Siang ini, Neona dan kedua sahabatnya, Moly dan Laras, berjalan menelusuri lobi Mall. Ketiganya tampak bahagia dan bersemangat. Huntig asesoris lucu dan unik adalah kesenangan mereka.
“Ini lucu, deh, Na” lirik Laras memperlihatkan sebuah anting unik. Neona meraih dan segera memajang diri pada sebuah cermin untuk melihat kecocokannya. Saat gadis itu menikmati pantulan wajahnya dengan asesoris anting, yang sudah menempel pada daun telinganya, sebuah suara sinis menggema dari sisi kirinya.
“Antingnya memang cantik, sayang yang pakai nggak cantik, jadi, ya, terlihat jelek, deh.” Sindir wanita betubuh semampai dengan atasan Blouse berpadu Jeans yang juga tengah memilih pernak-pernik asesoris.
“Hei, tante-tante, maksudnya apa ngomong, gitu?!” ketus Neona, yang sudah mulai terdengar kesal.
“Aku hanya mencoba membangunkan putri tidur, agar dia menghadapi kenyataan, kalau memang dasarnya jelek mau pakai apapun akan tetap terlihat jelek, criwil!” sinis Jesline.
“Dasar, mulut comberan! Muka lo aja yang cantik, mulut lo nggak cantik !” maki Neona.
Mendengar makian yang terlontar dari mulut Neona, mengalihkan perhatian Moly dan Laras juga seisi toko asesoris yang sudah terlihat ramai pembeli. Zenan mendekati kekasihnya, ia pun mulai mendengar cerita awal pertengkaran mereka. Zenan tentu keberatan mendapat makian dari gadis yang sama sekali tak dikenalnya itu.
“Hei, anak kecil, emang mulut kamu nggak disekolahin, ya?” timpal Zenan memberikan pembelaan untuk pacarnya.
“Eh Om-om ganjen, udah tua masih suka daun muda kayak gitu, pacar om, tuh, yang mulutnya nggak dijaga, main komen seenaknya aja. Kalau tidak suka ya tidak suka, jangan menghina orang gitu, dong,” cecar Neona yang sudah berkacak pinggang.
“Kapan pacar saya ngejek kamu, emang kenyataan kok, kamu itu jelek. Kalau nggak percaya, coba tanya sendiri orang-orang di sini, saya yakin seratus persen mereka akan sepakat dengan kata saya.” Bela Zenan.
“Whoa, sungguh pasangan yang serasi, kategori menyebalkan.” Tekan Neona menunjuk pada Zenan dan pacarnya
“Na, udahlah.” Sela Laras melerai.
“Ya, Na, nggak enak dilihatin banyak orang.” Lanjut Moly menarik lengan Neona. Namun bukannya menurut, Neona justru semakin garang. Ia menepis sentuhan Moly dan Laras.
Sementara pemilik toko segera menghentikan pertengkaran kedua orang itu. Pengunjung lain hanya terkekeh menikmati drama penghinaan itu.
“Maaf, Nona dan Tuan, kalau bisa bertengkarnya di luar saja. Kalian mengganggu pengunjung kami yang lain.” Sela pelayan toko.
“Semoga saya tidak ketemu orang kayak kamu lagi.” Lontar Zenan menarik tangan pacarnya.
“Gue sumpahin lo Om-Om, punya pacar lebih jelek dari gue!” teriak Neona yang tak berhenti memaki Zenan dan pacarnya.
****
Neona, gadis yang sudah ke dua puluh kalinya berpindah-pindah sekolah hanya karena bullyan dari temannya. Gadis yang sudah kebal dengan setumpuk ejekan terhadap dirinya. Ia tahu betul kekurangannya, namun gadis itu selalu berhasil bersemangat lagi karena support dari sahabatnya, Moly dan Laras. Dan yang terpenting kasih sayang dari Sang kakak, Adnan.
Adnan hafal betul jika gadis kesayangannya itu, saat pulang dalam keadaan menangis dan menyerbunya dengan sederetan laporan bullyan teman sekolahnya. Dan entah berapa kali Adnan mengusap airmatanya, memberi dekapan tenang. Dan selalu mendapatkan hadiah ciuman dari Neona.
“Terima kasih kakakku tersayang, sudah membantu Neona, menghadapi teman-teman menyebalkan itu,” ucap Neona mendaratkan ciuman singkat di bibir Adnan. Hari itu, ia baru saja melaporkan teman kelasnya yang sudah membulyy-nya. Tanpa disadari, hati Adnan bergetar hebat ketika mendapat sentuhan dari gadis belia itu.
“Ya, dah, lain kali, kalau ada yang berani menghina dan membully-mu, kamu jangan menciut, kamu harus melawan mereka, karena setiap manusia lahir dengan pribadi masing-masing, dan itu semua adalah anugerah dari Tuhan.” Nasehat Adnan.
“Adikmu kenapa lagi?” suara Buyung menyela, ketika menemukan kedua anaknya tengah bersantai di teras belakang rumah. Tak lama Khadijah pun ikut andil membawa sepiring camilan.
“Neona, dibully lagi, Pi.” Ucap Adnan, membelai kepala Neona yang sudah berebahan di atas pangkuan Adnan sembari mengunyah camilan yang dibawa Khadijah.
“Apa benar yang dikatakan kakakmu itu, Na?” tanya Khadijah.
“Iya, Mi, Pi, Neona pindah aja ya?” melas Neona memanja.
“Masak gara-gara gitu kamu pindah lagi? mau sampai kapan Na? ini sekolah yang ke dua puluh loh, yang kamu masuki. Tenang aja, Papi sudah minta teman Papi untuk memasukkan anaknya ke sekolah kamu, namanya Moly. Anaknya baik kok.” Tutur Buyung.
“Moly?” lirih Adnan dan Neona bersamaan seraya saling melempar tatapan.
“Moly… Maulida, Pi?” tebak Neona. Buyung langsung mengangguk, ingatan Neona kembali pada teman masa kecilnya itu. Adnan yang menjadi saksi persahabatan adiknya pun terkejut. Tak lama keduanya menjerit dan saling berpelukan erat. Keduanya tampak bahagia mendengar berita baik dari Sang ayah.
Detik kemudian, Adnan mengambil makanan yang menancap di mulut Neona dengan mulutnya, tak lama lelaki itu mulai menjahili adiknya dengan menggelitik Sang adik, membuat gadis itu tertawa lepas.
Buyung dan Khadijah hanya tersenyum lembut melihat bahasa kasih sayang antara kedua anak mereka.
“Kamu kenapa nangis, Mi? tanya Buyung ketika menemukan butiran bening jatuh di pipi Khadijah.
“Jadi kangen Murni, Pi.” Jawab Khadijah lembut. Buyung tahu persis, nama wanita yang disebut istrinya itu. Dan ia pun tahu persis sepenting apa Murni di hati istrinya itu.
“Udah, Adnan, jangan ganggu adikmu, kasihan dia kecapean.” Lerai Khadijah.
“Biarin aja, Mi. Nih anak mulai gemesin.” Timpal Adnan di sela kejahilannya.
Itulah bentuk hubungan Neona dan Adnan. Mungkin bagi orang lain, cara keduanya berhubungan akan terlihat tabu. Baik Adnan dan Neona tak berkeberatan memamerkan sikap keduanya yang terlihat seperti sepasang kekasih. Berciuman, pelukan, bahkan Adnan sering meminta Neona untuk membantunya menyeleksi setiap sekretarisnya. Begitu juga dengan Neona, gadis itu tak berkeberatan bermanja di atas tubuh Adnan, memelukinya, menaikinya atau bahkan menciumi bibir Sang kakak.
To be continue
Sudah satu bulan, Khadijah dan Buyung menikah dan kembali ke rumah Buyung yang ada di Jakarta. Perlahan Buyung memperkenalkan Khadijah dalam keluarganya. Murni pun akhirnya ikut tinggal bersama mereka. Baik Khadijah maupun Buyung memperlakukan Murni layaknya kerabat sendiri membuat wanita itu tak merasa sungkan sedikitpun pada kedua sahabatnya itu. Kabar pernikahan itu sampai ke telinga Adnan anak sulung Buyung, namun bocah kecil itu memilih untuk tetap tinggal bersama Om dan Tantenya di Lombok.Pagi itu untuk pertama kalinya Murni belum juga menampakkan batang hidungnya di meja makan. Khadijah merasa sangat khawatir, ia pun segera menuju kamar sahabatnya itu. Matanya membulat ketika tidak mendapati tubuh Murni di atas kasur.“Uwek,,Uwek,,Uwek!” suara Murni dari balik kamar mandi.“Kamu kenapa Ni?, kamu masuk angin? Atau salah makan?” tanya Khadijah memberondong.“Entahlah Dj.”
Pak Hasan dan bu Mina duduk mematung di kursi reot mereka. Keduanya membisu dan tenggelam dalam pikiran mereka. Airmata kembali menemani wajah pak Hasan dan bu Mina ketika menemukan putri kesayangan mereka pulang dalam keadaan berantakan. Dari penampilan pakaian Murni yang sudah tak beraturan, kedua orang tua itu sudah bisa menebak apa yang sudah dialami oleh putri mereka.“Kenapa mesti anak kita yang jadi korban, Pak? Kita kan tidak punya hutang sama juragan Minha, kenapa dia mesti menodai Murni, apa salah kita ,Pak?” Keluh bu Mina menyeka airmatanya dengan kain lengan bajunya.Pak Hasan hanya diam, hatinya memberontak. Tubuhnya yang sudah mengeriput dan tenanganya yang sudah tak sekuat muda dulu membuatnya memaki sendiri. Tapi apa dayanya, kemiskinan dan usia, sudah mengekang jiwa pemberontaknya. Lelaki tua itu hanya menunduk dan menumpahkan tangisnya. Murni haya terdiam membisu memeluk guling ranjang kayunya. Padangannya jau
Bandung, 1998.Pondok tengah sawah desa Lebak wangi masih lengang. Semilir angin masih terasa enteng siang itu. Sangat cocok untuk tidur siang terutama bagi seorang Murni. Gadis berseragam putih abu-abu yang berani membolos hanya demi bisa tidur nyenyak di pondok tengah sawah milik pak Mud. Sambil melakukan rutinitas wajibnya yaitu mengupil. Ya, gaya itulah yang sangat lekat pada sosok dara desa yang dijuluki preman kelas dan preman kampong. Lihat saja jika Murni sudah melipat ujung lengan bajunya maka jangan harap akan lolos dari tonjokannya. Tak hanya itu terkadang ia menyuapi musuhnya dengan kotoran upilnya. Itulah senjata paling ampuh yang ia miliki.“Ni, lo mau sampai kapan kayak gini terus? Nggak capek tangan lo luit tu lubang?” protes Khadijah sang Sahabat.“Ah, diem lo, Dj. Lo nggak tau, sih, nikmatnya kayak gini, ahh, dah, gue tidur dulu mata gue berat, nih.” Timpal Murni tanpa rasa bersalah.
Setelah menjalani beberapa rangkain terapi,akhirnya Neona diperbolehkan pulang oleh dokter. Adnan tentu tidak akan pernah mau melewatkan kesempatan berharga ini. Ya meluangkan waktu untuk Neona adalah agenda wajib dalam kegiatannya.“Kamu udah siap, sayang?” tanyanya seraya membawakan satu bucket bunga untuk menyambut kepulangan sang Adik. Khadijah, MOly, dan Laras, hanya terdiam menjadi penonton dram cinta Adnan dan Neona yang terbilang, aneh.Bagaimana tidak, Adnan sudah memproklamirkan kepada semua orang terdekat Neona termasuk Moly dan Laras, jika ia dan Neona adalah sepasang kekasih dan akan segera menikah. Moly dan Laras memang sudah mendengar dari Khadijah jika keduanya memang bukan saudara kandung.“Wellcome home mg girl!” seru Adnan menuntun Neona kembali ke kamarnya.“Lho, kak, bukannya kita sudah tunangan dan akan segera menikah, apa ini kamar kita?” tanya Neona.“Astaga Neona! Lo itu belum
Sudah tiga bulan lamanya Neona hidup bergantung pada alat medis yang menempel di setiap bagian tubuhnya. Dan selama itupula Adnan dan Khadijah bergiliran membagi perhatian mereka pada gadis itu. Tak hanya itu, Moly dan Laras pun turut andil menemani keluarga Neona menjaga gadis itu, dengan sesekali datang untuk menjenguknya. Seperti yang dilakukan hari ini.“Pagi Tante, pagi kak Adnan.” Salam Moly dan Laras.“Eh kalian, yuk, masuk.” titah Khadijah menyambut kedua sahabat Neona.“Gimana keadaan Neona Tante?” tanya Moly.“Masih belum ada reaksi, Ly.” Jawab Khadijah sekenanya.“Karena kalian udah di sini kakak belikan camilan di kantin, ya.” usul Adnan.“Eh, ng-nggak, usah repot-repot, kak, kita Cuma bentar, kok, di sini.” Timpal Laras jengah.Moly dan Laras saling menyiku, kedua mata dara belia itu tak berpaling dari tatapan dingin Adnan. Lelaki sejuta pesona
Kediaman Bagaskoro masih nampak sepi. Halaman depan dan belakang masih nampak lengang. Sekumpulan manusia yang mengenakan pakaian serba hitam sudah meninggalkan jejak mereka dua jam lalu. Seorang lelaki tinggi berusia tiga puluh tahun nampak duduk tertunduk di balik topangan kedua tangannya. Kemeja hitam dan celana Guccinya membuat lelaki itu tak kehilangan pesonanya meskipun tengah berduka.“Papi,maafkan Adnan Pi. Adnan gagal menjadi anak yang baik buat Papi dan kakak yang baik untuk Neona.” Lirihnya meraih satu bingkai foto kecil yang berdiri apik di atas meja kerjanya.Ada senyum ia dan juga Neona yang memeluk kedua orang tua mereka.“Neona, aku mencintaimu. Aku janji jika sebagai kakak aku tidak bisa membahagiakanmu dan melindungimu kini sebagai pasangan hidup aku akan menjagamu dan membahagiakanmu, Neona” janjinya pada diri sendiri.Khadijah masih terisak di
Tuti masih terjaga bersama Theo. Keduanya baru saja menyelesaikan sepenggal kisah masa lalu Neona. Dimana Zenan begitu mengacuhkannya dan Adnan yang membentangkan cinta untuknya. Tatkala seluruh dunia menghinanya, namun Adnan menempatkan ia dalam istana terindah di hatinya. Tuti menghela napas dalam. Perlahan pikirannya tentang Neona berubah berangsur-angsur.“Lalu, kenapa Zenan memilih kembali? Dan yang saya tidak habis pikir, kenapa Neona bahkan sangat membenci pak Adnan, Pak?” sidiknya lagi.“Tuti, mengenai Adnan, saya masih belum siap, biarlah Adnan atau Neona yang menceritakannya kepadamu. Yang penting, sepenggal ini cukup bagimu sebagai jalan memasuki masa lalu mereka.”***Sebuah pergerakan kecil terasa dari balik tumpukan selimut. Tangan Adnan yang sudah menyusup di kepala Neona dapat merasakan gesekan bagian tubuh wanita itu. Ia pun segera membuka matanya dan mencari bayangan wajah istrinya di tengah cahaya temaran k
Tak berpikir panjang lelaki itu segera mengenakan jaket kulitnya dan langsung menerobos pintu kantor untuk melaju mobilnya menjemput sang ibu. Sedih,kalut, dan menyesal, menyatu dalam hati Adnan. MAAF, hanya itu yang ia ucapkan dalam hati dan bibirnya.Lima belas menit Adnan dan Khadijah tiba di rumah sakit. Keduanya langsung menuju ruang UGD. Di sana ada tubuh Neona yang masih sedang ditangani oleh beberapa tim medis. Sedangkan tubuh Buyung sudah terbungkus rapi di ruang perawatan. Khadijah langsung berhambur dan menumpahkan tangisnya sejadi jadinya di atas tubuh kaku Buyung.“Papi, papi kenapa mesti kayak gini Pi, kenapa Papi pergi ninggalin Mami” lirih pilu Khadijah.Adnan hanya menutup jarang wajahnya, ia menumpahkan tangis sedihnya di balik tangannya. Tangan yang mengepal, menyesali kelalaiannya. Tak lama seorang dokter datang dengan beberapa orang perawat.“Keluarga pasien” Panggil lelaki bersneli itu.Adna
Sekali lagi pertengkaran terjadi di kediaman keluarga Alexander, seperti biasa masih tentang Neona, kali ini Zenan sudah bulat memutuskan untuk pergi. Beberapa menit lalu ia dan Jesline sudah memutuskan untuk pergi dan menjauh dari keluarga, demi hubungan mereka.“Papi, tidak menyangka kamu sekeras kepala ini, Ze!?” ketus Gian.“Pi, berulang kali Zenan tekankan, Zenan tidak mencintai Neona. Mana mungkin Zenan menerima gadis dengan… jujur Zenan malu akan cibiran rekan Zenan jika mereka tahu kalau istri Zenan, jelek dan…”“Cukup Zenan! Kata-katamu sudah keterlalu, Papi tidak tahan mendengarnya. Baik jika itu keputusanmu, Papi harap kamu tidak akan menyesal dengan keputusanmu ini.”“Pi, biarkan Zenan bahagia dengan pilihan Zenan, Zenan mohon.” Melas Zenan melipat kedua tangannya. Gian tak sanggup melihat tingkah putranya itu. Iapun hanya beranjak membawa rasa kesalnya terhadap keputusan Zenan.