Sungguh wanita yang tidak biasa. Sangat langka untuk bertemu dengan wanita seperti itu.
Ethand Giorgino Alves yang merupakan putra tunggal dari tuan Alves duduk di kursi kebesarannya. Hari pertama memasuki Alves Corp, ia sudah dikejutkan dengan kemampuan seorang wanita yang bernama Emma Liandra Jones. Bahkan kemampuannya mengalahkan Ethand yang merupakan lulusan Stanford University.
Tok...tok
Seorang lelaki memasuki ruangan. Ia membawa sebuah map berwarna cokelat.
"Ini file lengkap tentang Emma Liandra Jones, Pak," ucap Ryan.
Ethand tidak menjawab dan langsung membuka map cokelat itu. Setelah membaca isi file, Ethand tersenyum sarkastik. Ryan yang melihat raut wajah Ethand hanya mengerutkan kening bingung.
Ryan sudah membaca isi file itu. Ia sangat terpukau dengan prestasi yang diraih Emma. Namun apa yang membuat atasannya ini seperti tertawa mengejek prestasi Emma? Ryan hanya diam. Ia tidak berani bertanya karena masih mempelajari sifat Ethand.
"Jika sudah tidak ada lagi, saya permisi, Pak," pamit Ryan lalu meninggalkan Ethand yang sedang konsentrasi membaca isi file.
"Sungguh bukan gadis biasa." Ethand bukannya merasa bangga tapi merasa tersaingi. Ia tidak terima jika ada yang harus melebihinya.
Ethand kemudian menutup file tersebut dan membuka laptop dihadapannya. Ia mulai mempelajari semua hal yang terkait dengan Alves Corp. Mulai dari saham sampai pada pembersih ruangan kantor. Dari hal terbesar sampai terkecil. Ia sangat teliti dan sangat cepat mempelajarinya.
Ethand menulis beberapa masukan dan menghapus yang tidak perlu mengenai aturan dan juga investasi-investasi yang menurutnya tidak menguntungkan untuk Alves Corp.
Sudah dua jam Ethand berkutat dengan laptopnya. Ia merasa pegal di lehernya. Setelah memutar lehernya perlahan, Ethand bangkit berdiri dan menyadari jika sinar mentari sore itu sangat indah. Senja yang dilihat Ethand dari ruangannya sungguh indah. Mengalahkan senja yang dilihatnya ketika berada di Morro-Cabana, Kuba.
Tok.. tok
Ethand menoleh ke arah pintu dan melihat Ryan memasuki ruangannya.
"Maaf, Pak. Sudah waktunya pulang. Em- apa Bapak lembur? Jika lembur biar saya temani, Pak." Ryan mencoba untuk memulai obrolan dengan atasannya. Sejak Ethand memasuki ruangan, Ryan belum pernah mendapat balasan kalimat dari Ethand. Yang di dapatnya hanya anggukan kepala dan intruksi melalui tangan Ethand.
"Kamu pulanglah. Saya bisa sendiri." Ethand kemudian kembali menatap pada senja yang perlahan tenggelam. Ryan hanya tersenyum kikuk dan menatap punggung lelaki yang berumur lima tahun dibawahnya itu. Niat untuk berbincang diurungkannya.
"Baiklah. Permisi, Pak," pamit Ryan.
Setelah pintu ruangan ditutup oleh Ryan, Ethand melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah pukul empat lewat. Ia harus kembali ke rumah untuk bertemu ibunya. Sebenarnya, Ethand baru tiba tadi pagi di Vunia dan langsung menuju ke Alves Corp.
Ethand kemudian mengambil kunci mobil dan jas hitamnya yang tergantung di stand hanger kayu di pojok ruangan. Setelah memakai jasnya, ia langsung berjalan keluar dari ruangan dan menuju lift petinggi perusahaan yang langsung menuju ke tempat parkir. Selama di dalam lift, Ethand berencana untuk membeli se-bucket bunga untuk ibunya.
Setelah mencari tahu beberapa toko bunga lewat ponselnya, Ethand memutuskan untuk membeli seikat bunga mawar yang merupakan bunga kesukaan ibunya. Setelah lift terbuka, ia langsung berjalan menuju mobilnya.
Ethand sudah duduk di kursi kemudi Bugatti Chiron dan memasang GPS menuju tokoh bunga. Detik berikutnya, ia sudah melesat pergi meninggalkan Alves Corp. Beberapa satpam yang melihat cara Ethand mengendarai mobilnya hanya menggelengkan kepala. Atasan mereka mengendarai mobil seperti di kejar setan alias ngebut.
Sepuluh menit kemudian, Ethand sudah sampai di toko bunga. Nama yang tertulis di pintu masuk toko itu seperti nama yang tidak asing. Jones Roses. Ethand belum menyadari apa yang mengganjal dipikirannya ketika membaca nama toko bunga itu.
Ia kemudian berjalan memasuki toko bunga. Kehadirannya di sambut dengan aroma mawar yang semerbak. Berbagai macam mawar dan warna terpajang di dalam toko tersebut. Seperti pelangi indah diantara hijaunya daun mawar.
Mata Ethand tertuju pada mawar yang tumbuh dengan suburnya di taman. Bukan mawar biasa. Mawar itu adalah mawar Sunsprite atau yang dikenal dengan nama Korresia atau Friesia. Korresia diambil dari nama sang penemu, yaitu Reimer Kordes, sedangkan Friesia diambil dari kata Friesland, nama daerah asal Reimer Kordes.
Sunsprite dikenal sebagai jenis bunga mawar yang harum. Ethand masih ingat dengan jelas bagaimana harum mawar itu menjadi obat penenang untuk ibunya sepuluh tahun yang lalu.
"Selamat datang di Jones Roses. Mawar apa yang menarik perhatian anda, Tuan?" tanya seorang gadis dengan pentofel hitam setinggi lima senti. Dress selutut yang dikenakannya terlihat imut sesuai usianya.
Ethand diam membisu ketika hooded eyes milik gadis tersebut beradu dengan manik hitamnya. Sama dengan hooded eyes yang menatapnya siang tadi.
"Mawar apa yang mau anda beli, Tuan?" tanya gadis itu ketika tidak mendengar jawaban dari Ethand.
Ethand melihat ke sekeliling bunga mawar yang tertata rapih dan cantik. Namun, Sunsprite yang mekar dengan indahnya di taman sudah menjadi pilihannya. Ethand menunjuk ke arah mawar itu tanpa bersuara.Raut wajah gadis itu langsung berubah ketika melihat ke arah yang di tunjuk Ethand."Maaf, Tuan. Mawar itu tidak dijual. Masih ada mawar lain di sini yang tidak kalah cantiknya dengan mawar yang itu." Ethand terlihat kecewa namun disembunyikannya.Tidak lama kemudian, Ethand mengambil dompet dari dalan saku celana kerjanya. Ia mengeluarkan beberapa lembar uang ratusan ribu dan melihat sekilas ke arah gadis itu.Ethand merasa lega ketika melihat mata gadis itu berbinar-binar."Maaf, Tuan. Mawar itu memiliki harga yang lumayan tinggi. Karena jika saya menjual mawar itu maka nyawa saya akan terancam. Dan kemungkinan besar saya tidak akan mendapat uang saku." Mendengar ucapan si gadis, Ethand langsung mengeluarkan semua uang ratusan ribu dari dalam dompetnya. Tidak menunggu lama, gadis itu langsung mengambil tumpukan uang dari tangan Ethand."Silahkan duduk di kursi yang telah disediakan. Saya akan segera menyiapkan pesanan, Tuan." Ethand ingin tertawa namun diurungkannya. Ia menatap pundak gadis yang berjalan menuju taman dengan gunting di tangan. Melihat cara gadis itu menggunting tangkai mawar, Ethand tahu jika yang merawat taman itu pastilah seorang wanita yang lembut. Selembut cantiknya mawar ketika dipandang. Namun Ethand tersenyum sarkastik kala mengingat mawar juga memiliki duri. Ia kembali melihat ke sekeliling toko dengan beraneka bunga mawar yang harum dan cantik. Dalam hatinya, Ethand memuji sang pemilik toko yang mampu mendesain ruangan sederhana itu menjadi luar biasa."Ini bunganya, Tuan." Setelah lima menit menunggu akhirnya mawar Sunsprite yang ditunggunya selesai. Mawar itu sudah dirias dalam bucket berwarna pink peach dengan pita di bawahnya. Sungguh cantik."Terima kasih." Mendengar suara Ethand yang sejak tadi dipikir gadis itu adalah bisu, membuatnya terpana. Lelaki rupawan dihadapannya merupakan tipe lelaki idamannya.Ethand mengernyit kala melihat tatapan dengan mulut menganga dari gadis remaja itu. Ia kemudian dengan cepat mengambil bucket mawar dari tangan sang gadis lalu berjalan keluar dari toko itu tanpa permisi."Silahkan datang lagi, Tuan." Terdengar suara gadis itu. Ethand tidak memedulikanya dan terus berjalan memasuki mobilnya. Detik berikutnya Ethand sudah melesat pergi dari tempat itu.***"Alin!"Suara Emma menggema di seluruh taman. Belum juga mengucapkan salam, Emma sudah meneriaki nama adiknya."Alin! Dimana kamu?"Emma langsung membuka pintu rumah dan berjalan menuju kamar adiknya. Tidak melihat keberadaan Alin di sana, Emma berjalan menuju kamar mandi sambil meneriaki nama adiknya.
"Ada apa, Emma. Datang kok langsung teriak-teriak?" tanya Ester, ibu Emma."Alin mana, Bu?""Tadi ada jaga toko. Mungkin sudah keluar lagi sama temannya. Memangnya ada apa?" tanya Ester dengan dahi berkerut."Aku ingin beri pelajaran ke dia, Bu. Sepatu pentofel yang baru aku beli kemarin untuk wawancara hari ini dipakai sama dia." Emma terlihat kesal."Sudahlah. Kamu kan sudah tahu tabiat Alin. Dia tidak bisa menahan diri ketika melihat barang baru. Barang ibu juga dipakai sama dia. Eh, setelah bosan baru dikembalikannya.""Maka dari itu, Bu. Aku ingin memberinya pelajaran biar kapok.""Sudah. Lebih baik kamu istirahat dan mandi. Ibu sudah masak rendang kesukaan kamu." Mendengar ada makanan kesukaannya, raut wajah Emma yang semula kesal perlahan cerah. Ia kemudian berbalik dan memasuki kamarnya.Ester menatap punggung putri sulungnya. Dalam hati ia bersyukur memiliki Emma. Kuliah dengan beasiswa berkat kerja keras Emma dan menjadi freelance semasa kuliahnya. Sehingga Emma mampu membeli rumah dan membuka toko bunga. Emma harus mencari kerja tambahan kala melihat kondisi kesehatan Ester yang semakin memburuk."Ibu..!!"Ester terkejut. Lagi-lagi suara Emma menggema di rumah itu. Ester dengan cepat berjalan menuju kamar Emma."Ada apa lagi, Emma?" tanya Ester setelah membuka pintu kamar. Ester berjalan mendekat ketika melihat Emma duduk tertunduk di tepi ranjangnya. Baru diketahui Ester jika putri sulungnya itu sedang menangis."Ada apa, Sayang?" tanya Ester lembut."Itu, Bu." Ester terlihat bingung melihat Emma menunjuk ke luar jendela. Matanya membelalak kaget."Bagaimana mungkin?"Setelah kejadian di menara jam Ester selalu setia menemani Darek di rumah. Merawat dan menjaga suaminya dengan penuh kasih. Seminggu sekali mereka berdua akan pergi mengunjungi Emma di rumah sakit.Sudah sebulan Emma belum sadarkan diri. Selama itu pula Ethand selalu setia mendapinginya. Setiap hari ia akan membacakan berbagai cerita novel dan juga mendengarka musik bersama. Ia akan bergantian bersama Alin dan Jane untuk menjaga wanitanya itu.Seperti hari ini, Ethand kembali membacakan sebuah novel romantic pada Emma. Perlahan Emma menggerakan jari telunjuknya. Hal itu tidak disadari Ethand. Lelaki itu dengan ekspresi mendalami cerita tersebut terus membaca novel pada kekasihnya. Sampai pada cerita itu selesai, Ethand meneteskan air matanya karena kisah dalam cerita novel itu sungguh bahagia berbeda dengan kisah cintanya bersama Emma. Sampai saat ini, Emma belum sadarkan diri.Ethand menangis tersedu-sedu sambil menggenggam tangan Emma. Ethand merasa nyaman ketika menggenggam tangan
Emma baru saja selesai mandi dan berniat untuk istirahat namun ponselnya terus berdering. Ia segera mengambil ponselnya. Matanya membelalak kaget ketika membaca isi pesan dari Johan Prima. Lelaki itu mengirim gambar wajah Darek yang sudah membiru.Tanpa pikir panjang Emma langsung mencari koordinat telepon Johan. Setelah mendapatkannya Emma langsung keluar dari rumah Caroline. Namun naas, ketika sampai di depan Wilobi mall, Emma sudah dibekap oleh sebuah sapu tangan yang berisi bius. Tidak lama kemudian wanita itu tidak sadarkan diri.Emma hanya bisa mendengar suara samar-samar para lelaki disekelilingnya. Kepalanya terasa berat dan pusing. Setelah itu Emma tidak mendengar apa-apa lagi dan gelap sepenuhnya.***Rasanya baru terlelap namun kini hawa dingin menerpa tubuh Emma. Ia perlahan membuka matanya. Kepalanya masih terasa berat namun karena pandangan di depannya terlihat asing ia berusaha sadar sepenuhnya. Ia sangat terkejut ketika melihat siapa lelaki yang duduk di depannya.Bar
Tujuan Emma dan Caroline datang ke Nuni’s Club dan bertemu Johan adalah untuk mendapatkan sidik jari lelaki tersebut. Database prima corp di setting menggunak sidik jari Johan sendiri. Sehingga Emma dan Caroline untuk bertemu dengan lelaki kejam itu.“Jadi bagaimana apakah kamu bisa masuk ke dalam database mereka?” tanya Caroline yang sudah tidak sabar.“Tentu saja, Carol. Lihatlah…” Emma mempersilahkan Carol melihat semua data penting yang disembunyikan Johan begitu rapat. Betapa kagetnya ia ketika melihat data kepemilikan Prima Corp adalah orang tua kandungnya.“Dasar brengsek!” Caroline mengepal kedua tangannya. Wajahnya memerah karena menahan marah. Ia boleh mengemis pada pamannya itu ternyata malah sebaliknya. Sungguh kejam Johan pada orang tuanya. “Aku tidak ingin menunggu sampai besok, malam ini juga dunia harus tahu betapa kejam dan tidak punya perasaan lelaki bernama Johan tersebut.Emma segera menuruti perkataan Caroline. Ternyata Prima Corp adalah miliki wanita yang menolon
Suasana Nuni’s Club malam ini mengingatkan Emma pada kejadian lampau. Dimana ia dipukul oleh Daniel Jiani dan diselamatkan oleh Ethand. Dimana ia diselamatkan kedua kalinya di hari yang sama. Hari terpuruk dan terendah dirinya.Emma mengenakan sebuah dress yang sedikit ketat dan menampakkan tubuhnya yang ramping. Rambutnya yang sebahu dibiarkan terurai. Wajahnya sedikit dipolesi riasan.Sedangkan Caroline memakai pakaian yang kurang kain. Bagian dadanya terbuka lebar dan dress di atas lutut. Di tambah dengan high heels yang membuatnya terlihat tinggi dan juga cantik. Apalagi dia lama hidup di Spanyol.Kedua wanita itu melangkah masuk ke dalam Nuni’s Club. Caroline memakai wig dan menambahkan sebuah tahi lalat di atas bibirnya. Sedangkan Emma tampil apa adanya. Hanya sedkit riasan yang membuatnya terlihat berbeda. Ia terlihat seperti wanita karir dengan uang melimpah.“Di mana ruangan mereka?” tanya Emma. Kedua kalinya ia ke tempat ini dan tidak mengetahui ruangan di klub malam tersebu
Setelah mendengar Emma berada di Bank Central Vunia, Ethand dan Ryan langsung menuju ke bank tersebut. Namun ia sedikit terlambat, Emma sudah pergi dari tempat itu.“Bolehkah saya melihat rekaman cctvnya?” tanya Ethand pada Ryan.“Ini, Pak.”Ethand segera melihat rekaman cctv tersebut. “Carol?” ucap Ethand. Ia ingat pakaian yang dikenakan mantan kekasihnya pagi ini. Ethand lebih terkejut lagi ketika melihat Emma dengan busana yang sangat berbeda dari biasanya. Ternyata punggung wanita familiar yang dilihatnya sebelumnya adalah Emma. Ethand membanting ponsel Ryan begitu saja dan menimbulkan suara gaduh di dalam mobil. Ryan yang duduk di kursi kemudia hanya bisa terdiam. Ethand sedang marah dan kesal.“Bagaimana bisa aku tidak menahannya pagi tadi?” Suara berat Ethand diiringi dengan hembusan napas kasar membuat Ryan memberanikan diri melihat atasannya lewat kaca spion di depannya. Ethand terlihat berantakan dan juga wajahnya sangat muram.“Apakah kamu bertemu mereka sebelumnya?” tanya
Black Card sudah diterima Emma. Setelah urusan di bank usai, Emma dan Caroline segera keluar dari tempat itu. Emma berulang kali melirik ke arah cctv. Ia segera mempercepat langkahnya. Carolina juga demikian.“Aku lupa mengenakan masker. Sepertinya kita harus segera berangkat.” Emma dengan nada serius. Ia segera memasang sabuk pengamannya.“Bukankah itu adalah mobil Ethand?” tanya Caroline. Ia segera menghidupkan mesin mobilnya dan meninggalkan bank itu.Emma melihat dari kaca spion di depannya. Ia masih bisa melihat lelaki itu keluar dengan terburu-buru dari dalam mobilnya. Wanita itu langsung membuang tatapannya ke tempat lain dengan tatapan sendu menatap pada jalanan yang tampak ramai oleh kendaraan.“Apakah kamu baik-baik saja?” tanya Caroline.“Aku baik-baik saja,” balas Emma. Untuk membalas Prima ia harus bisa dan menahan rasa rindunya. Emma juga harus bisa membuktikan bahwa ayahnya sepenuhnya tidak bersalah. Semuanya karena perbuatan Johan Prima.Jika cinta merupakan penyakit m