Share

Bab 7 - Kayak Toge Pakai Helm Mulu

Ayra langsung mengerem mendadak begitu sebuah Lamborghini hitam menyalip dan berhenti tepat di depannya. Ayra yang kesal langsung misuh-misuh seraya membuka kaca helm. Apakah pengemudi mobil mewah tersebut ingin Ayra mati?!

Pria berkepala botak yang mengenakan kacamata hitam pun ke luar dari kendaraan beroda empat tersebut. Nyali Ayra mendadak menciut begitu melihat pria dengan kepala plontos itu. Ia pun menghentikan misuhan dan tetap bersiaga. Ia belajar dari pengalaman, orang yang berpenampilan seperti lelaki di depannya ini biasanya bukanlah orang baik. Ayra tahu jika ia tidak bisa menilai seseorang dari tampilan luarnya. Tapi tetap saja pikiran gadis manis itu langsung menuju ke arah sana, mengingat pengalaman yang akhir-akhir ini ia alami.

“Nyonya Ayra Salsabella. Bisa Nyonya ikut saya ke dalam mobil?”

Dahi Ayra mengernyit. “Maaf sebelumnya, Bapak ini siapa, ya? Kok Bapak bisa tahu nama lengkap saya?”

Ayra tahu jika penampilannya memang terlihat seperti anak kecil. Dengan tubuh yang hanya setinggi 150 sentimeter dan rambut pendek yang tampak seperti kartun Dora. Alih-alih calon janda, ia malah lebih cocok disebut gadis kecil.

“Nyonya tidak perlu tahu siapa saya. Yang jelas, sekarang saya minta Nyonya ikut saya masuk ke mobil.”

“Maaf, saya sibuk.”

Pria botak itu menghalangi jalan motor Ayra saat gadis tersebut berniat segera kabur dari sini.

“Nyonya Ayra, saya minta Nyonya segera turun dan masuk ke mobil,” ujar pria tersebut lagi dengan intonasi satu oktaf lebih tinggi dari semula.

Meski menggunakan kacamata hitam, Ayra tetap bisa merasa jika pria itu sedang menatapnya dengan tatapan penuh intimidasi. Hal itu membuatnya menelan saliva dengan susah payah. Apakah pria berkepala botak ini juga merupakan kaki tangan Varo yang sudah diminta untuk membawa Ayra?

“Nyonya Ayra, saya peringatkan sekali lagi. Silakan turun dan masuk mobil sekarang juga.”

Walaupun jantung Ayra sudah berdetak tidak beraturan, sekuat tenaga ia menggeleng. “Nggak mau, saya masih punya banyak urusan.”

Pria itu berhenti bicara sejenak. Matanya juga masih menatap Ayra yang sekarang sedang merapalkan berbagai macam doa di dalam hati. Saking groginya Ayra, ia sampai tidak sadar sudah merapalkan doa mau makan.

“Silakan Nyonya pilih, mau masuk secara suka rela atau masuk dengan cara dipaksa?”

Ayra mendesah dalam hati. ‘Ya ampun, gue nggak mau meninggoy muda! Mana belum sempat kawin pula. Ah, elah,’ rutuk Ayra di dalam hati. Ia menelan saliva saat aura dingin terasa melingkupinya bersama pria tak dikenal tersebut.

“Saya nggak bersedia masuk mobil itu. Permisi.”

Baru saja Ayra menarik gas tipis, pria itu sudah terlebih dulu bertindak. Ia menurunkan standar samping yang digunakan untuk menyangga motor, membuat kendaraan tersebut mati seketika dan Ayra pun hanya diam di tempat. Dengan gerakan cepat, pria plontos itu menarik tubuh mungil Ayra dari motor, lalu menyeretnya secara paksa mendekati mobil.

Ayra berusaha memberontak dan hendak melarikan diri dari cengkeraman pria menyeramkan itu. Tapi tetap saja susah. Tenaga Ayra tidak sebesar pria yang menariknya ini. Ayra berteriak heboh. Ia berharap ada orang yang mau membantunya.

“Tolong! Aku yang masih kinyis-kinyis ini mau diculik mau diculik sama om-om kepala plontos! Tolong!” seru Ayra seraya mencoba melarikan diri dari cengkeraman yang terasa hampir membuat tulangnya remuk. Ini menyakitkan.

“Shut your mouth,” bisik pria tadi. Ia susah payah membuka pintu mobil. Baru saja pintu terbuka dan pria itu hendak mendorong Ayra agar masuk, sebuah tinju menghantam pipinya. Hal itu membuatnya terhuyung ke samping dan cengkeramannya di lengan Ayra meregang. Ayra tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ia pun segera melepaskan diri dan berlindung di balik badan tinggi nan tegap milik… Aksa!

“Mas Aksa!” pekik Ayra yang baru sadar jika orang yang meninju pria tak dikenal tadi adalah Aksa.

“Kamu nggak apa-apa, Ay? Ada yang sakit?” Aksa meneliti tangan Ayra yang tadi dicengkeram kasar oleh lelaki sialan tadi itu.

“Nggak apa-apa, Mas. Cuma sakit dikit, nggak sampai mau meninggoy kok. Masih aman,” jawab Ayra seraya mengelus lengannya yang terbalut kemeja merah maroon. Ia berani taruhan jika lengannya ini pasti sudah membiru.

“Kamu masuk mobil saya dulu, ya. Tenang aja, kamu aman sama saya.” Aksa menepuk-nepuk singkat kepala Ayra yang masih dibalut helm. Setelahnya, ia pun kembali meladeni lelaki yang terlihat sedang mengelap bercak darah di sudut bibir.

“Jangan sok jadi pahlawan kamu,” ujar pria berkepala plontos tadi setelah ia berhasil menyeimbangkan tubuh. Di sudut bibirnya masih tampak sedikit bercak darah akibat jotosan yang Aksa layangkan.

“Kalau perempuan nggak mau, ya nggak usah dipaksa dong, Pak. Bapak punya ibu, kan? Harusnya Bapak tahu gimana perasaan perempuan kalau diperlakukan semena-mena gitu.”

“Banyak omong.” Pria berkepala plontos itu langsung melayangkan tinju yang berhasil mengenai perut Aksa.

Ayra memekik saat melihat pergulatan itu terjadi. Ia menengok ke sekeliling, jalan yang ia lewati ini tampak sepi pengendara. Tanpa pikir panjang, Ayra pun berteriak meminta tolong layaknya orang kesetanan.

Teriakan nyaring Ayra mengundang banyak warga ke luar rumah. Beberapa di antara mereka pun segera memisah pergulatan yang terjadi antara Aksa dan pria plontos berkacamata hitam itu. Salah satu warga mengancam untuk melaporkan niat jahat pria berkepala plontos ke polisi. Karena hal itu, pria tersebut pun merapikan jas dengan elegan, lalu melenggang menggunakan Lamborghini-nya.

“Mas Aksa!” teriak Ayra yang langsung berlari mendekati Aksa.

“Ayra, kamu nggak apa-apa, Ay?”

“Ya ampun, Mas Aksa! Harusnya itu aku yang tanya! Mas Aksa ada luka parah? Kita perlu ke rumah sakit nggak?” Ayra melihat ada beberapa luka lebam di wajah seksi pria di hadapannya.

Aksa menggeleng. Ia sedikit meringis saat merasakan nyeri di perut akibat tinju pria sialan tadi.

“Mending pacarnya ini dibawa pulang aja, Mbak, terus cepetan diobatin, keburu infeksi nanti,” saran seorang pria yang langsung membuat Ayra dan Aksa syok mendengarnya. Mereka beruda pun bersitatap seakan sedang bertelepati. Pacar?

“Oh, i-iya, Mas, iya. Makasih banyak atas bantuannya ya, semua.”

Para warga pun bubar dan kembali melakukan aktivitas masing-masing.

“Ayo, Mas, kita ke rumah Mas Aksa sekarang.”

Aksa langsung menggeleng tegas. “Permisi.”

“Eh?”

Aksa membantu Ayra melepas helm yang sejak tadi masih Ayra gunakan. “Kayak toge pakai helm mulu,” ucap Aksa dengan seulas senyum tipis.

Ayra hanya menyengir malu. Pipinya terasa menghangat atas perilaku Aksa.

“Tadi tujuan kamu mau ke mana sebelum diganggu om-om sialan itu?”

“Eum… mau ke pengadilan,” jawab Ayra ragu-ragu.

“Kita ke pengadilan sekarang.”

Baru saja Ayra hendak protes, Aksa memandangnya dengan tatapan yang sulit Ayra artikan. Pria itu terlihat meminta Ayra menuruti ucapannya. Aksa meminta, bukan menyuruh. Itulah yang membuat Ayra akhirnya luluh dan masuk ke mobil Aksa, setelah pria itu membukakan pintu. Aksa menitipkan motor Ayra di rumah salah satu warga, lalu segera melaju ke tempat tujuan Ayra, pengadilan.

_***_

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status