Share

KENANGAN

“Gimana pertemuan tadi, Ken? Udah ketemu sama pacarnya Bertha?” tanya Kak Rose dalam panggilan teleponnya. Suaranya begitu nyaring karena Ken mengaktifkan speaker handphonenya yang membuat suara kakaknya semakin keras.

“Udah selesai, Kak. Cafe juga aku tutup dua hari. Seenggaknya, besok lusa kondisi Roy udah mendingan. Biar dia nenangin diri dulu, Kak,” jawab Ken jelas.

“Oke! Nanti aku yang ngomong sama Edward. Apa kita perlu mempekerjakan barista tambahan?” tanya Kak Rose lagi.

“Nggak perlu, Kak.. Cafe kita ukurannya kecil. Kita juga udah punya tiga chef. Kalau pekerjanya ditambah, pasti kelebihan orang dan pengeluaran cafe makin banyak buat menggaji karyawan. Kakak tahu sendiri kan omset beberapa bulan ini agak menurun..,” jawab Ken.

Langkah kaki Ken begitu berat dilangkahkan menuju rumah. Baru beberapa menit dia berpisah dengan Roy di persimpangan jalan. Tapi, pikiran Ken justru semakin tidak tenang. Dia khawatir Roy akan melakukan hal yang tidak masuk akal saat dirinya terpuruk memikirkan Bertha.

Hari ini terasa lebih berat karena pertemuan dengan Tuan Smith tidak berakhir menyenangkan. Beban yang ditambahkan Tuan Smith justru semakin besar. Bagaimana bisa Bertha ditemukan dalam waktu singkat?

“Sekarang kamu di mana, Ken? –Meeooowww..,” tanya Kak Rose dibarengi dengan suara nyaring anggora kesayangannya yang manja.

“Lagi di jalan, Kak.. Mau pulang,” jawab Ken singkat. Nada suaranya sangat parau dan lemas.

“Hey.. Jangan lemes gitu, dong! Cepetan pulang, ya. Kalau bosen di rumah, kamu mampir ke sini aja. Kakak mau beli makanan buat Lucifer dulu. BYEEE!!” sambung Kak Rose mengakhiri percakapannya.

Tut..

Sambungan telepon terputus.

“Hufftt..,” Ken menghembuskan napas berat. Kepalanya pening di mana setiap hari masalahnya malah semakin bertambah.

Setapak demi setapak kaki Ken menyusuri trotoar yang kering dan berpasir. Menyebabkan hentakan sepatu putihnya menjadi sedikit licin. Hari sudah mulai sore.. saat di mana banyak orang yang berlalu lalang memenuhi jalan. Jalan raya di sampingnya, penuh dengan kendaraan bermotor yang saling mendahului satu sama lain.

“Mungkin orang-orang itu pengen cepet sampai rumah karena keluarganya nunggu.. Pantes aja mereka sampai ngebut tanpa lihat kanan kiri,” batin Ken.

BRUMMMM…

Mobil-mobil besar melaju dengan begitu cepat di jalanan yang luas itu. Di tepi-tepi trotoar, banyak sekali pedagang kali lima yang sibuk mengemasi gerobak atau sepeda untuk segera pulang ke rumah mereka masing-masing.

“Ah.. Pasti mereka udah nggak sabar buat kumpul sama keluarga mereka,” batin Ken lagi.

Melihat pemandangan orang-orang bahagia yang hendak pulang, justru membuat perasaan Ken bagai disayat belati.

“Mamaaa.. Nanti beli roti bakar dulu, yaaaa.. Roti yang isinya selai nanas!” teriak gadis kecil berusia lima tahun yang berjalan berpapasan dengan Ken. Gadis itu begitu ceria dengan jemarinya yang digenggam erat oleh ibunya.

“Iya, sayang.. Nanti kita beli roti bakar yang banyak..,” jawab ibu gadis kecil itu.

“Nanti beli yang cokelat juga buat Papa ya, Maa.. Papa kan suka makan cokelat kalau malam,” celetuk gadis kecil itu lagi.

Tap.. Tap.. Tap..

Langkah ceria dua perempuan yang wajah riangnya, tidak berani Ken tatap terlalu lama. Rasa iri dan sedih merasuk ke dalam relung hati Ken. Di saat orang lain berbagi cerita dengan keluarganya, justru Ken harus sibuk mencari di mana keberadaan orang tuanya.

“Mama.. Papa.. kalian dimana..,” panggil Ken dalam hati.

“Papaaa.. Nanti malem gantian Papa yang bacain buku cerita buat aku! Papa udah satu minggu di luar kota. Papa harus habisin waktu buat aku!!” omel seorang gadis kecil lainnya.

Gadis kecil dengan rambut diikat dua yang sedang mengomeli Papanya dari jok belakang mobil sedan berwarna merah tua. Mobil itu berhenti di tepi jalan dan percakapan mereka tidak sengaja Ken dengan saat tubuh Ken berjalan melaluinya.

“Iya, Nak.. Nanti Papa ceritain dongeng yang bagus. Besok kita ke kebun binatang, ya.. Kamu belum pernah lihat lumba-lumba, kan?” jawab Papa gadis itu dengan kedua tangan menggenggam kemudi mobil.

Percakapan itu semakin menyayat hati Ken. Bayangan-bayangan mengenai masa lalunya bersama kedua orang tuanya seketika menyelinap ke dalam otaknya. Saat Mama dan Papa Ken memberikan sepeda saat hari ulang tahun Ken yang ke delapan, perjalanan mereka ke sebuah pasar malam kota, pasta paling enak yang selalu mereka makan di akhir pekan, dan banyak kenangan lain yang menyelip di pikiran Ken. Semua seakan ditampakkan secara sengaja untuk membuat Ken semakin lemah.

Tap..

Tap..

Langkah Ken melambat dan berhenti seketika di depan sebuah restauran kecil bergaya barat yang unik. Restauran itu didominasi dengan warna putih tulang. Dekorasinya juga menawan yang sederhana. Meski terkesan mewah, tempat itu lebih memberikan kesan hangat dan lembut.

“Ma.. Pa.. kapan kita bisa makan pasta lagi di sini?” ucap Ken lirih. Ditatapnya bangunan itu dengan tatapan nanar. Otaknya kembali menampilkan rekaman saat dia dan orang tuanya mengunjungi restauran ini seminggu sekali di akhir pekan.

Kenangan-kenangan di mana dia selalu membeli pasta tanpa cabai..

Membeli porsi paling besar dan isian yang lengkap..

Dan kenangan di mana Papanya selalu menghabiskan sisa pasta Mamanya karena selalu tidak dihabiskan.

Kenangan bersama orang tuanya, adalah kenangan yang seluruhnya indah.

Tanpa disadari, setitik air bening jatuh dari kelopak matanya. Air yang turun dengan begitu cepat mengalir membasahi pipi Ken.

BUKK!!!

“HEY! Jangan berdiri di tengah jalan, dong!” seorang pria tidak sengaja menyenggol tangan Ken karena tubuh tinggi Ken mematung di tengah trotoar menatap tajam setiap detail restauran pasta itu beserta kenangannya.

“Roti.. Selada.. Jus Alpukat.. yang udah dimakan lima jam lalu,” ucap Ken dalam hati. Sentuhan tak disengaja itu secara langsung mengaktifkan kemampuan Ken untuk kesekian kalinya.

DUGGG!!

“Kak! Tolong jangan berdiri di tengah jalan! Anda mengganggu perjalanan orang lain!” protes orang dewasa lainnya yang tak sengaja pula menyenggol tangan Ken yang tidak tertutup baju.

“Susu.. olahan daging rusa.. kunyit yang lumayan banyak.. kentang.. Ada dua lalat yang nggak sengaja tertelan,” batin Ken lagi.

Pikiran sedih tentang orang tuanya, bercampur dengan gambaran-gambaran makanan yang masuk ke otaknya. Walau pun pikirannya jadi terkecoh, hal itu bukanlah sesuatu yang asing bagi Ken. Karena memang begitulah cara kerja kemampuannya. Memberikan gambaran isi pencernaan tanpa memandang waktu dan tempat!

Ken mengerjap-ngerjapkan matanya. Diusapnya wajahnya dua kali untuk mengembalikan kesadarannya yang sempat terbuai oleh kenangan masa lalu.

“Ah.. Harusnya aku naik bus aja..,” tukas Ken lirih.

Tap.. Tap..

Langkah berat itu ia lanjutkan agar segera sampai ke rumahnya yang dingin dan sunyi.

DUGG!

BRUKK!

Lagi-lagi, seseorang tidak sengaja menyenggol Ken tubuh Ken. Tapi kali ini orang itu sampai jatuh tersungkur di samping tubuh Ken. Tubuh yang tidak terlihat jelas penampakannya.

“ADUHHH!!!” pekik orang itu. Sebuah suara yang cukup nyaring.

Suara seorang wanita!

Dilihatnya wanita yang jatuh di sisi kanan Ken. Tubuhnya ditutupi dengan jubah panjang berwarna abu-abu. Sebuah mantel sangat besar yang terbuat dari bahan bulu. Saking besarnya, mantel itu justru terlihat lebih seperti jubah. Bahkan kepalanya pun tertutup oleh tudung dari mantel jubah itu.

Seluruh tubuhnya sama sekali tidak terlihat dengan jelas. Wanita itu sibuk mengusap bagian bawah mantelnya yang kotor karena terjatuh.

“Ah.. Maaf.. Saya terburu-buru.. Saya juga tidak memperhatikan jalan. Saya tidak tahu kalau di depan saya ada orang..,” ucap wanita itu sambil tetap mengusap mantelnya.

“Ah, saya yang seharusnya minta maaf. Saya berjalan di tengah trotoar dan menghalangi pejalan kaki lainnya.. Tolong biarkan saya membantu..,” Ken merendahkan tubuhnya untuk mengulurkan jemarinya kepada wanita itu guna membantunya berdiri.

“Ah terima kasih..,” jawab wanita itu menerima uluran tangan Ken.

GRABB!!

Genggaman tangan wanita itu sangat kuat. Dia berusaha sekuat tenaga bangkit dari posisi duduknya. Tapi, wajah tertunduknya masih dalam posisi yang sama. Tudung mantelnya yang begitu besar cukup untuk menutupi kepala wanita itu dengan sempurna.

“Sekali kali maafkan saya..,” kata wanita itu.

Entah apa yang terjadi, Ken sama sekali tidak menjawab ucapan maaf dari wanita yang baru saja ditolongnya.

“Permisi? Kenapa anda diam saja?” wanita itu memanggil Ken lagi.

Seperti yang terjadi sebelumnya..

Ken, melihat apa isi pencernaan orang lain..

“The Tiffany Yellow Diamond..,” batin Ken terkejut.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status