Bagaskoro. Lelaki itu lebih sering menggunakan nama belakangnya dalam melakukan transaksi bisnisnya.

Dalam dunia hiburan pun nama Bagaskoro sudah sangat terkenal sebagai sosok billionare yang sering menyuntikkan modal kepada beberapa PH. Namun lelaki itu tak pernah menunjukkan batang hidungnya terutama pada Sen PH. Hanya sekali ia menunjukkan diri saat penyelenggaraan penghargaan pada insan hiburan.

Ini adalah kali kedua Tuti dan Rara bertemu dengan sosok legendaris itu. Dan yang lebih mencengangkan lagi, laki-laki itu memiliki hubungan tak biasa dengan sosok artis yang ia ayomi selama setahun terakhir itu.

            “Apa kamu sudah puas sekarang, Neona?” suara bariton Adnan yang mulai mengintimidasi Neona.

            Gadis itu hanya diam, mengedar padangannya dan menggigit bibir. Rasa cemas sudah tertampil dari logat Neona yang sudah tak beraturan. Dalam hati ingin rasanya Adnan menyentuh lagi kedua ujung bibir Neona, mengulang kembali kemesraan yang pernah ada antara keduanya dulu. Melihat gadis itu sekarang ia sangat menyesal kenapa sebuah kebenaran harus terasa sepahit itu.

            Adnan mengangkat wajah, memandang langit-langit kamar rumah sakit, berkacak pinggang, dan rasa kesal membuat ia menghentakkan sebelah kakinya ke lantai, hingga membuat suara deru dalam ruangan itu.

            “Jawab aku Neona!” hardik Adnan.

            “Aku belum puas!” sergah Neona dengan suara yang sedikit pelan. “Aku belum puas, bahkan jika kalian sampai mati, aku belum puas!”

            “Apa kesalahan kami sangat fatal hingga kami harus menerima hukuman sekejam ini, Neona? Aku, Moly, dan Laras, bahkan sekarang Zenan. Apa kamu tahu akibat perbuatanmu? Zenan hancur, Na. Zenan sekarang hancur! Sangat hancur! Kau puas?!”

            “Kenapa nggak sekalian aja dia mati?” sergah Neona melambungkan suaranya. “Sekalian aja dia bunuh diri, juga ayahnya. Bila perlu semua yang bersangkutan dengannya menyusul ayah Buyung ke alam baka!”

            “Neona!” teriak Adnan.

             "Kak Adnan! Jika kakak keberatan dengan perubahanku ini, seharusnya kakak berpikir terlebih dahulu, sebelum kakak memutuskan untuk membohongiku tiga tahun lalu. Dua tahun! Dua tahun, kak, selama dua tahun kakak membohongiku dan bahkan berhasil membuat ikatan denganku. Lalu apa bedanya kakak dengan Zenan, Laras, dan Moly, sekutumu itu!" pungkasnya.

            Neona menyeringai, setidaknya itu yang harus ia lakukan di hadapan lelaki baik itu. Neona harus berkerja keras berakting di hadapan Adnan, karena itulah jalan terbaik yang dapat ia pikirkan untuk laki-laki terbaik di hadapannya saat ini.

            “Jika bukan karena kalian, aku tidak akan seperti sekarang ini. Tidak akan ada Neona si angkuh, dingin, dan jahat!” suara ketus Neona.

            Gadis itu membuang padangannya. Ia berusaha menyembunyikan perasaan. Apalagi lelaki itu kini tengah duduk mencari sedikit celah kebaikan hati.

            “Kamu tau persis hubungan kita seperti apa, Neona. Dan sampai detik ini kamu masih menyandang status nyonya Bagaskoro, camkan itu! Jadi, jika aku mau, kau bisa hancur detik ini juga,” ancam Adnan dengan suara dingin.

            “Jadi jika aku mau, aku bisa membuatmu menyesal lebih dari sebelumnya, Nyonya Bagaskaro.” Suara Adnan kini lebih terdengar mengerikan dari sebuah ancaman belaka. Bahkan kalimat itu berhembus seiring napas jengkel yang sudah menguasainya saat ini.

            Neona memejamkan kedua matanya, ia menelan ludah. Saat ini hatinya tengah bergetar untuk suara lelaki yang menekan statusnya dengan sangat jelas. Ia bahkan dapat merasakan hembusan napas Adnan yang sudah meniup di sisi telinga sampingnya. Membuat seurat rambut menyibak karena hembusan napas kecewa itu.

            Maaf, Kak Adnan. Maaf, aku harus menyakitimu lagi, suamiku tersayang, batin Neona.

            “Itulah kenapa kita lebih baik tidak bertemu. Selamanya,” tegas Neona.

            Adnan menarik tubuh ketika jawaban dingin itu keluar lagi dari mulut Neona. Sampai detik ini ia bahkan tak bisa memahami isi hati gadis itu. Adnan beringsut berdiri, laki-laki itu mendengus kesal, ia kemudian berbalik dan melangkah menuju pintu keluar.

            Terasa berat baginya untuk melanjutkan langkah. Sejenak ia berbalik menoleh ke arah bayangan Neona, namun gadis itu masih tak bergeming. Dia masih larut dengan pandangannya ke luar jendela seolah ada sesuatu yang menarik perhatiannya, yang sebenarnya tidak ada.

            Adnan meninggalkan ruangan Neona, namun ketika tangannya membuka daun pintu, sosok tubuh Laras menerobos masuk begitu saja dan berjalan melewati Adnan yang mematung terkesiap dengan tingkah Laras.

            PLAK PLAK

            Dua tamparan mendarat di pipi kiri dan kanan Neona. Sontak Neona tercekat dan memegangi kedua pipinya. Matanya menangkap wajah Laras yang sudah memasang wajah membunuh ke arahnya.

            Adnan hanya menatap dingin, sementara Theo dan dua orang manajer Neona yang mengintip dari luar pun tak kalah terkejutnya dengan kelakuan Laras.

            “Lo manusia apa bukan sih, Na? Jahat lo, ya! Tega lo! Dosa apa, sih, sampai gue kenal sahabat kayak lo, Neona. Kalau gue tau semuanya bakalan kayak gini, gue nyesel kenal sama elo, Neona!” omel Laras tak merubah pandangannya.“Itu baru tamparan, lain kali gue bunuh lo kalau terjadi apa-apa sama Zenan dan kak Adnan!”

            “Adnan,” gumam Tuti yang menangkap nama baru dari suara Laras, ia sama sekali tidak mengetahui jika pemilik nama itu tengah ada di tengah-tengah mereka.

            “Sumpah demi tuhan, Neona, gue pernah lihat preman paling kejam di muka bumi ini, tapi elo bahkan lebih kejam dari mereka, Na. Sadis!”

            “Udah puas lo ngomelnya? Sekarang lo pergi! Pergi! Jangan pernah muncul lagi di hadapan gue. Tuti! Lain kali gue nggak mau ketemu lagi dengan dua orang bego ini!” teriak Neona yang terdengar keras dan melengking. ---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Beauty In The Shadow   AMANAT SEORANG SAHABAT

    Sudah satu bulan, Khadijah dan Buyung menikah dan kembali ke rumah Buyung yang ada di Jakarta. Perlahan Buyung memperkenalkan Khadijah dalam keluarganya. Murni pun akhirnya ikut tinggal bersama mereka. Baik Khadijah maupun Buyung memperlakukan Murni layaknya kerabat sendiri membuat wanita itu tak merasa sungkan sedikitpun pada kedua sahabatnya itu. Kabar pernikahan itu sampai ke telinga Adnan anak sulung Buyung, namun bocah kecil itu memilih untuk tetap tinggal bersama Om dan Tantenya di Lombok.Pagi itu untuk pertama kalinya Murni belum juga menampakkan batang hidungnya di meja makan. Khadijah merasa sangat khawatir, ia pun segera menuju kamar sahabatnya itu. Matanya membulat ketika tidak mendapati tubuh Murni di atas kasur.“Uwek,,Uwek,,Uwek!” suara Murni dari balik kamar mandi.“Kamu kenapa Ni?, kamu masuk angin? Atau salah makan?” tanya Khadijah memberondong.“Entahlah Dj.”

  • Beauty In The Shadow   AIB BERUJUNG MAUT

    Pak Hasan dan bu Mina duduk mematung di kursi reot mereka. Keduanya membisu dan tenggelam dalam pikiran mereka. Airmata kembali menemani wajah pak Hasan dan bu Mina ketika menemukan putri kesayangan mereka pulang dalam keadaan berantakan. Dari penampilan pakaian Murni yang sudah tak beraturan, kedua orang tua itu sudah bisa menebak apa yang sudah dialami oleh putri mereka.“Kenapa mesti anak kita yang jadi korban, Pak? Kita kan tidak punya hutang sama juragan Minha, kenapa dia mesti menodai Murni, apa salah kita ,Pak?” Keluh bu Mina menyeka airmatanya dengan kain lengan bajunya.Pak Hasan hanya diam, hatinya memberontak. Tubuhnya yang sudah mengeriput dan tenanganya yang sudah tak sekuat muda dulu membuatnya memaki sendiri. Tapi apa dayanya, kemiskinan dan usia, sudah mengekang jiwa pemberontaknya. Lelaki tua itu hanya menunduk dan menumpahkan tangisnya. Murni haya terdiam membisu memeluk guling ranjang kayunya. Padangannya jau

  • Beauty In The Shadow   DUA SAHABAT (kisah Khadijah dan Murni)

    Bandung, 1998.Pondok tengah sawah desa Lebak wangi masih lengang. Semilir angin masih terasa enteng siang itu. Sangat cocok untuk tidur siang terutama bagi seorang Murni. Gadis berseragam putih abu-abu yang berani membolos hanya demi bisa tidur nyenyak di pondok tengah sawah milik pak Mud. Sambil melakukan rutinitas wajibnya yaitu mengupil. Ya, gaya itulah yang sangat lekat pada sosok dara desa yang dijuluki preman kelas dan preman kampong. Lihat saja jika Murni sudah melipat ujung lengan bajunya maka jangan harap akan lolos dari tonjokannya. Tak hanya itu terkadang ia menyuapi musuhnya dengan kotoran upilnya. Itulah senjata paling ampuh yang ia miliki.“Ni, lo mau sampai kapan kayak gini terus? Nggak capek tangan lo luit tu lubang?” protes Khadijah sang Sahabat.“Ah, diem lo, Dj. Lo nggak tau, sih, nikmatnya kayak gini, ahh, dah, gue tidur dulu mata gue berat, nih.” Timpal Murni tanpa rasa bersalah.

  • Beauty In The Shadow   KEINGINAN YANG ANEH

    Setelah menjalani beberapa rangkain terapi,akhirnya Neona diperbolehkan pulang oleh dokter. Adnan tentu tidak akan pernah mau melewatkan kesempatan berharga ini. Ya meluangkan waktu untuk Neona adalah agenda wajib dalam kegiatannya.“Kamu udah siap, sayang?” tanyanya seraya membawakan satu bucket bunga untuk menyambut kepulangan sang Adik. Khadijah, MOly, dan Laras, hanya terdiam menjadi penonton dram cinta Adnan dan Neona yang terbilang, aneh.Bagaimana tidak, Adnan sudah memproklamirkan kepada semua orang terdekat Neona termasuk Moly dan Laras, jika ia dan Neona adalah sepasang kekasih dan akan segera menikah. Moly dan Laras memang sudah mendengar dari Khadijah jika keduanya memang bukan saudara kandung.“Wellcome home mg girl!” seru Adnan menuntun Neona kembali ke kamarnya.“Lho, kak, bukannya kita sudah tunangan dan akan segera menikah, apa ini kamar kita?” tanya Neona.“Astaga Neona! Lo itu belum

  • Beauty In The Shadow   AMNESIA

    Sudah tiga bulan lamanya Neona hidup bergantung pada alat medis yang menempel di setiap bagian tubuhnya. Dan selama itupula Adnan dan Khadijah bergiliran membagi perhatian mereka pada gadis itu. Tak hanya itu, Moly dan Laras pun turut andil menemani keluarga Neona menjaga gadis itu, dengan sesekali datang untuk menjenguknya. Seperti yang dilakukan hari ini.“Pagi Tante, pagi kak Adnan.” Salam Moly dan Laras.“Eh kalian, yuk, masuk.” titah Khadijah menyambut kedua sahabat Neona.“Gimana keadaan Neona Tante?” tanya Moly.“Masih belum ada reaksi, Ly.” Jawab Khadijah sekenanya.“Karena kalian udah di sini kakak belikan camilan di kantin, ya.” usul Adnan.“Eh, ng-nggak, usah repot-repot, kak, kita Cuma bentar, kok, di sini.” Timpal Laras jengah.Moly dan Laras saling menyiku, kedua mata dara belia itu tak berpaling dari tatapan dingin Adnan. Lelaki sejuta pesona

  • Beauty In The Shadow   BERKABUNG (flasback dengan Adnan)

    Kediaman Bagaskoro masih nampak sepi. Halaman depan dan belakang masih nampak lengang. Sekumpulan manusia yang mengenakan pakaian serba hitam sudah meninggalkan jejak mereka dua jam lalu. Seorang lelaki tinggi berusia tiga puluh tahun nampak duduk tertunduk di balik topangan kedua tangannya. Kemeja hitam dan celana Guccinya membuat lelaki itu tak kehilangan pesonanya meskipun tengah berduka.“Papi,maafkan Adnan Pi. Adnan gagal menjadi anak yang baik buat Papi dan kakak yang baik untuk Neona.” Lirihnya meraih satu bingkai foto kecil yang berdiri apik di atas meja kerjanya.Ada senyum ia dan juga Neona yang memeluk kedua orang tua mereka.“Neona, aku mencintaimu. Aku janji jika sebagai kakak aku tidak bisa membahagiakanmu dan melindungimu kini sebagai pasangan hidup aku akan menjagamu dan membahagiakanmu, Neona” janjinya pada diri sendiri.Khadijah masih terisak di

  • Beauty In The Shadow   VILLA BANDUNG

    Tuti masih terjaga bersama Theo. Keduanya baru saja menyelesaikan sepenggal kisah masa lalu Neona. Dimana Zenan begitu mengacuhkannya dan Adnan yang membentangkan cinta untuknya. Tatkala seluruh dunia menghinanya, namun Adnan menempatkan ia dalam istana terindah di hatinya. Tuti menghela napas dalam. Perlahan pikirannya tentang Neona berubah berangsur-angsur.“Lalu, kenapa Zenan memilih kembali? Dan yang saya tidak habis pikir, kenapa Neona bahkan sangat membenci pak Adnan, Pak?” sidiknya lagi.“Tuti, mengenai Adnan, saya masih belum siap, biarlah Adnan atau Neona yang menceritakannya kepadamu. Yang penting, sepenggal ini cukup bagimu sebagai jalan memasuki masa lalu mereka.”***Sebuah pergerakan kecil terasa dari balik tumpukan selimut. Tangan Adnan yang sudah menyusup di kepala Neona dapat merasakan gesekan bagian tubuh wanita itu. Ia pun segera membuka matanya dan mencari bayangan wajah istrinya di tengah cahaya temaran k

  • Beauty In The Shadow   KEHILANGAN

    Tak berpikir panjang lelaki itu segera mengenakan jaket kulitnya dan langsung menerobos pintu kantor untuk melaju mobilnya menjemput sang ibu. Sedih,kalut, dan menyesal, menyatu dalam hati Adnan. MAAF, hanya itu yang ia ucapkan dalam hati dan bibirnya.Lima belas menit Adnan dan Khadijah tiba di rumah sakit. Keduanya langsung menuju ruang UGD. Di sana ada tubuh Neona yang masih sedang ditangani oleh beberapa tim medis. Sedangkan tubuh Buyung sudah terbungkus rapi di ruang perawatan. Khadijah langsung berhambur dan menumpahkan tangisnya sejadi jadinya di atas tubuh kaku Buyung.“Papi, papi kenapa mesti kayak gini Pi, kenapa Papi pergi ninggalin Mami” lirih pilu Khadijah.Adnan hanya menutup jarang wajahnya, ia menumpahkan tangis sedihnya di balik tangannya. Tangan yang mengepal, menyesali kelalaiannya. Tak lama seorang dokter datang dengan beberapa orang perawat.“Keluarga pasien” Panggil lelaki bersneli itu.Adna

  • Beauty In The Shadow   KEEGOISAN ZENAN

    Sekali lagi pertengkaran terjadi di kediaman keluarga Alexander, seperti biasa masih tentang Neona, kali ini Zenan sudah bulat memutuskan untuk pergi. Beberapa menit lalu ia dan Jesline sudah memutuskan untuk pergi dan menjauh dari keluarga, demi hubungan mereka.“Papi, tidak menyangka kamu sekeras kepala ini, Ze!?” ketus Gian.“Pi, berulang kali Zenan tekankan, Zenan tidak mencintai Neona. Mana mungkin Zenan menerima gadis dengan… jujur Zenan malu akan cibiran rekan Zenan jika mereka tahu kalau istri Zenan, jelek dan…”“Cukup Zenan! Kata-katamu sudah keterlalu, Papi tidak tahan mendengarnya. Baik jika itu keputusanmu, Papi harap kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu ini.”“Pi, biarkan Zenan bahagia dengan pilihan Zenan, Zenan mohon.” Melas Zenan melipat kedua tangannya. Gian tak sanggup melihat tingkah putranya itu. Iapun hanya beranjak membawa rasa kesalnya terhadap keputusan Zenan.

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status