Share

Lelaki berkacamata hitam

"Emma Liandra Jones." Emma segera mengangkat tangannya. Sudah saatnya dia di tes. Ia melangkah dengan percaya diri memasuki ruangan wawancara.  Namun Emma merasa heran, lelaki berkacamata hitam itu juga melangkah masuk ke dalam ruangan. 

Di dalam ruangan wawancara terdapat empat kursi. Ada tiga peserta yang sudah menempati kursi tersebut. Tersisa satu kursi di sana dan Emma langsung duduk ketika seorang wanita berambut pendek menyuruhnya untuk duduk.

Wawancara pun dimulai. Peserta pertama menjawab secara jelas dan rinci. Berbagai ilmu pengetahuan tentang dunia IT dijawabnya dengan baik. Peserta kedua yang merupakan fresh graduate menjawab pertanyaan sesuai materi yang dipelajarinya semasa kuliah. Emma menghembuskan napas lega. Setidaknya ada satu peserta yang memiliki kemampuan di bawahnya. Peserta ketiga yang merupakan mantan pegawai IT di dunia pemerintahan menjawab semua pertanyaan dengan mudah. Bahkan alasannya untuk masuk di Alves Corp sangat menggugah hati pewawancara dan juga peserta wawancara. Emma harus mengakui jika saingannya sangat berat.

"Emma Liandra Jones," panggil seorang wanita berambut pendek. Dari penampilannya seperti wanita karir yang sukses. Cantik dan juga cerdas.

"Iya, Bu," jawab Emma.

"Frash graduate dari universitas terkemuka di Vunia. Anda satu-satunya peserta wawancara wanita kali ini." Emma sedikit terkejut. Ia baru sadar jika saingannya adalah pria. Emma hanya tersenyum kikuk. Bagaimanapun ia tidak boleh pesimis dan harus optimis.

"Apakah anda bisa coding?" tanya seorang lelaki dengan perut buncit. Lelaki itu berumur sekitar empat puluhan tahun.

"Iya, bisa Pak," jawab Emma tanpa ragu.

"Bahasa program apa saja yang anda kuasai?" Lelaki itu menatap Emma dengan saksama. Ia terpana dengan kecantikannya.

"Java, Bahasa C, PHP, Phyton dan C++, Pak." 

"WOW!"

Para pewawancara terpukau dengan jawaban Emma. Bagaimana mungkin wanita muda ini bisa menguasai empat bahasa pemrograman yang tergolong sangat sulit dipelajari.

"Apakah anda bisa membuktikannya?" Suara seorang lelaki dari arah belakang. Sontak semua mata tertuju pada lelaki tersebut. Begitupun Emma yang harus berbalik untuk melihat pemilik suara bariton tersebut. Mata Emma memelotot. Lelaki yang disebutnya sebagai lelaki yang gila hormat sedang menatapnya sekarang.

'Dia bukan peserta wawancara. Lalu dia siapa?' tanya Emma dalam hatinya. Emma menepis segala pertanyaan di kepalanya. Ia kemudian membalas tatapan lelaki tersebut dan tersenyum.

"Bisa, Pak." 

Semua yang ada dalam ruangan tersebut dengan tatapan tidak percaya. Sedangkan pewawancara terlihat gugup ketika melihat lelaki berkacamata hitam tersebut.

"Bagaimana anda membuktikannya?" tanya lelaki itu seraya berjalan mendekati tempat duduk Emma.

Emma merasa bingung. Seharusnya merekalah yang memberinya soal atau menyuruhnya membuat program, tapi lelaki itu malah menyuruh Emma untuk membuktikannya. Emma menoleh ke arah pewawancara, namun para pewawancara tidak bergeming.

"Saya bisa membuat sebuah aplikasi atau membobol jaringan," ucap Emma.

Lelaki yang berdiri tepat di depan kursi Emma sontak tersenyum sinis dan membuang tatapan ke samping kanan. Emma tahu betul arti senyum itu. Senyum meremehkan dan kehampaan. Orang seperti ini bisa jadi tak suka dikalahkan atau tipe orang yang sebenarnya tak tahu apa yang diinginkan, tapi agak meremehkan orang lain.

"Itu sudah biasa." Ucapan lelaki itu membuat semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Bagaimana mungkin meretas jaringan adalah sesuatu yang biasa?

Emma ingin tertawa namun ia menahannya. 

'Apakah ia tahu apa itu dunia IT?' batin Emma.

"Maaf, Pak." Emma tersenyum sejenak. Siapa saja yang melihat senyumnya pasti akan terpukau. "Apakah ada saran bagi saya untuk membuktikan keahlian saya di dunia IT?" tanya Emma.

Lelaki itu menatap Emma sebentar. Kaca mata hitamnya belum di lepas. 

"Apakah anda bisa bermain CTF?" 

Pertanyaan lelaki tersebut membuat beberapa pewawancara keselek karena kaget. 

CTF (Capture The Flag) merupakan salah satu jenis dari kompetisi hacking yang dimana mengharuskan seorang / tim untuk mengambil sebuah file / string yang sudah disembunyikan sistem yang dimana disebut dengan istilah “Flag”.

"Apakah anda bisa?" Lelaki itu lagi-lagi tersenyum sinis. Wajah Emma tidak berekspresi. Siapapun yang melihatnya pasti akan berpikir bahwa Emma tidak akan mampu bermain CTF.

"Saya akan mencobanya." 

"Wow!" Lagi-lagi terdengar suara terpukau dari semua orang yang berada dalam ruangan itu.

Tidak lama kemudian seorang pegawai masuk ke dalam ruangan membawa dua buah laptop dan memberikannya kepada Emma dan lelaki tersebut.

Tidak lama kemudian baik Emma maupun lelaki tersebut mulai membuka platform ctfs.me yang merupakan platform penyedia untuk bermain CTF.

Di dinding sudah terpasang proyektor yang menampilkan layar yang terdapat huruf-huruf berwarna hijau yang bagi orang awam sangat sulit untuk mencernanya. 

Detik berikutnya hanya terdengar bunyi tuts keyboard Emma dan lelaki itu. Semua orang yang hadir, hanya bengong dan bingung ketika melihat deretan bahasa pemrograman di layar.

Tangan Emma sangat lincah menekan tuts keyboard laptop. Sesekali Emma tersenyum ketika menemukan celah dan menerobos masuk. 

Lima menit kemudian, Emma menepuk-nepuk tangannya. Ia berhasil mengalahkan lelaki tersebut. Tidak ada yang berani bertepuk tangan. Semuanya terdiam dan hanya Emma yang tersenyum senang.

"Not bad," ucap lelaki itu dengan nada sinis lalu keluar dari ruangan.

Emma yang semula senang tiba-tiba kesal ketika mendengar ucapan lelaki tersebut. Bukan pujian tapi malah mendapat sepotong kalimat yang berhasil membuat mood Emma berantakan.

"Kalah pun tidak mau diakuinya. Dasar lelaki aneh," gumam Emma. 

"Baiklah. Pengumuman hasil wawancara hari ini akan dikirimkan via email," ucap wanita berambut pendek. Ia melihat Emma dengan ekor matanya. Emma yang mendapat tatapan itu hanya mengerutkan keningnya.

Emma menghembuskan napas lega. Wawancara hari ini berjalan lancar walaupun ada beberapa orang yang membuat moodnya berantakan.

Ketika hendak berjalan keluar seorang lelaki menarik lengan Emma. 

"Kamu Emma kan?" 

Emma yang melihat lelaki itu hanya mengerutkan keningnya bingung. "Maaf. Bapak siapa?" 

"Saya, Bryan," ucap lelaki itu seraya mengulurkan tangannya.

Lelaki itu bukan pewawancara tapi seorang pegawai di Alves Corp. Namanya terlihat jelas dari tanda pengenalnya. 

"Bryan-?" Emma mencoba mengingat-ingat semua orang yang pernah ditemuinya. Tidak lama kemudian raut wajah Emma berubah. Dahinya yang semula berkerut berubah menjadi cerah.

"Bryan Danis kan?" ucap Emma.

"Akhirnya kamu ingat juga," ucap Bryan lega. "Kamu sangat hebat. Tadi kamu bahkan mengalahkan senior IT di Alves Corp." 

"Benarkah? Apakah dia benaran senior di perusahaan ini?" tanya Emma tidak yakin.

"Sepertinya begitu, Emma." Bryan terus menatap wajah Emma. Wajah yang mampu membuat candu bagi kaum Adam.

"Aku pikir CEO perusahaan. Ternyata hanya staf biasa. Hufft lelaki itu terlalu banyak tingkah," ucap Emma.

Bryan hanya tertawa ketika mendengar ucapan Emma. "Apakah kamu sudah makan siang? Jika belum, maukah kamu makan bersamaku?" Tawar Bryan. Akan sangat menyenangkan makan siang ditemani wanita cantik.

"Aku mau langsung pulang saja. Maaf yah,Bryan. Ibuku sudah menunggu di rumah," ucap Emma. Bryan pun tidak dapat memaksa Emma.

"Baiklah. Tidak apa-apa. Tapi lain kali harus yah." Bryan dengan penuh harap. 

"Exactly." Emma kemudian tersenyum manis. Hal itu membuat Bryan seperti tiba-tiba kenyang ketika melihat senyum manis itu.

Tidak di ketahui Emma jika sepasang manik hitam menatap punggungnya dari kejauhan. Setelah Emma memasuki lift, lelaki itu mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

"Cari tahu latar belakang seorang wanita." 

"Emma Liandra Jones." 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status