Share

Bab 8 - Mas Aksa...

“Yah, udah tutup,” rengek Ayra saat melihat tempat tujuannya sudah ditutup dan tidak ada seorang pun yang hilir mudik di sana.

“Besok kita ke sini lagi, ya.”

Ayra menoleh ke arah Aksa dengan bibir yang masih dimajukan sebal. Ia pun mengangguk. Padahal Ayra sudah sangat ingin mengajukan gugatan perceraian sekarang juga. Ia tahu jika proses cerai tidak akan berjalan singkat. Terlebih lagi dengan kemungkinan besar bahwa Varo tidak akan menerima keputusan sepihak Ayra secara langsung.

Aksa baru saja berniat membelokkan mobil, tapi Ayra langsung mencegahnya. “Kok mau belok? Rumah Mas Aksa kan harusnya lurus,” protes gadis manis bersurai pendek itu.

“Saya mau ngantar kamu pulang.”

“Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa! Kok mau ngantar aku pulang sih? Tadi Mas Aksa dengar sendiri kan kalau sekarang lebih baik kita ke rumah Mas Aksa dan obatin luka-luka itu?”

“Nggak usah, Ay. Saya bisa o—”

“Nggak mau tahu! Pokoknya sekarang lurus, kita ke rumah Mas Aksa!”

“Ayra….”

“Mas Aksa….”

Aksa menelan saliva dengan berat begitu Ayra memasang tampang memelas yang terlihat sangat menggemaskan. Alis tebal gadis itu saling bertaut, bibirnya yang mungil dan berwarna peach juga tampak sedikit dimajukan. Serius, Aksa lemah terhadap segala keimutan yang Ayra beri. Namun, seketika pria seksi itu mengerjap. Ia harus ingat jika Ayra sudah menikah. Ia tidak boleh mencintai istri orang atau dirinya sendiri yang akan menerima balasannya.

“Mas Aksa, ayo jalan. Itu keburu lukanya infeksi lho,” ujar Ayra lagi yang langsung menyadarkan segala pikiran runyam Aksa.

“O-oke.” Pria tampan itu pun menurut. Ia melajukan mobil menuju rumahnya yang bernuansa minimalis. Sepanjang perjalanan, otak Aksa masih dipenuhi dengan sosok Ayra dan Ayra.

Sesampainya mereka di rumah Aksa, keduanya pun turun dari mobil dan masuk ke sana. Baru saja Aksa hendak mengambil peralatan P3K, Ayra langsung mencegah pria tersebut dan mengatakan bahwa ialah yang akan mengambilkannya untuk Aksa.

“Mas Aksa,” panggil Ayra di sela-sela kegiatannya membersihkan luka chef muda tersebut.

“Iya, Ay.”

Ayra tersenyum. Entah kenapa penggalan kata yang Aksa beri terasa menyenangkan di telinganya. Jika kebanyakan orang memanggilnya dengan sebutan Ra, maka lain halnya dengan Aksa. Pria itu malah memenggalnya menjadi Ay. Bagus sih, Ayra suka.

“Makasih, ya. Mas Aksa udah nolongin aku untuk yang kedua kali.”

Aksa menyengir. “Sama-sama.”

Aksa beberapa kali mengaduh saat Ayra menekan lukanya terlalu keras. Ayra juga berulang kali meminta maaf dan bilang bahwa ia tidak sengaja melakukannya. Sepanjang Ayra mengobati luka Aksa, tatapan pria itu tidak bisa lepas dari wajah jelita Ayra. Aksa senang bisa menatapnya dari jarak yang sebegini dekat. Ia merasakan adanya desiran halus setiap kali mata Ayra berkedip. Namun, seketika Aksa kembali tersadar bahwa Ayra sudah memiliki suami.

“Eh, Mas Aksa. Ya ampun, itu kan lukanya belum beres,” protes Ayra saat pria seksi tersebut menjauhkan kepala dari jangkauan Ayra.

“Udah kok. Udah mendingan juga. Makasih, ya.” Aksa tidak mau terjebak terlalu lama ke dalam pesona Ayra. Ia harus sadar diri bahwa perempuan itu bukanlah pilihan yang tepat. Ayra sudah bersuami!

“Itu bibirnya belum, Mas. Sini dulu.”

Ayra tetap berusaha menjangkau wajah Aksa yang babak belur. Sementara itu, Aksa malah terus menerus menghindar. Ayra yang terobsesi ingin mengobati luka Aksa tak sengaja tersandung kakinya sendiri saat ia berdiri untuk menyentuh luka Aksa menggunakan kapas. Karena hal itu, ia pun terhuyung ke depan dan langsung jatuh menindih tubuh tinggi tegap Aksa. Seketika, waktu terasa berhenti berputar. Baik Aksa maupun Ayra saling memandang lekat satu sama lain.

Ini terasa seperti mimpi. Ayra bisa merasakan embusan napas hangat yang keluar dari hidung mancung Aksa. Embusan napas itu terasa membelai lembut wajah Ayra yang sampai detik ini masih terpana dengan kerupawanan pria di depannya ini.

Begitu juga dengan Aksa. Ia tidak berkedip sama sekali menikmati keindahan rupa gadis tersebut. Jantungnya bertalu-talu tidak karuan.

Saat keduanya masih sama-sama terpana akan keindahan satu sama lain, suara ponsel terdengar mengalun keras. Hal itu langsung membuat Ayra bangun dan merapikan pakaiannya untuk menutupi rasa gugup. Sialan, pipinya terasa memanas. Bagaimana ia bisa sebegitu cerobohnya sampai terjatuh di atas tubuh Aksa? Memalukan!

Sesaat setelahnya, Ayra sadar bahwa itu adalah suara ponselnya. Ia pun langsung mengambil benda pipih tersebut dan mendapati nama sang ayah terpampang di sana. Ayra langsung menolak panggilan itu dan bersikap seakan tidak terjadi apa-apa di antara dirinya dan Aksa.

“Nggak diangkat?” tanya Aksa saat Ayra malah menoleh ke sana ke mari seraya menggerakkan tangan gusar.

“Oh, ng-ngak. Nggak usah diangkat,” jawab Ayra tergagap. Wajahnya masih terasa panas karena kejadian tadi.

“Oke. Kamu mau pulang sekarang? Biar saya antar.” Aksa langsung berdiri, lalu menepuk-nepuk paha entah untuk apa.

Ayra melongo. “Mas Aksa ngusir?” tanyanya dengan dahi mengernyit. Padahal niat Ayra ke mari adalah untuk mengobati Aksa. Tapi kenapa pria itu tampaknya tidak butuh pertolongan?

Aksa mengendikkan bahu. “Nggak ngusir sih. Tapi sekarang udah sore dan saya juga mau beres-beres rumah. Opsi kamu ada dua, pulang atau tetap di sini dan bantuin saya beres-beres.”

“Aku pilih opsi kedua.”

“Wait. What?”

Ayra sudah langsung melipat baju-baju yang berantakan di ruang tengah. Bahkan Aksa tidak meminta gadis itu melakukan ini. Aksa kembali membujuk Ayra agar gadis manis itu mau pulang. Sudah cukup. Aksa tidak mau ia dicap sebagai pebinor.

“Ayra, mending kamu pulang sekarang. Rumah saya ini berantakan banget lho, nanti kamu capai beresinnya.”

Ayra mendengus. “Ya ampun, ya ampun, ya ampun, Mas Aksa yang ganteng banget bin seksi banget, Mas Aksa itu masih belum pulih. Lukanya aja belum semuanya diobatin. Makanya, sekarang lebih baik Mas Aksa duduk yang manis, biarin saya yang beres-beres. Paham?”

Aksa baru membuka mulut hendak bicara, tapi Ayra sudah kembali berujar, “Kalau Mas Aksa nggak mau meninggoy muda, mending sekarang nurut aja, oke? Duduk yang tenang, nggak usah ngapa-ngapain.”

Aksa hanya bisa menghela napas panjang dan membiarkan gadis itu melakukan apa yang ia mau. Ayra terlalu sibuk sampai tidak tahu jika sudah ada puluhan pesan masuk dari sang ayah yang memintanya segera pulang.

_***_

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status