Share

Bab 9 - Tolong Bersikap Manis

“Makasih ya, Mas Aksa, udah ngantarin aku pulang,” ujar Ayra seraya melepas safety belt.

Aksa tersenyum. “Sama-sama. Makasih juga kamu udah bantu beresin rumah dan ngobatin luka saya walaupun saya nggak minta.”

Ayra memang benar-benar melakukan apa yang ia bilang. Gadis manis itu membereskan rumah Aksa mulai dari ujung depan sampai ujung belakang. Bahkan Bowo, kucing Aksa, juga ikut menjadi objek beres-beres Ayra. Ia sampai memandikan Bowo walaupun baju Ayra yang ikutan basah kuyup menjadi korban.

Sekarang sudah pukul tujuh malam dan Aksa mengantar gadis itu pulang. Motor Ayra sudah dibawakan salah seorang teman Aksa ke kediaman gadis tersebut.

“Take care, Mas. Jangan nyetir ugal-ugalan kalau nggak mau meninggoy muda.”

Aksa geleng-geleng kepala. Tak lama setelahnya, pria tampan itu pun melaju meninggalkan Ayra yang sudah sampai di rumahnya. Bibir mungil Ayra masih terus mengulum senyum. Harinya terasa lebih menyenangkan bersama Aksa.

“Baru nikah kemarin kok udah gandeng laki-laki lain. Nggak malu sama tetangga.”

“Iya, kira-kira suaminya gimana, ya? Masa nggak tahu kalau istrinya lagi pergi sama laki-laki lain?”

Ayra sayup-sayup mendengar suara bisik-bisik dari beberapa orang wanita. Saat menoleh ke sana ke mari, rupanya ada segerombol ibu-ibu yang sedang menggunjing. Mereka sekali dua kali mengintip ke arah Ayra yang baru pulang.

Ayra menghela napas jengah. Ia pun mendekati gerombolan ibu-ibu itu dan malah bergabung bersama mereka. Hal itu membuat para penggunjing senyap. Mereka saling tatap satu sama lain melihat Ayra yang malah terlihat santai hendak ikut menggunjing.

“Kok diam sih? Lagi dong, masa segitu doang. Tanggung nih, ayo gibah lagi sampai pagi biar seru,” kalimat Ayra yang membuat ibu-ibu kembali saling bersipandang satu sama lain.

“Jam segini baru pulang kuliah, Ra? Malam banget,” ujar seorang wanita berbadan kurus yang berdiri di sebelah Ayra. Ibu-ibu yang lain kembali saling bertatapan seraya menaik-turunkan alis.

Ayra tersenyum. “Iya nih, Bu. Maklum aja, saya kan sibuk. Banyak yang harus dikerjain sampai-sampai nggak ada waktu buat gibah. Makanya sekarang mumpung urusannya udah selesai, saya mau ikutan gibah sama ibu-ibu sekalian. Ayo dong, lanjutin lagi. Tadi kayaknya seru banget.”

Ibu-ibu tukang gosip itu lagi-lagi saling bertatapan. Mereka terlihat tidak suka dengan kedatangan Ayra yang langsung bergabung. Yah, siapa juga yang suka saat sedang bergosip ria, tiba-tiba orang yang dijadikan bahan gunjingan datang.

Melihat semua orang diam, Ayra pun mendecak. “Nggak seru ah gibahnya selesai. Ya udah kalau gitu, saya pulang dulu ya, ibu-ibu. Permisi.” Ayra memberikan senyum termanis yang ia punya. Ia melenggang berbalik badan seraya mengibas rambut hitam pendeknya bak bintang iklan produk sampo.

Baru saja gadis manis itu menginjak lantai keramik rumah, rupanya Restu sudah berdiri di pintu dengan raut wajah seram. Matanya menatap Ayra tajam, hidungnya juga tampak kembang kempis seakan sedang mengeluarkan napas berasap. Ayra bahkan bisa membayangkan jika ada dua tanduk di kepala ayahnya itu. Ah, siapa yang peduli? Hal semacam ini sudah biasa bagi Ayra.

“Ayra pulang, Pa. Mama mana?” kalimat Ayra seakan tidak ada apa pun yang terjadi.

“Ke mana aja kamu?” Bukannya menjawab ucapan sang putri semata wayang, Restu malah balik bertanya. Nadanya terdengar begitu mengintimidasi, membuat bulu kuduk Ayra meremang.

“Ya habis dari kampus lah, Pa. Emang ke mana lagi?” Ayra menyelonong masuk tanpa memedulikan sang ayah yang masih setia berdiri di ambang pintu layaknya pengawal. “Oh iya, sama ke warung seblak sebelah kampus. Biasalah,” ujar Ayra lagi seraya berbalik badan. Ia menyengir saat Restu hanya menatapnya sedatar papan tripleks.

“Ayra, kamu udah pulang, Sayang?”

Baru saja Ayra hendak membuka pintu kamar, ternyata Fatma datang. Ayra pun langsung menjabat tangan sang ibu tiri dan mencium punggung tangannya dengan hormat.

“Ud—”

“Sama Mama disalimi, sama Papa yang dari tadi berdiri di pintu cuma dilewatin. Anak macam apa itu? Kayak gitu sopan?” potong Restu dengan tatapan galak.

Fatma mendesah di dalam hati. “Pa, Ayra baru pulang kuliah, dia masih capai. Jangan bikin ribut dulu dong.”

“Udah, Ma. Nggak apa-apa kok.”

Ayra mengelus lengan Fatma, lalu berjalan menghadap ayahnya. Gadis itu mengulurkan tangan mengajak bersalaman. Bukannya menjabat tangan sang anak, Restu malah membuang muka.

“HP kamu hilang?”

Ayra menarik kembali tangannya. Ada sedikit rasa sedih lantaran sang ayah yang sikapnya berubah seratus delapan puluh derajat. Perubahan sikap Restu sudah Ayra sadari sejak gadis itu menolak dijodohkan dengan Varo.

“Nggak, Pa. HP aku di tas, tapi di-silent.”

“Di-silent supaya fokus belajar atau di-silent karena tadi sore ada telepon masuk dari Papa dan kamu nggak mau angkat?”

Ayra membuang napas panjang. Inilah yang membuat gadis tersebut makin hari makin tidak betah berada di rumah. Ayahnya ini jadi lebih galak kepada Ayra. Ayra tidak suka dibeginikan.

“Mendingan Papa to the point aja deh. Aku capai, Pa, baru pulang. Belum mandi, belum nugas.”

Fatma yang melihat adanya percikan api tanda mulainya peperangan mulai gusar.

“Tadi sore Pak Panji datang, dia nyariin kamu!” seru Restu tepat di depan wajah Ayra, membuat anaknya memejamkan mata selama beberapa saat. “Papa telepon kamu dan malah dimatiin. Apa itu nggak bikin malu?! Iya? Nggak bikin malu menurut kamu?!”

Restu mengangkat tangan bersiap untuk menampar pipi putri semata wayangnya. Namun, gerakan Restu lagi-lagi berhenti karena seruan histeris sang istri.

“Pa, udah, Pa. ya ampun, kasihan Ayra!” ringis Fatma yang langsung memeluk putri tirinya seraya menangis.

Ayra hanya diam. Dia menatap kosong ke arah sang ayah. Sebenarnya ia sudah siap jika Restu benar-benar menamparnya. Ayra juga bersedia mati muda jika memang ia mati di tangan Restu, ayahnya sendiri.

Restu menatap dua wanita itu dengan napas memburu. “Kamu ini bikin malu keluarga! Kamu baru nikah sama Varo dan sekarang udah pulang sama lelaki lain. Apa itu pantas, hah?! Itu pantas menurut kamu?! Anak kurang ajar!”

Fatma menangis histeris sembari memeluk putrinya. Sementara Ayra hanya terdiam dengan pandangan kosong. Air matanya terasa mengering. Sudah tidak ada setetes pun yang tersisa.

“Kalau Papa tahu kamu tumbuh jadi anak kurang ajar kayak gini, seharusnya dulu Papa biarin kamu mati sama ibu kamu! Panji nggak perlu repot-repot nolong kamu, biarin kamu ikut jadi arang!”

Ayra merasakan nyeri di dalam dadanya. Ternyata Restu berubah sedrastis itu hanya karena Ayra yang tidak mau menikah dengan Varo. Ayra memang salah, ia seakan-akan menjadikan pernikahan ini seperti sebuah permainan. Ayra baru menikah, tapi sudah hendak meminta cerai. Namun, Restu juga tidak seratus persen benar. Ia terlalu memaksakan kehendak dan membatasi kemauan anak sendiri.

Ayra tidak mau hidup bersama Varo. Ia ingin menikah dengan lelaki lain yang menurutnya lebih waras.

Restu mengusap wajah dengan kasar. Ia mulai bisa sedikit mengontrol emosi. “Besok Pak Panji sama Varo mau datang. Tolong bersikap manis. Jangan bikin Papa marah,” kalimat Restu lebih lembut daripada sebelumnya. Tanpa babibu, pria paruh baya itu meninggalkan rumah menggunakan mobilnya.

_***_

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status